30.1 C
Jakarta

Dalam Dunia Literasi, Seberapa Penting Membuat Daftar Bacaan?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiDalam Dunia Literasi, Seberapa Penting Membuat Daftar Bacaan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com“Setiap satu buku yang selesai kaubaca akan membawamu ke buku berikutnya.” Saya ingat kalimat ini dengan baik, tapi lupa dari mana saya mendapatkannya. Mungkin dari sebuah novel yang saya baca, atau mungkin dari satu tulisan seorang penulis terkenal. Namun yang pasti, kalimat itu benar-benar bekerja. Setidaknya, ia bekerja dalam laku seseorang yang sedang, atau baru akan memulai kebiasaan melahap banyak bacaan. Inilah yang ingin saya bahas lebih lanjut.

Bahwa satu buku bisa membawamu menemui judul buku lain, entah buku dari satu pengarang yang sama, memiliki kecocokan tema, atau kedekatan lainnya, bisa kita buktikan bersama-sama. Sebab, bagaimanapun, kita bisa mengendus jejak pengarang lain dalam sebuah buku. Itu bisa membentuk karakter prosanya, kedekatan tema, kesamaan latar belakang, kesamaan referensi bacaan, ataupun satu motivasi menulis.

Sementara itu, laku memperhatikan ini, mungkin terdengar tidak begitu penting. Barangkali, sebagian dari kita bakal bertanya-tanya, untuk apa, sih, repot-repot memikirkannya? Bukannya dalam laku membaca, hal yang terpenting adalah cukup membacanya saja?

Perhatian ini mungkin memang tidak begitu penting bagi kita yang lebih mengakrabi ragam bacaan yang random (acak). Atau, kita bisa juga mengkategorikannya dengan mereka yang melakukan kegiatan membaca dengan menimbang mood atau kecocokan minat semata. Asal sebuah buku dirasa cocok, maka bisa langsung membacanya. Begitu pula dengan buku-buku berikutnya. Ketika dirasa menarik, tanpa peduli apakah ia memiliki satu kesamaan dengan buku yang dibaca sebelumnya atau tidak, kita langsung saja melahap buku itu. Tidak masalah. Ini juga baik.

Akan tetapi, saya hanya ingin membagikan, kalau memperhatikan hal-hal tadi juga bisa membantu kita, terutama dalam hal memahami suatu hal atau topik. Katakanlah, ini sebentuk strategi merencanakan daftar bacaan yang bakal dibaca dalam satu periode tertentu, dan kita bisa mengelompokkan buku-buku dalam daftar itu berdasarkan kemauan kita sendiri. Entah itu berdasarkan jenis tema, nama penulis, genre buku, asal penulis, atau hal-hal yang lainnya.

Saya sedang melakukan laku ini. Hampir dua bulan ini saya merunut daftar bacaan dalam satu kelompok: Buku-buku dari penulis Jepang. Rencana ini iseng saja sebetulnya. Diawali sedikitnya jumlah bacaan dari negeri Matahari Terbit yang saya baca, membuat saya penasaran perihal bagaimana rupa karya-karya mereka yang lainnya. Awalnya, saya hanya mengenal nama-nama yang umum bagi pembaca kita, seperti Haruki Murakami, Yasunari Kawabata, atau Natsume Soseki. Tiga nama ini mungkin tidak asing lagi bagi kita. Terlebih, nama Haruki Murakami yang punya rak khusus bagi karya-karyanya di satu toko buku besar di negeri ini.

Hal tersebutlah yang mengusik benak saya. Pertanyaan seperti, “Apakah hanya ini karya dari penulis Jepang? Bagaimana dengan karya dari pengarang lainnya?” terus berngiang-ngiang dan seolah semakin mendesak untuk segera dipecahkan. Dan, satu-satunya cara untuk memecahkan kegelisahan tersebut adalah dengan menengok karya-karya lainnya. Mulai dari situlah, perjalanan dalam menjelajahi rimba kesusastraan mereka dimulai. Saya mengawalinya dengan mencari karya terjemahan mereka ke dalam bahasa Indonesia.

Beruntunglah, belakangan ini, kiat penerjemahan karya dari bahasa asing terus mengalami peningkatan. Bukan, saya tidak menggeneralisasikan ke karya-karya dari penulis Western atau yang berbahasa Inggris. Sebab kita bisa melihat, sejak dahulu mereka selalu mendominasi arus persebaran karya terjemahan di negeri ini. Yang saya maksud, adalah karya-karya dari penulis Asia.

Lonjakan angka itu nyata, terbukti dalam dua tahun ini karya-karya dari penulis Asia, terkhusus Asia Timur (Korea Selatan dan Jepang), memang meningkat jumlahnya. Saya tidak punya data pastinya, tapi kita bisa membuktikannya dengan mengintip katalog dari penerbit-penerbit baik besar maupun kecil, yang paling tidak ada satu atau beberapa karya penulis Asia yang terpajang di sana.

Ini tentu menggembirakan, terutama bagi saya. Kemudahan menjangkau karya-karya itu semakin kentara adanya. Kemudahan itu pula yang mengantar saya dalam memenuhi target buku dalam daftar bacaan yang saya susun. Sekira pertengahan tahun 2020, terbit novel Gadis Minimarket (Convenience Woman Store: GPU) karya Sayaka Murata. Terbitnya buku ini menandakan satu pemahaman besar bagi saya. Dinobatkan sebagai penulis perempuan penting dalam kesusastraan Jepang kontemporer oleh Electric Literature, nama Sayaka Murata jadi jembatan saya mengenal karya dan penulis-penulis Jepang lainnya.

BACA JUGA  Membangkitkan Api Kreativitas Literasi, Ini Tipsya

Kalimat “Satu buku membawamu ke buku berikutnya” benar-benar bekerja di sini. Novel itu yang lantas membuat saya berpikir, bahwa satu-satunya hal yang surealis di dalam novel bukanlah sekadar hujan ikan sarden, dua buah matahari, atau kucing yang mampu bercakap-cakap seperti yang ditampilkan prosa-prosa Haruki Murakami. Ternyata, ada bentuk kesurealisan yang lain, yang bentuk dan asalnya sama sekali berbeda. Hal inilah yang langsung terlintas di benak saya selepas menamatkan Gadis Minimarket (Convenience Woman Store) dan Earthlings (Granta Books: 2020) karya Sayaka Murata itu.

Merasa belum cukup, saya mendaftar nama lainnya. Suatu hari, dalam satu postingan seorang editor Gramedia Pustaka Utama (GPU), Teguh Afandi, muncul satu nama yang langsung membuat tertarik, yakni Hiroko Oyamada. Takarir dalam postingan itu pun kian meyakinkan saya untuk memasukkan nama tersebut dalam daftar yang tengah disusun: Novel itu, The Factory (New Directions: 2019), merupakan tipikal prosa Jepang yang aneh dan murung. Di samping itu, prosanya disebut-sebut bernapaskan Kafkaesque—satu aliran kesusastraan yang mengekor karakter prosa novelis Jerman, Franz Kafka.

Benar saja, novela tipis itu memang aneh, murung, dan memusingkan. Si penulis menyebarkan banyak pertanyaan dalam prosa yang tata letaknya tumpang-tindih antara narasi dan dialog para tokohnya. Namun, dari novela itu, saya kemudian mendapatkan satu judul lainnya, yakni The Hole (New Directions: 2020), masih dari penulis yang sama. Novela ini tak kalah anehnya, tapi punya satu perbedaan besar: Ia membawa kritik terhadap kehidupan perempuan Jepang modern. Dalam satu telaah, kita bisa mengkategorikannya sebagai karya feminis. Dan, dalam koridor feminis inilah ia mengantarkan ke judul buku lainnya.

Buku itu besutan penulis Jepang lain, Matsuda Aoko, dengan tajuk yang mengundang: Where The Wild Ladies Are (Soft Skull Press: 2020). Isinya sekian cerita pendek yang mengisahkan ulang cerita hantu dan makhluk mitologi perempuan dalam kebudayaan Jepang. Formulanya menarik, sebab ia menggabungkan eksperimen pengisahan atas suatu yang sudah ada, yang dipahami secara baik oleh masyarakat Jepang pada umumnya, lalu memasukkan kreativitas si penulis beserta napas feminisnya ke karya-karya tadi hingga membuatnya menjadi cerita yang sama sekali baru.

Saya terkesan, tentu saja. Nama Matsuda Aoko wajib masuk dalam daftar bacaan yang saya buat itu. Dan, lagi-lagi, selepas menamatkan buku itu, penjelajahan saya masih berlanjut. Sekian nama penulis beserta karyanya saya dapatkan, lalu dimasukkan ke dalam daftar.

Tiba di sini, mungkin akan muncul pertanyaan, apa pentingnya membuat daftar bacaan bagi laku membaca kita?

Bagi saya, ini penting, sebab dengan begitu, kita merencanakan sesuatu yang terjadwal. Terkelompok. Dari daftar yang saya buat, yakni daftar “Penulis Jepang” terutama yang “Perempuan dan Kontemporer”, pemahaman yang didapatkan mengenai karakteristik, kesamaan motif menulis atau tema, sampai keberagaman yang mereka tunjukkan, bisa dimengerti lebih baik lagi. Ini juga bisa diartikan sebagai laku mendalami sesuatu dengan fokus yang stabil atau ajek. Kita tidak akan melulu tergoda dengan arus bacaan yang seolah tak berhenti menderas, sebab kita memiliki fokus, sesuatu yang ingin dimengerti betul-betul.

Ya, tentu, kita bukannya menutup diri sama sekali atas buku-buku yang berada di luar daftar yang kita buat ini. Namun, alangkah baiknya kita menempatkannya sebagai selingan dari daftar yang kita punya. Dengan begitu, laku yang kita buat tidak terganggu dan apa yang kita kejar, yakni sesuatu yang ingin kita dalami baik-baik, bisa tetap berjalan sesuai rencana. Dan ingat, karena semua ini masuk ke dalam agenda membaca kita, maka kita harus memastikan satu hal lebih dulu: Kita benar-benar menikmatinya dan tidak merasa terbebani.

Wahid Kurniawan
Wahid Kurniawan
Pegiat literasi. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru