28.9 C
Jakarta
spot_img

Cita Rasa Dalil Agama di Medsos: Klaim Unilateral Multi-Identitas

Artikel Trending

KhazanahOpiniCita Rasa Dalil Agama di Medsos: Klaim Unilateral Multi-Identitas
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah sekian lama tidak berbincang, tadi malam beberapa kawan tiba-tiba menelepon saya lewat video call di WhatsApp. Seperti biasa, obrolan kami memakan waktu cukup lama. Tak heran, mulai dari persoalan hidup, cerita nostalgia, topik akademik, hingga asmara selalu menjadi bumbu percakapan yang membuat kami larut.

Percakapan yang penuh canda dan tawa ini selalu membuat saya nyaman berdiskusi dengan mereka. Entah topik yang dibahas serius atau tidak, saling bertukar ide diselingi humor ringan menjadi cara kami berinteraksi. Menariknya, percakapan kami sering berakhir dengan munculnya ide-ide baru yang menginspirasi saya untuk menulis. Salah satu topik menarik yang dibahas tadi malam adalah fenomena penggunaan dalil agama di medsos, yang akhirnya saya tuangkan dalam tulisan ini.

Fenomena ini bermula dari observasi kami terhadap budaya beragama di medsos. Kami mendapati orang-orang yang sering mengutip dalil agama untuk menyalahkan pihak lain yang berbeda pandangan. Hal itu kemudian melahirkan asumsi bahwa “makna teks-teks keagamaan sekarang memiliki cita rasa yang selalu identik dengan penuturnya.” Setelah percakapan selesai, saya segera mencari arsip literatur di laptop yang kiranya relevan dengan asumsi tersebut.

Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukanlah hal baru. Ia sudah memiliki preseden historis sejak masa awal Islam, sebagaimana tercatat dalam berbagai literatur klasik dan modern. Contohnya adalah karya Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Turath, t.th), dan Al-Syaibani, Al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kitab al-A’araby, 1999) yang mencatat berbagai pergolakan klaim kepentingan dari berbagai aliran teologis-politik, seperti Khawarij dan Muktazilah, atas nama dalil-dalil agama.

Dalam literatur tersebut, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah menyampaikan kepada kaum Khawarij: “Wa hadha al-Qur’an innama huwa khattun masturun bayna dafatayni la yanthiqu bi lisanin innama yatakallamu bihi al-rijal.” Beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf adalah teks mati yang tidak bisa berbicara sendiri; manusialah yang menafsirkannya, kadang dengan berbagai kepentingan.

BACA JUGA  Generasi Terdidik dan Masyarakat Awam: Siapa yang Lebih Butuh Pemahaman Moderasi Beragama?

Ucapan tersebut disampaikan Ali untuk menanggapi sekte Khawarij yang gencar mengampanyekan kalimat, “la hukma illa lillah” dengan tujuan mendukung klaim mereka atas kebenaran tunggal dalam penerapan hukum agama.

Sejenak, saya pun berpikir bahwa dalil-dalil agama memang hanyalah teks yang tidak bisa berbicara sendiri. Ia terbuka untuk dimaknai sesuai dengan kecenderungan dan kepentingan individu atau kelompok. Dalam konteks itu, pernyataan Nur Rofiah dalam artikel “Hermeneutika Al-Qur’an: Melacak Akar Problem Krusial Penafsiran” (2007) menjadi relevan bahwa Al-Qur’an selalu berada dalam arena perebutan makna.

Jika pada masa lalu akses penyebaran wacana keagamaan sangat terbatas, kini di era media baru, dengan berbagai platform canggih, penyebaran ideologi semakin mudah. Tanpa perlu memahami ilmu-ilmu dasar agama, setiap orang bisa tampil layaknya pakar yang menguasai berbagai disiplin ilmu agama.

Fenomena semacam itu sangat kentara di medsos kita. Tiba-tiba bermunculan berbagai “ustaz medsos” yang baru muncul tetapi sudah lantang menyalahkan pihak lain atas nama dalil agama. Motifnya seringkali tidak lepas dari afiliasi mereka. Mengutip riset PPIM UIN Jakarta (Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer, 2021), setidaknya ada dua tipologi gerakan hijrah di era media baru ini, yaitu konservatisme (Salafi dan non-Salafi) dan islamisme.

Masing-masing kelompok berbicara dengan mengatasnamakan dalil agama yang disesuaikan dengan ideologi mereka. Menggunakan istilah Aksin Wijaya dalam Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (2017), fenomena ini adalah ‘cermin retak’ dari preseden historis yang pernah terjadi sebelumnya dan akan terus mewarnai dinamika keberagamaan kita.

Tentu fenomena tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dibutuhkan kontra-narasi yang konsisten untuk mengimbangi dominasi wacana mereka di media. Bukan untuk menentukan siapa yang benar atau salah—karena itu adalah hak prerogatif Tuhan—tetapi untuk menjaga kedamaian dalam beragama tanpa harus saling curiga dan menghakimi bahwa pihak lain tidak sesuai syariat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Muh. Rizaldi
Muh. Rizaldi
Mahasiswa Magister Ilmu al-Qur'an dan Tafsir - Konsentrasi Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru