30.8 C
Jakarta
spot_img

Dari Pena ke Media: Membangun Semangat Karya Tanpa Batas

Artikel Trending

KhazanahLiterasiDari Pena ke Media: Membangun Semangat Karya Tanpa Batas
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pernah ada seseorang yang bertanya kepada saya: bagaimana tips atau kiat untuk menembus dapur redaksi sebuah media massa? Menanggapi pertanyaan semacam itu, spontan saya menjawab: menulis dan mengirimkan hasil tulisan ke alamat email media massa tersebut. Lalu, muncul pertanyaan lanjutan: bagaimana jika ditolak?

Tentu saja saya jawab: terus menulis dan terus kirimkan hasil tulisannya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, saya yakin, sering ada di benak setiap penulis yang ingin karyanya dimuat di media massa.

Biasanya, timbul keraguan dalam hati setiap penulis mengenai kualitas tulisannya. Saya kira, keraguan semacam itu adalah hal yang wajar dialami setiap penulis, terutama mereka yang belum pernah sama sekali menulis dan mengirimkan tulisannya ke media massa. Tiba-tiba muncul rasa inferior terkait kapasitas diri untuk bersaing dengan penulis-penulis kawakan yang jam terbangnya sudah tinggi.

Memang, ketika tulisan kita dimuat di media massa, baik lokal maupun nasional, ada kebanggaan tersendiri. Hati merasa puas dan lega ketika hasil jerih payah dalam menghasilkan karya berbuah manis. Apalagi jika ada honorarium atas karya kita. Kebahagiaan itu akan berlipat-lipat. Belum lagi, nama kita akan mulai dikenal oleh publik sebab tulisan yang tersiar di media massa tersebut.

Namun, menulis dan mengirim tulisan ke media massa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukan maksud saya menakut-nakuti atau melemahkan semangat Anda semua, tapi memang begitulah kenyataannya. Apalagi jika media massa besar yang kita tuju. Saingannya biasanya adalah intelektual dan akademisi yang namanya sudah malang-melintang di dunia kepenulisan. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak berkarya. Itu bukan alasan untuk mundur ke belakang.

Sebenarnya, kita bersaing atau berkompetisi melawan diri kita sendiri, bukan orang lain. Melawan rasa malas dan kebiasaan menunda. Sebab, dua hal itu menjadi penyakit bagi penulis. Karyanya tidak akan pernah rampung jika enggan untuk memulainya. Selalu menunggu waktu luang dan suasana nyaman untuk berkarya. Padahal, waktu dan kesempatan untuk berkarya itu, kitalah yang menciptakan.

Jangan biarkan diri ini dipengaruhi mood dalam berkarya. Sebab, mood ada kalanya naik dan turun. Di sinilah kita ditantang untuk lebih konsisten. Ditantang untuk lebih berkomitmen dalam menghasilkan karya-karya terbaik kita.

Dalam menulis, penting untuk menemukan tujuan dan alasan mengapa kita menulis. Sebab, hal itu akan menjadi bahan bakar yang membuat kita terus berkarya. Kita juga perlu memiliki alasan yang kuat mengapa ingin mengirimkan tulisan ke media massa. Misalnya, untuk memberikan pencerahan, menyebarkan ilmu, berbagi pengalaman, membangun karakter bangsa, dan sebagainya.

Atau, ada juga alasan lain seperti mendapatkan honor dan popularitas. Namun, untuk kedua alasan terakhir itu, saya sarankan agar tidak dijadikan motivasi utama. Sebab, banyak media yang tidak memberikan honor maupun menjanjikan ketenaran. Lagi pula, kedua alasan tersebut sifatnya temporal dan tingkatannya lebih rendah dibandingkan alasan-alasan yang telah saya paparkan sebelumnya.

Karena itu, jangan pernah kecewa, sakit hati, atau putus asa ketika tulisan kita ditolak oleh redaktur media massa. Kecewa sekali atau dua kali mungkin hal yang wajar. Tapi, jika kekecewaan itu berlarut-larut, hal tersebut justru bisa membahayakan mentalitas kita, yang pada akhirnya akan membuat kita malas untuk kembali berkarya.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Perpustakaan sebagai Penyimpanan Harta Karun Intelektual

Penolakan terhadap tulisan kita harus disikapi dengan sudut pandang positif. Bisa jadi, kita memang perlu belajar lebih banyak dan terus berlatih untuk menghasilkan tulisan-tulisan bermutu yang sesuai dengan selera media massa. Penolakan juga bisa menjadi pembelajaran untuk mengenali kekurangan dalam tulisan kita. Dari situlah kita dapat membenahi apa saja yang perlu diperbaiki, serta belajar untuk lebih sabar. Dengan sudut pandang positif terhadap penolakan, mentalitas kita akan semakin kuat.

Namun, syaratnya adalah kita harus tahan banting. Bahkan jika penolakan terjadi hingga 99 kali sekalipun, kita dituntut untuk tetap pantang menyerah. Ditolak? Kirim lagi. Ditolak? Kirim lagi. Begitulah seterusnya. Bisa jadi, pada tulisan yang ke-100, tulisan kita akhirnya berhasil dimuat.

Masalahnya, sebagian dari kita menghendaki cara-cara instan dan pragmatis untuk menembus meja redaksi. Inginnya, sekali mengirim langsung diterbitkan. Padahal, penolakan dari redaktur media massa bukan berarti akhir dari karier kepenulisan kita. Justru, ada banyak hal positif yang bisa diperoleh dari penolakan tersebut. Hanya saja, kita kerap ingin segalanya serba cepat dan mudah, enggan melalui proses yang membutuhkan perjuangan.

Dalam hal ini, penulis mana pun pasti pernah mengalami situasi di mana tulisannya ditolak oleh media massa. Bahkan, penulis sekaliber apa pun, saya rasa, pernah mengalami penolakan. Hanya saja, mereka memilih untuk tetap bergerak dan terus berproses. Penolakan dianggap sebagai bagian dari proses pematangan diri dan peluang untuk meningkatkan kualitas tulisan mereka.

Sebab, media massa bisa menjadi salah satu ukuran untuk mengetahui sejauh mana kualitas karya kita. Dengan demikian, kita bisa mengukur diri, sejauh mana kemampuan menulis kita telah berkembang.

Sekali lagi, catatan ini mengingatkan bahwa semangat menulis harus senantiasa dikobarkan, tak peduli berapa kali ditolak oleh redaktur. Tugas kita sebagai penulis adalah terus menulis, menulis, dan menulis. Jadikan penolakan sebagai cambuk untuk memacu diri agar lebih serius, disiplin, dan konsisten dalam berkarya. Jadikan juga sebagai motivasi untuk menaikkan level kepenulisan kita.

Namun, satu hal yang tak kalah penting, jangan pernah berpuas diri atau merasa jumawa ketika tulisan kita dimuat, apalagi jika itu baru pertama kali. Sebab, menurut pandangan saya, penulis sejati adalah mereka yang selalu haus akan ilmu dan pengetahuan. Mereka terus belajar kapan saja, di mana saja, dan dari siapa saja. Penulis sejati senantiasa berusaha menelurkan karya dalam segala kondisi dan tidak mudah berpuas diri atas pencapaiannya.

Selain itu, penulis sejati selalu membumi, alias rendah hati, meskipun sudah menorehkan berbagai prestasi mentereng. Mereka sadar bahwa ilmu mereka sangat terbatas. Mereka juga memahami bahwa merasa pintar dan cerdas adalah bentuk kebodohan yang sesungguhnya. Jadi, mari ambil pena dan mulai berkarya dari sekarang!

Muhammad Aufal Fresky
Muhammad Aufal Fresky
Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya. Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru