27.9 C
Jakarta

Dakwah Di Kafe, Mengapa Tidak? Kelompok Radikal Lebih Dahulu Melakukan

Artikel Trending

KhazanahTelaahDakwah Di Kafe, Mengapa Tidak? Kelompok Radikal Lebih Dahulu Melakukan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comKafe sebagai tempat nongkrong, ngopi dan yang diselingi oleh live musik menjadi tempat ternyaman bagi setiap orang untuk mengerjakan tugas kantor, kuliah bahkan untuk healing dari pekerjaan yang begitu banyak.

Di Yogyakarta, salah satu kafe di Kaliurang selalu menyelenggarakan kajian muslimah pada setiap hari Rabu. Kafe yang cukup bagus dan bisa dipastikan kalangan menengah atas, sebab dari daftar menu hingga tempat yang disediakan berbeda dengan kafe-kafe yang biasa dijadikan tempat diskusi oleh para mahasiswa yang saya temui soal Karl Marx, Nietzsche, Soe Hok Gie, dll.

Selayaknya kafe, tempat itu ramai dikunjungi. Tentu mereka memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang mengerjakan tugas, sibuk dengan laptopnya, berdiskusi, dan melakukan aktivitas masing-masing. Di lantai 2, setiap hari rabu khusus tempat mengaji.

Masa bodoh dengan pengajian apa, orang-orang yang datang ke kafe tidak tahu menahu soal kajian tersebut, mereka sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, hingga suatu hari saya turut mendengarkan kajian yang sangat informatif pada pengajian tersebut.

Dakwah semakin modern, kafe tidak hanya untuk nongkrong

Di Kafe tersebut, materi yang diajarkan tidak lain membaca Al-Qur’an dengan metode terjemah sebagai bahan kajian untuk diskusi. Seperti kajian Islam pada umumnya, ada yang memandu, ada ustaz serta para peserta yang hadir dengan seperangkat semangat dan pertanyaan-pertanyaan yang cukup relate dengan fenomena masa kini, seperti: RUU TPKS, isu kekerasan seksual, korupsi hingga masa depan negara.

Apakah semua dakwah yang dilakukan di Kafe terindikasi radikal? Ada dua kemungkinan. Pertama, jawabannya iya. Sebab tidak banyak orang yang akan melakukan kajian di Kafe. Hanya kelompok menengah atas saja yang akan melakukan kajian serupa, dengan peserta muslim urban. Niatnya begitu bagus, untuk berdakwah dan menyemai kebermanfaatan. Namun, bagaimana kajiannya? Bahayanya jika menolak NKRI dengan alasan tidak syar’i.

Kedua, mungkin tidak. Dengan banyaknya dakwah yang bisa kita ikuti melalui info yang tersebar di media sosial. Tidak melulu kaum radikal yang melakukannya. Kafe Main-Main dan Basa Basi misalnya. Tempat itu kiranya cukup menjadi rujukan untuk kita mengkaji Islam dengan selawatan yang biasa kita temui di kampung halaman.

BACA JUGA  Lebaran Ketupat: Merawat Tradisi dan Ketaatan Pasca Idulfitri

Meskipun demikian, sejauh yang saya temui, kelompok-kelompok yang mengadakan kajian Islam di kafe menengah atas tentu kelompok muslim urban dengan peserta yang sudah ditentukan. Pembahasannya seputar ibadah, negara, demokrasi, korupsi, dll. Strategi ciamiknya adalah bagaimana terus mendakwahkan Islam dengan seluas mungkin dengan nilai-nilai yang mereka miliki.

Tafsir menciptakan pelbagai pemahaman

Nadirsyah Hosen, dalam bukunya “ Tafsir di Al-Qur’an di Medsos”  menjelaskan  bahwa banyak orang membunuh (pemikiran, pemahaman, bahkan fisik) kelompok lain atas nama ayat suci. Sebenarnya mereka bertindak demikian bukan atas nama kitab suci, melainkan atas nama penafsiran yang dianggap suci dan dan sama benarnya kitab suci.

Lebih jauh, kelompok yang merasa benar ini karena kerdilnya pemahaman yang dimiliki olehnya. Di samping itu, perlu dipahami bahwa tafsir seperti dua sisi pada mata uang yang sama. Artinya, tafsir menggerakkan orang untuk mengklaim sebuah kebenaran. Di sisi lain, tafsir juga bisa menggerakkan orang bersikap ramah, toleran, inklusif dan pluralis keragaman tafsir.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita akan cukup bisa memilih dan memilah, dakwah seperti apa yang akan kita jadikan referensi sebagai tempat menimba ilmu. Meskipun demikian, memilih untuk diri saja rasanya tidak cukup dengan semakin maraknya kajian-kajian Islam di tempat sangat representatif dan nyaman.

Jika dilihat dari perbedaan tempat, kafe, mal, apartemen dan hotel menjadi tempat yang cukup ciamik untuk mengkaji agama Islam. Kaum-kaum moderat butuh untuk bertransformasi dalam melakukan dakwah kepada golongan masyarakat menengah ke atas.

Kehadiran para pendakwah moderat dengan misi untuk menyebarkan toleransi, perdamaian, serta menjaga keutuhan negara sangat penting untuk dilakukan. Kini, dakwah tidak hanya menyasar untuk kalangan masyarakat kelas bawah, seperti di kampung dan perkampungan, musala, dan langgar. Kesadaran untuk membumikan Islam yang ramah terhadap Indonesia penting untuk dilakukan.

Kita perlu mengkawal program dakwah di kafe, mal, apartemen bahkan hotel. Untuk menyongsong peradaban Islam dan melawan kelompok-kelompok radikal yang terus bergentayangan di pelbagai dimensi. Jika mereka sudah mampu menguasai dakwah di tempat yang semacam itu, harusnya kita juga bisa memulai untuk melakukan gerakan ke arah itu. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru