33.8 C
Jakarta

Cinta, Toleransi, dan Kebhinekaan: Refleksi Pemikiran Gus Dur

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanCinta, Toleransi, dan Kebhinekaan: Refleksi Pemikiran Gus Dur
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang penuh inspirasi dan pemikiran mendalam tentang toleransi. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah, “Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Qur’an.” Kalimat itu menggambarkan pandangannya yang luas tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Pesan tersebut mengingatkan kita bahwa esensi dari agama adalah cinta dan penerimaan, bukan sekadar ritual atau simbolisme.

Pesan Gus Dur tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi tetap menggema hingga kini, terutama di tengah maraknya isu SARA dan provokasi. Banyak di antara kita masih terjebak dalam pola pikir sempit yang menganggap perbedaan sebagai ancaman. Ketika kita melihat orang lain yang tidak sejalan dengan keyakinan kita, sering kali muncul sikap mengkafirkan atau menyingkirkan mereka. Hal itu sangat disayangkan, terutama jika sikap tersebut datang dari tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kebenaran sering kali dikendalikan oleh apa yang kita ketahui dan yakini. Namun, Gus Dur mengajak kita untuk membuka pikiran dan menerima bahwa pengetahuan adalah hal yang luas dan beragam. Di Indonesia, kita hidup dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama. Oleh karena itu, kita seharusnya menyadari bahwa paham monoteis—keyakinan akan satu Tuhan—adalah landasan bersama yang mengikat kita, meski dengan perbedaan yang ada.

Kebenaran, seperti yang diajarkan Gus Dur, bukanlah sesuatu yang tunggal dan statis. Sebaliknya, kebenaran itu plural dan dinamis, tergantung pada sudut pandang yang kita miliki. Itu mengingatkan kita bahwa perbedaan pendapat bukanlah hal yang buruk, tetapi justru menjadi bagian dari keindahan dan kekayaan hidup berbangsa. Dengan cara tersebut, kita bisa lebih bijaksana dalam memahami keragaman di sekitar kita.

Mengacu pada teladan Nabi Muhammad SAW, kita diingatkan bahwa beliau adalah sosok yang sangat inklusif. Sejak kecil, Nabi sudah terbiasa berinteraksi dengan berbagai pemeluk agama dan budaya. Sikap beliau yang terbuka dan penuh kasih sayang adalah contoh nyata dari pluralisme yang seharusnya kita tiru. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika kita mengklaim mencintai Nabi, tetapi tetap terjebak dalam pikiran yang sempit dan intoleran.

Keragaman tidak boleh jadi bahan perdebatan yang memecah-belah. Sebaliknya, keragaman adalah sebuah keniscayaan yang harus kita terima dan syukuri. Bukankah kehidupan itu sendiri lahir dari keragaman? Setiap individu adalah kombinasi unik dari latar belakang, pengalaman, dan kepercayaan. Dengan menerima keragaman, kita memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan diri kita.

BACA JUGA  Moderasi Beragama dalam Menangkal Radikalisme di Indonesia

Menolak keragaman sama halnya dengan menolak hukum-hukum alam yang telah ditetapkan. Seperti halnya manusia tidak dapat lahir tanpa pasangan yang berbeda jenis kelamin, kita juga tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kehidupan ini penuh dengan perbedaan. Menolak kenyataan sama dengan menolak hakikat penciptaan yang telah digariskan oleh Allah.

Kita juga harus menyadari bahwa menghormati perbedaan bukan berarti mengorbankan keyakinan kita sendiri. Justru dengan menerima perbedaan, kita dapat memperkuat iman kita dan memperkaya pengalaman hidup. Menerima bahwa ada banyak jalan menuju kebenaran bisa membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan Tuhan.

Pentingnya sikap terbuka dan inklusif harus dipahami oleh setiap individu, terlebih lagi oleh mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan atau sebagai tokoh agama. Dengan mencontoh sikap Gus Dur dan Nabi Muhammad, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis dan damai. Masyarakat yang mampu saling menghargai, meskipun berbeda.

Selanjutnya, pendidikan juga berperan penting dalam membentuk sikap toleransi. Masyarakat yang teredukasi dengan baik akan lebih mampu memahami dan menghargai perbedaan. Kurikulum yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan harus diperkuat di sekolah-sekolah, agar generasi mendatang dapat tumbuh menjadi individu yang lebih bijaksana dan terbuka.

Akhirnya, saat kita merenungkan kembali pesan-pesan Gus Dur, marilah kita berkomitmen untuk menjadikan cinta dan penerimaan sebagai landasan dalam berinteraksi dengan sesama. Dengan begitu, kita tidak hanya menciptakan lingkungan yang harmonis, tetapi juga mengikuti jejak langkah para pemimpin besar yang telah mengajarkan kita arti sejati dari toleransi. Di sinilah kita bisa membuktikan bahwa kita adalah umat yang menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya.

Dengan mengedepankan pesan Gus Dur, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih inklusif. Dalam keragaman, terdapat keindahan, dan dalam keindahan, kita menemukan kedamaian. Marilah kita melangkah bersama, menghargai setiap makhluk, dan menjadikan cinta sebagai bahasa universal yang menyatukan kita semua.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru