27.8 C
Jakarta

Cerita Wadjda: Rela Menjadi Penghafal Al-Qur’an demi Membeli Sepeda

Artikel Trending

KhazanahTelaahCerita Wadjda: Rela Menjadi Penghafal Al-Qur’an demi Membeli Sepeda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Film “Wadjda” merupakan salah satu rekomendasi film yang bisa kita tonton untuk semua kalangan. Film ini diproduksi pada tahun 2012 yang disutradai oleh Haifaa al-Mansour. Dalam ceritanya, setidaknya ada beberapa tokoh di dalamnya, diantaranya: ibu dan ayah Madjda, Abdullah teman akrabnya, serta Ms. Hussa, kepala madrasah, tempat Wadjda belajar.

Film ini ceritanya sangat sederhana, namun menggambarkan betapa budaya membelenggu perempuan yang hidup di Arab. Film ini menarik pula karena, menceritakan keseharian perempuan Arab yang selama ini kita anggap tabu. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa, penampilan perempuan Arab tidak lepas dari cadar dan abaya berwarna hitam. Namun, nyatanya film ini menyajikan keseharian perempuan Arab yang hampir sama dengan kita.

Dalam kehidupan pribadi, dunia kerja ataupun dalam pergaulan, penampilan yang ditampilkan seperti kita, berpakaian terbuka ataupun membuka jilbab. Film ini cukup memberikan informasi kepada penonton untuk melihat kacamata kehidupan perempuan Arab lebih luas.

Wadjda adalah pemain utama dalam film ini, gadis kecil yang berumur 10 tahun yang periang, serta tumbuh dari sosok ibu yang hangat dan ayah yang menyayangi dirinya.  Ia mandiri dengan banyak sekali ide untuk mendapatkan uang dari kemampuan yang dimiliki. Seperti perempuan pada umumnya, ia menyukai musik rock, dimana bagi perempuan Arab hal itu merupakan kesukaan yang aneh.

Tidak hanya itu, ia memiliki teman yang sangat usil, bernama Abdullah. Pada cerita itu, Abdullah kerap mengganggunya dengan pelbagai hal, seperti: merampas sandwich, menarik kerudung Wadjda. Meskipun demikian, hubungannya dengan Abdullah terjalin dengan akrab. Sebab cukup sering, Abdullah memberikan sepedanya agar bisa dipakai oleh Wadjda. Bahkan perhatian Abdullah kepada Wadjda terlihat sekali ketika memberikan helm untuk Wadjda agar tidak cidera ketika jatuh dari sepeda.

Hingga pada suatu hari, Wadjda melihat sepeda disebuah toko yang menjadi impiannya. Berkali-kali ia membujuk ibunya untuk membelikan sepeda itu, tapi ibunya menolak. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi Wadjda selain menabung dari uang sakunya. Di samping itu, ia juga kerap berjualan kepada sesama teman sekolahnya untuk menabung, agar bisa mencukupi tabungannya untuk membeli sepeda. Tidak hanya itu, ia juga menjadi pengirim surat dari temannya untuk mendapatkan upah.

BACA JUGA  Generasi Khilafah Adalah Perusak Bangsa

Di sekolah, ada pengumuman lomba tahfiz bagi sekolah, dimana sang juara akan mendapatkan uang senilai 800-1000 riyal. Uang tersebut menurut Wadjda sangat cukup untuk membeli sepeda. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk dalam kelompok tahfiz dan berlatih dengan sangat keras. Dalam proses latihan, banyak upaya yang ia lakukan. Mulai dari membeli kaset berisi pelajaran tentang tajwid, hingga belajar bersama ibunya.

Dengan perjuangan sangat begitu keras, waktu belajar yang selalu ditambah olehnya. Awal belajar, ia merupakan anak yang paling kikuk dalam membaca Al-Qur’an. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menunjukkan dirinya bisa untuk bertanding dengan siswa lain. Akhirnya, ia menjadi juara dalam ajang tersebut.

Budaya Arab tidak memperbolehkan perempuan untuk menggunakan sepeda. Hal ini  yang dipermasalahkan oleh Ms. Hussa ketika Wadjda berhasil menjadi juara dalam ajang tahfidz Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Sejak awal, Wadjda memang berniat untuk ikut tahfidz karena hadiah yang didapatkan, bisa untuk membeli sepeda yang diinginkan.

Namun, kenyataan itu tidak sesuai dengan apa yang diimpikan oleh Wadjda, sebab Ms. Hussa lebih memanfaatkan uang hadiah tersebut didonasikan untuk Palestina. Hal ini karena, menurut Ms. Hussa, sepeda bukanlah mainan perempuan, dan sangat tidak bermanfaat. Keputusan itu membuat Wadjda kecewa karena selama ini, ia sudah banyak sekali berkorban untuk belajar dan berlatih agar hafalannya lancar dan bisa memenangkan kompetisi tersebut.

Meskipun demikian, kabar tersebut sangat memberikan kebahagiaan bagi keluarganya, khususnya sang ibu yang menemani Wadjda setiap kali belajar. Pada suatu malam, Wadjda dengan ibu membicarakan banyak hal. Termasuk kehadiran sang ibu kepada pesta pernikahan paman Wadjda.

Sebelumnya, sang ibu berniat membeli gaun merah untuk dikenakan pada pesta tersebut. Namun, melihat anaknya sudah berlatih sangat keras untuk mendapatkan sepeda, gaun merah tersebut tidak jadi dibeli karena uangnya digunakan untuk membeli sepeda impian Wadjda. Fakta itu menjadi kejutan besar bagi Wadjda, sebab beberapa waktu terakhir, ia dibuat sedih dengan keputusan Ms. Hussa untuk mendonasikan uangnya ke Palestina.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru