29.7 C
Jakarta

Covid-19 Meredam Perilaku Ekstremisme dan Anti-Multikultur

Artikel Trending

KhazanahCovid-19 Meredam Perilaku Ekstremisme dan Anti-Multikultur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ekstremisme dan wabah virus covid-19 atau yang dikenal dengan virus corona telah menjadi musuh besar bagi setiap bangsa. Karena itu, sudah banyak memakan korban dan sudah banyak juga yang terinfeksi. Sehingga setiap negara membuat kebijakan untuk mencegah waspada terhadap penyebaran virus corona, dengan berbagai cara seperti kebijakan pemerintah untuk lock down. Sangat penting, menutup pintu bagi setiap yang datang, pengunjung asing tidak diperbolehkan lagi datang ke Indonesia. Bahkan lock down tidak hanya di skala nasional. Namun, juga sudah di terapkan di beberapa desa/kelurahan dan kecamatan.

Adapun antisipasinya adalah dengan proses peningkatan imunitas diri supaya tidak terkena virus corona. Alangkah baiknya, bisa dengan di rumah aja dengan melakukan kegiatan yang positif atau bekerja dari rumah (work from home).

Fenomena ini seakan menelan atau meredam isu-isu tentang radikalisme yang belakangan ini menyebar di Indonesia. Jika kita cermati, peristiwa penusukan kepada Jenderal Wiranto yang dilakukan oleh gerakan ekstremisme, radikalisme atau bahkan yang menentang Pancasila dan NKRI.

Peristiwa lainnya yang banyak mengagetkan bangsa ini seperti Negara Islam Indonesia (NII), gerakan separatisme yang harus segera dicegah dan dihilangkan dari bumi Indonesia, Organisasi Papua Merdeka yang sudah berdiri Desember 1961, karena separatisme juga sangat bahaya untuk keutuhan NKRI dan merusak prinsip-prinsip ideologi Pancasila.

Masalah Ekstremisme & Covid-19

Mengutip hasil penelitian Rosmini (2015) Wujud Ekstremisme Keberagamaan dalam al-Quran terdiri setidaknya tiga macam. Pertama, ekstremisme keberagamaan dalam akidah. Kedua, ekstremisme keberagamaan dalam ibadah mahdah. Ketiga, ekstremisme keberagamaan dalam hukum dan muamalah. Ternyata memang harus di sadari ada golongan tertentu yang merasa paling benar dan paling lurus dalam menjalankan ibadahnya. Sehingga muncul pemikiran radikal bahwa apa yang dilakukan golonganya paling benar, serasa akan masuk surga sendiri.

Padahal, ketika ditanya nanti di akhirat, “dimana saudara-saudaramu yang lain, mengapa tidak ikut di surga bersamamu?” jawabnya pasti bingung. Kita harus bersama-sama dalam kebenaran untuk saling menghormati setiap perbedaan madzhab. Jangan sampai ekstremisme agama membuat kita justru lebih tidak baik, tidak hormat dan tidak saling membantu. Padahal, kita satu tubuh yang harus saling menasehati.

Hasil penelitian Imam Mustofa, dkk (2015) juga menunjukkan, bahwa mayoritas aktivis memandang gerakan Islam radikal sebagai ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, keberadaan 23% responden berpandangan sebaliknya, yaitu Islam radikal tidak membahayakan eksistensi NKRI, tidak dapat dikatakan sebagai angka yang tidak signifikan. Aktivis muslim kampus mempunyai ketahanan yang cukup kuat terhadap pengaruh paham dan gerakan Islam radikal.

Tentunya, aktivis adalah orang-orang yang aktif dalam setiap kegiatan sosial kemasyarakatan yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menjalankan ibadah dengan baik dan benar serta mampu memberikan respon yang baik terhadap perbedaan madzhab yang ada. Sehingga bisa menjadi benteng atau mercusuar untuk menyampaikan Islam yang rahmatan lil ’alamin, moderat dalam berpikir dan bertindak. Peran aktivis sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI.

Urgensi Penanaman Multikulturalisme

Penelitian Hendra Harmi (Disertasi) mengutip Mohammad Sarraf (2015) melalui kajiannya, spasialitas multikulturalisme, memaknai multikulturalisme sebagai: “a set of ideas and policies, is one of normative approaches to the current situation of cultural diversity in multicultural cities,” atau seperangkat ide dan kebijakan yang merupakan pendekatan normatif terhadap situasi aktual dari diversitas budaya dalam sebuah entitas multikultural.

BACA JUGA  Perang Gaza dan Matinya Kemanusiaan di Barat

Alexander Hridaya Bhakti, Irlandi Paradizsa, and Isa Alkaf (2018). Pengalaman multikultural masing-masing komunitas akan sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat ditentukan oleh setidaknya 3 (tiga) dimensi, yakni keterlibatan antar budaya (intercultural engagement), pemahaman budaya (cultural understanding), komunikasi antar-budaya (intercultural communication).

Konteks kekinian bahwa pendapat tentang multikulturalisme di atas tidak sekedar teori belaka lagi. Namun, sudah menjadi ruang kenyataan yang harus disikapi bukan lagi dengan sikap teoritis tetapi harus dengan sikap realistis. Seperti ide gagasan yang merupakan diversitas budaya; menyebar begitu cepat dan meluas dengan kencangnya informasi teknologi harus disikapi dengan realistis; sikap filterisasi terhadap banyaknya informasi sehingga bisa memberantas ide gagasan hoax yang terbingkai banyak dalam informasi-informasi. Terutama mensikapi pesan-pesan hoax tentang bahaya virus corona.

Pendekatan Sosio-Kultur

Adanya keterlibatan antar budaya, pemahaman budaya dan komunikasi antar-budaya akan mencegah terjadinya konflik kultural yang tentunya dapat merusak system social yang ada atau budaya social yang sudah terbangun rapi sejak dulu seperti budaya gotong royong dan menghormati perbedaan ras. Namun, tidak bisa di-elakkan lagi akibat tidak adanya komunikasi antar budaya yang baik bisa timbul kasus rasisme yang dialami masyarakat Papua.

Masyarakat Papua yang sedang tinggal di daerah jawa atau sedang kuliah, dikatakan seperti hewan “monyet” dan lain sebagainya yang menyinggung perasaan atau menghina martabat diri. Hal ini adalah peristiwa yang bisa merusak bangsa. Tidak hanya Papua sebenarnya suku-suku lain yang ada di seluruh Indonesia yang jumlah sangat banyak, rentan dengan konflik dan munculnya orang-orang yang anti kultur. Sehingga pemerintah melalui Kementerian Agama RI menyampaikan konsep tentang kebijakan moderasi beragama dimana di dalamnya harus menjalankan prinsip moderat sebagai seorang yang beragama harus saling menghormati dan menghargai tidak hanya berbeda agama tetapi juga perbedaan suku, bahasa dan lain sebagainya.

Kasus demi kasus yang terjadi begitu juga isu yang bertebaran tentang perilaku ektremisme dan anti–kultural serentak merendam tidak muncul lagi ke permukaan media dunia dikarenakan wabah virus corona. Hal ini mengajarkan kita 3 hal untuk bersikap. Pertama, kita adalah saudara dengan berbeda latar belakang kehidupan sehingga perlu untuk saling memahami dan menghargai.

Kedua, kita adalah bagian ekosistem beragama dan berbudaya yang mampu memberikan argumentasi dan bahkan pembenaran. Sehingga perlu untuk muhasabah diri. Ketiga, virus corona adalah bencana tetapi memberikan makna pelajaran bagi manusia. Bahwa kita hidup tidak untuk sendiri, tidak untuk golongan kita, tetapi untuk Indonesia dan dunia, hakikatnya adalah hidup untuk berkah dan manfaat yang lebih banyak kepada sesama.

Oleh: Sumarto

Penulis, Dosen IAIN Curup, dan Inisiator Literasi Kita Indonesia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru