32.1 C
Jakarta
spot_img

Cerdas Memilih Ulama, Model Pencari Sampah atau Penggali Emas?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuCerdas Memilih Ulama, Model Pencari Sampah atau Penggali Emas?
image_pdfDownload PDF
Judul: Tuhan dalam Secangkir Kopi, Penulis: Denny Siregar, Penerbit: Noura Books, Cetakan: VI, Januari 2017, Tebal: 199 Halaman, ISBN: 978-602-385-112-6, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Rasulullah sudah banyak mengingatkan kita akan kemunculan orang-orang berbaju ulama pada akhir zaman. Bahasa yang digunakan adalah para pemakan ayat, para penjual ayat yang menukarnya dengan dunia, para pembaca Al-Qur’an tapi ayat yang dibacanya hanya sampai kerongkongan, dan masih banyak lagi redaksi yang lain.

Bahayanya, sebab perkataan mereka diikuti umat, yang disebut oleh Rasulullah juga sebagai umatku banyak di akhir zaman, tapi mereka seperti buih di lautan. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin belajar agama, orang-orang yang baru mengenal agama, sampai orang-orang yang merasa beragama.

Munculnya fenomena ulama karbitan yang mendadak seleb, dengan modal ayat-ayat tapi miskin makna, memang mengerikan. Mereka dibesarkan media, menjual agama demi harta dunia, memanfaatkan umat sebagai konsumen, sampai menarik bayaran dari ayat-ayat Tuhan.

Tuhan memberi mereka ilmu gratis, tapi mereka menjualnya dengan semurah-murahnya. Makna murah di sini bukan dalam ukuran materi, karena jika diukur materi, tarif mereka sangat mahal untuk sekali tampil. Murah di sini bermakna lidah mereka ringan berkata akhirat, tapi kehidupan mereka sangat dunia (hlm. 29).

Kaitannya dengan soal ulama, dalam buku Tuhan dalam Secangkir Kopi ini, dengan begitu cantik, ringan, santai, dan sangat berani, penulis mengibaratkan ulama dalam dua model. Model pertama laksana pencari sampah, sedangkan model kedua seperti penggali emas.

Penulis berkisah bahwa di satu tempat, hiduplah sang pencari sampah dan penggali emas. Pencari sampah menghabiskan hari-harinya mengumpulkan sampah di permukaan untuk dijual kembali. Dia selalu melaknat bau busuknya, tetapi hidupnya bergantung pada sampah. Sementara penggali emas menghabiskan hari-harinya untuk menggali tanah. Setiap lapisan tanah membuka harapannya kembali akan sebongkah logam mulia yang tertanam jauh di dalamnya.

Hari-hari berlalu. Pencari sampah berubah menjadi seorang pemarah, karena sibuk melaknat bau sampah. Dia akhirnya melebar melaknat dunia, melaknat hidup, melaknat kemapanan, melaknat masa lalu, melaknat kesuksesan. Dia melaknat orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang yang melihatnya selalu melaknat, melihatnya sebagai kebenaran. Mereka bergabung menjadi pencari sampah, kemudian ikut melaknat semua yang bisa mereka laknat. Mereka melaknat bau busuk sampah sambil terus mencari makan dengannya.

Penggali emas menjadi manusia yang berpikir. Setiap lapisan yang digali membutuhkan keahlian berbeda. Dia belajar dari masalah. Menemukan solusi. Kembali menggali. Sesekali dia menemukan butiran-butiran emas di lapisan tanah, seperti sebuah makna yang membuatnya makin tercerahkan. 

Orang-orang berdatangan, melihatnya menggali. Penggali emas membagi ilmunya. Tanpa disadari, dia sudah menjadi ahli. Mereka sama-sama menggali dengan senang, karena setiap butiran emas yang mereka dapatkan di setiap lapisan membuat mereka saling bertukar makna.

BACA JUGA  Mubadalah: Konsep Resiprositas dalam Relasi Muslim dan Non-Muslim

Para pencari sampah tidak pernah mengerti, kenapa para penggali emas menggali di kedalaman. Buat mereka, sampah di permukaan sudah menjadi dasar kebenaran. Sedangkan para penggali emas, tidak pernah menemukan makna kebenaran yang hakiki, sampai satu saat mereka mendapatkan sebongkah logam mulia di kedalaman yang tidak pernah mereka bayangkan. Pencari dan penggali. Sampah dan emas. Perspektif dan karakter yang berbeda. Mau menjadi siapa kita, itu adalah pilihan (hlm. 122).

Pengibaratan pencari sampah dan penggali emas ini sangat mudah diterka oleh siapa pun dan berprofesi sebagai apa pun. Karena demikian jelas, bahwa pencari sampah digambarkan sebagai orang yang mudah melaknat orang lain di mana ia tinggal dan di tempat ia mencari sesuap nasi.

Bertambah hari, tak hanya busuknya sampah yang ia laknat, tetapi juga merambat kepada tatanan yang sudah mapan, keutuhan yang sudah menyatu, dan fondasi bangunan yang sudah kokoh. Sementara penggali emas merupakan model ulama yang selalu berpikir jernih, tidak gegabah, sarat pertimbangan, belajar dari masalah, gemar berbagi ilmu, terbuka untuk bertukar pikiran, dan menemukan jalan keluar.

Lebih lanjut, dalam buku terbitan Noura Books (Mizan Publika) ini, penulis menyebut ciri-ciri ulama panutan atau dalam bahasa lain: orang-orang yang mengerti agama dengan baik.

Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik akan sulit meninggikan dirinya di depan manusia lain. Karena dia paham, bahwa manusia lain diciptakan sebagai guru untuk memenuhi akalnya. Dan itulah cara Tuhan berkomunikasi dengannya.

Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik akan sulit membenci orang lain. Karena dia paham bahwa kebencian itu adalah api, dan api itu bisa membakar jiwanya. Jika jiwanya terbakar, bagaimana dia bisa mendekati Tuhannya?

Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik akan sulit berpikir bahwa orang lain masuk neraka. Karena dia paham, apa untungnya jika orang lain masuk neraka, sedangkan dia sendiri belum dijamin penuh masuk surga? Neraka dan surga adalah punishment dan reward atas semua usaha manusia di dunia. Biarlah Tuhan yang menghitungnya. Itu bukan urusan manusia.

Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik akan selalu menggunakan akalnya dengan baik. Karena dia paham, akal adalah tempat menyimpan semua peristiwa yang tercipta untuk menaikkan nilai hidupnya. Dan nilai hidup tercermin dari bagaimana dia memperlakukan manusia lainnya (hlm. 3).

Akhirnya, mari bersama-sama kita cerdas dalam memilih ulama untuk berguru dan menjadikannya sebagai panutan. Carilah ulama yang memberi pencerahan tanpa arogan, tuturnya lembut dan mencerdaskan, pengajak bukan penginjak, amanah bukan amarah, perangkul bukan pemukul, serta tutur katanya menyejukkan bukan menakutkan, ala dakwah Walisanga di mana Islam diterima dengan cinta dan terhormat.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru