26.1 C
Jakarta

Cinta Paling Rumit (Bagian XXIX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniCinta Paling Rumit (Bagian XXIX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tiga tahun kemudian.

Waktu melesat begitu cepat bak cahaya kilat yang mengibas bilik pesantren. Tak terasa sudah kelas tiga Madrasah Aliyah, lagi-lagi menjelang kelulusan. Sebagian siswa ada yang berencana melanjutkan kuliah di luar pesantren, termasuk Adel. Sebagian yang lain lanjut kuliah di pesantren, seperti Hanum. Diva?

Diva duduk seorang diri di beranda biliknya. Buku Anak Rantau karya A. Fuadi tergeletak di pangkuannya. Di atas novel ini ada buku diary yang diam tanpa diotak-atik. Pikiran serba bingung saat dihadapkan dengan pilihan yang serba dilematis. Aku sudah besar, bukan kanak-kanak lagi, sekolah hampir lulus, batinnya.

Saat dibelenggu sesuatu yang serba sulit, pikiran jadi kusut. Mau nulis, bad mood. Mau ngapain, males. Tak ada pilihan selain bercakap seorang diri.

Tiga tahun bukanlah waktu yang sementara. Bisa dibilang cukup lama bagi seorang perempuan yang menunggu kepastian seorang lelaki. Paling tidak kepastian yang dibuktikan dalam ikatan tunangan. Beginilah rentang waktu perjalan cinta Diva dan Fairuz. Perempuan tidak mau diikat dalam janji yang palsu, gerutunya.

Di tengah pengharapan panjang dan tak bertepi bukanlah seorang perempuan yang mengutarakan kata hatinya kepada sosok yang didamba-dambakan. Perempuan dibekali sifat malu yang amat besar dibandingkan lelaki. Anehnya, lelaki kadang tidak peka, tidak mengerti, dan memandangnya biasa. Mungkin, itu kelemahan lelaki yang semestinya dipahami perempuan.

Diva beranjak dari duduk lamanya dan bergegas menuju warung telepon yang berdekatan dengan kantor pesantren. Warung itu disediakan bagi semua santri yang butuh menghubungi orangtuanya atau saudaranya. Dipencet tombol hape. Terdengar suara perempuan menyebut nama Diva.

“Diva, Mi.”

“Iya, Nak. Kan Ummi baru kemarin ke pesantren.” Ummi belum tahu apa yang ingin Diva utarakan. Tahunya, Diva biasanya telepon Ummi karena kangen. Sehari setelah itu, Ummi bareng Abah berkunjung ke pesantren.

“Bukan gitu, Mi,” ralatnya.

“Terus? Uangnya sakunya kurang?” Ummi berkata datar, merespons Diva dengan santai.

“Diva, Mi.” Tercekat suaranya. Baru kali ini Diva merasa kikuk. Padahal, Diva biasanya ceplas-ceplos bicara sama Ummi. Karena, sosok yang paling dekat dan menjadi teman curhat adalah Ummi. Ummi paling mengerti perasaan Diva pada awal menginjakkan kaki di pesantren, kalau di hati putri sulungnya tergores rasa sakit.

“Diva kayak kedengaran gugup. Ada apa, Nak?” Suara Ummi terdengar lembut seakan mulai paham perasaan Diva. Kelembutan Ummi khas banget di telinga Diva seakan mampu membedakan mana suara Ummi dan mana suara orang lain.

“Diva bingung, Mi.”

“Iya kenapa, Nak? cerita sama Ummi dong!” Ummi menggoda menghibur hati Diva.

“Diva bingung mau cerita sama Ummi. Diva kan udah remaja, Mi.”

“Iya.”

“Bagaimana perasaan seorang perempuan kayak Diva yang terbelenggu dengan harapan dan penantian?” Pertanyaannya membuat Ummi terdiam seketika sambil memilih kata yang tepat untuk menjawabnya.

“Diva merindukan seseorang?” tanya Ummi singkat.

“Benar, Mi.”

“Wah, anakku mulai jatuh cinta.” Kata-kata Ummi seketika  memecahkan suasana yang sedang dramatis.

“Ummiii,” rengeknya.

“Baru kali ini Diva cerita sama Ummi.”

“Sudah lama Diva menjalani hubungan ini.”

“Berapa lama?”

“Tiga tahunan.”

“Siapa lelaki yang Diva maksud?”

“Hmmm.”

Ummi memotong tergesa-gesa, “Siapa, Nak?”

“Fa-Fairuz.” Suaranya tercekat.

“Ummi belum tahu anak itu. Abah juga begitu. Anak siapa, Div?” Pertanyaan Ummi mulai serius.

“Diva belum tahu. Orangnya pinter, hafidz tiga puluh juz, penulis, dan….”

“Ummi dan Abah mau tahu dulu Fairuz anak siapa? Ummi tidak mempersoalkan pinter atau tidak, hafal Qur’an atau tidak. Yang terpenting nasabnya bagus, Abah dan Ummi pasti setuju, apalagi pilihan Diva.”

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Kata-kata terakhir Ummi membuat semangat Diva untuk mencari tahu nasab Fairuz, karena itu adalah hal terpenting yang dapat diharapkan Abah dan Ummi. Tapi, Diva bingung kepada siapa dia bertanya. Di tengah kebingungan yang membelenggu, Diva shalat istikharah dan membuka Al-Qur’an, ternyata hasil istikharanya baik.

Baru Ummi yang tahu kalau Diva mencintai Fairuz. Nadia, Adel, dan Hanum hanya tahu bahwa mereka sebatas teman dekat, karena mereka mempunyai bakat yang sama, menulis. Sehingga komunikasi sebagai bentuk belajar.

Pada akhirnya, Diva harus cerita pada Nadia, karena dia salah satu sahabat sekaligus orangtua kedua di pesantren. Nadia yang selalu mengerti perasaan Diva saat tidak kerasan pada awal kali menginjakkan kaki di pesantren. Bahkan, Nadia yang amat perhatian mempersiapkan presentasi lombanya, mulai buat Power Point, sampai latihan presentasi berkali-kali, sehingga mengantarkannya menjadi sang juara dan mengharumkan nama pesantren dan keluarganya sendiri.

Nadia mendengarkan curhatan Diva tentang Fairuz. Banyak hal yang diceritakan, seperti momen mengintip senja berdua di tepi danau, jalan-jalan berdua, presentasi di depan Fairuz yang menjadi juri hingga respons Ummi saat bicara di ponsel. Nadia mengerti perasaan Diva sebagai perempuan yang tidak mau digantung dengan harapan yang hampa, karena itu sangat menyakitkan. Nadia merasakan sendiri sebagai perempuan saat dahulu ada di posisi Diva.

Melihat suasana hati Diva yang kalut bagai digoncang badai, Nadia mengajari Diva menjadi sosok yang kuat. Menunggu memang pahit, apalagi dihempaskan lebih pahit lagi. “Pahitnya menunggu seperti pahitnya obat,” tutur Nadia membuat Diva teringat saat masih kecil dipaksa Abah minum obat karena sakit. Pahitnya masih terasa sampai sekarang.

Nadia meneruskan, “Obat memang pahit, tapi di balik rasa pahit itu badan akan terasa sehat.”

Diva mengangguk. Membenarkan pesan Nadia. Teringat dahulu beberapa hari setelah minum obat Diva sembuh dari sakit. Pesan Nadia benar-benar meneduhkan, menenangkan hati, dan membangkitkan jiwa.

“Apa yang sebaiknya aku lakukan, Kak?” tanya Diva memelas.

“Masa depanmu lebih berharga daripada harapan semu. Jangan lemah karena cinta. Orang yang kita kirimin surat, bahkan doakan, belum tentu menjadi pendamping kita nanti.”

“Berarti Tuhan tidak mendengar doa kita?” bantah Diva memotong.

“Bukan begitu. Tuhan Maha Mendengar. Tapi, Tuhan juga Maha Tahu dan Maha Penyayang. Di balik sikap kasih sayang-Nya, Tuhan tidak menghendaki hamba-Nya yang baik bersama dengan hamba-Nya yang bejat. Berbaik sangkalah, karena dalam sebuah hadis: Ana ‘inda zanni ‘abdibi (Aku berdasarkan sangkaan hamba-Ku)

Tiada sepatah kata pun yang terucap. Biasanya Diva suka mencerocos kalau bicara, karena selain pintar, dia juga kritis. Saat diskusi di kelas, Diva memang yang sering mengkritik Nurcholish Madjid atau yang terkenal dengan sebutan Cak Nur saat sang guru mengutip gagasannya tentang pluralisme, bahwa semua agama memiliki kebenaran yang sama, karena semuanya sama-sama menuju kepada Tuhan Yang Esa. Diva membantah, bahwa di balik kesamaan kepercayaan kepada keesaan Tuhan, tetaplah agama yang paling benar adalah Islam.

“Nanti aku bantu carikan silsilah nasab Fairuz.” Kalimat ini meringankan beban Diva, karena sepertinya persoalan nasab adalah hal yang utama bagi sosok terhormat seperti Kyai.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru