Harakatuna.com – Dani Dwi Permana adalah salah satu eks narapidana teroris (napiter) yang dikenal karena keterlibatannya dalam aksi terorisme di Indonesia. Namanya mencuat setelah ia terlibat dalam serangan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, pada tahun 2009. Kala itu, Dani yang masih berusia muda, direkrut oleh kelompok teroris yang memanfaatkan kondisi emosional dan psikologisnya. Aksi ini menjadi salah satu peristiwa tragis yang mengingatkan bangsa akan bahaya ekstremisme.
Dani berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di daerah Jawa Barat. Kehidupan remajanya tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan terlibat dalam dunia radikalisme. Namun, situasi keluarga yang sulit dan pencarian identitas diri membuatnya rentan terhadap pengaruh kelompok-kelompok ekstremis. Dani mulai mendalami ajaran agama secara intens, tetapi tanpa panduan yang tepat, ia akhirnya terjerumus dalam interpretasi agama yang menyimpang.
Rekrutmen Dani dilakukan melalui pendekatan yang halus. Ia diajak bergabung ke dalam kelompok kecil pengajian yang berisi anak-anak muda lainnya. Di sana, ia diajarkan doktrin-doktrin radikal yang memanipulasi ajaran agama untuk membenarkan aksi kekerasan. Kelompok ini memanfaatkan semangat keagamaannya untuk tujuan mereka, menjadikan Dani sebagai alat dalam rencana serangan bom bunuh diri.
Ketika Dani melakukan aksinya, ia hanya berusia 18 tahun. Pada usia yang seharusnya penuh dengan impian dan masa depan, ia kehilangan arah karena terjebak dalam lingkaran radikalisme. Aksi bom bunuh diri yang dilakukannya mengakibatkan kerusakan besar, baik secara fisik maupun psikologis bagi para korban dan masyarakat. Peristiwa ini juga meninggalkan luka mendalam bagi keluarga Dani, yang tidak pernah menyangka anak mereka akan terlibat dalam tindakan sekeji itu.
Setelah aksi tersebut, Dani ditangkap oleh pihak kepolisian dalam waktu singkat. Ia diadili dan dijatuhi hukuman penjara. Masa tahanannya menjadi momen refleksi yang sangat penting bagi Dani. Dalam penjara, ia mulai meragukan doktrin yang selama ini dipercayainya. Ia juga bertemu dengan narapidana lain yang mendorongnya untuk berpikir ulang tentang jalan hidupnya.
Bantuan dari program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi sosial menjadi titik balik bagi Dani. Ia mendapatkan pembinaan melalui pendekatan psikologis, spiritual, dan sosial. Perlahan-lahan, ia mulai memahami kesalahannya dan berkomitmen untuk meninggalkan ideologi radikal. Program ini juga membantu Dani membangun hubungan kembali dengan keluarganya, yang menjadi pendukung utama dalam proses rehabilitasinya.
Setelah bebas dari penjara, Dani menghadapi tantangan besar dalam kembali ke masyarakat. Stigma sebagai eks napiter menjadi hambatan yang tidak mudah diatasi. Namun, ia memutuskan untuk tidak menyerah. Dani mulai terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk memberikan testimoni tentang bahaya radikalisme kepada anak-anak muda. Ia berharap pengalamannya dapat menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak terjebak dalam jalan yang sama.
Dani juga bergabung dengan komunitas yang membantu eks napiter untuk kembali ke masyarakat. Dalam komunitas ini, ia berbagi cerita dan mendukung sesama mantan narapidana untuk memulai hidup baru. Aktivitas ini memberinya harapan dan semangat untuk terus melangkah maju.
Perjalanan Dani Dwi Permana mencerminkan betapa pentingnya peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam menangani isu radikalisme. Ia adalah contoh nyata bahwa seseorang yang pernah terlibat dalam tindakan ekstremis masih memiliki peluang untuk berubah dan berkontribusi positif bagi lingkungannya.
Kini, Dani terus berusaha memperbaiki dirinya. Ia menekuni berbagai kegiatan produktif, termasuk bekerja dan belajar kembali. Meskipun perjalanan ini penuh dengan rintangan, Dani percaya bahwa masa depan masih dapat diraih selama ada niat untuk berubah.
Dani juga sering menjadi pembicara dalam program-program deradikalisasi. Dalam kesempatan tersebut, ia berbicara tentang bagaimana ideologi radikal dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Ia menekankan pentingnya memahami agama secara benar dan menghindari ajakan kelompok yang menjanjikan surga melalui kekerasan.
Kisah Dani juga menjadi bahan refleksi bagi masyarakat Indonesia. Ia menunjukkan bagaimana radikalisme dapat menjebak anak-anak muda yang sedang mencari jati diri. Pengalamannya mengingatkan pentingnya edukasi, baik dari keluarga maupun lingkungan, untuk mencegah paham radikal berkembang di masyarakat.
Meskipun bayang-bayang masa lalunya masih mengikuti, Dani Dwi Permana terus melangkah dengan keyakinan bahwa perubahan adalah mungkin. Ia berharap suatu hari nanti, namanya tidak hanya dikenang karena keterlibatannya dalam aksi teror, tetapi juga karena kontribusinya dalam menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi.[] Shallallahu ala Muhammad.