32.9 C
Jakarta

Catatan 86 Tahun Buya Syafii Maarif: “Ibu Kemanusiaan” bagi Seluruh Bangsa Indonesia

Artikel Trending

KhazanahTelaahCatatan 86 Tahun Buya Syafii Maarif: “Ibu Kemanusiaan” bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul buku: Ibu Kemanusiaan (catatan-catatan perempuan untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif). Penulis: Aulia Taarufi dkk. Penerbit: Buku Langgar. Thn. Terbit: Agustus 2021. Hlm: 328 halaman. ISBN: 9786239545833.

Harakatuna.com– Dimulai sejak meninggalnya Buya Syafii Maarif pada tanggal 27 mei 2022 kemarin, 4 hari sesudah itu, Buya akan merayakan ulang tahun ke-87 tahun. Kabar duka itu tersiar ke pelbagai wilayah Indonesia, bahkan se-nusantara. Hari itu, Indonesia kehilangan sosok yang luar biasa, sosok yang menjunjung tinggi kemanusiaan, bersahaja, bijaksana, serta tidak pernah memandang orang lain rendah.

Di media sosial, yang selalu tersebar adalah foto atau video Buya yang mengayuh sepeda, atau sedang makan angkringan layaknya masyarakat biasa, atau ia yang sedang berbincang dengan masyarakat. Di beberapa cerita lain, sangat familiar cerita tentang Buya yang lebih memilih antre di rumah sakit yang, sangat pantas ia mendapatkan perilaku istimewa. tidak hanya itu, ia lebih memilih naik kereta ekonomi atau pesawat ekonomi. Perilaku semacam itu adalah kemewahan yang dimiliki seorang tokoh seperti buya. Disaat semua orang, hidup dengan kemewahan dan haus akan pengakuan, Buya adalah sosok yang sebaliknya.

Tulisan ini adalah buah tangan yang diberikan oleh 34 perempuan dari pelbagai kalangan. Seluruh kisah dan saksi perjuangan hidup  Buya, ditulis secara ciamik. Terdiri dari pelbagai kalangan, mulai dari Menteri, aktris, tokoh Muhammadoyah, influencer, akademisi, peneliti, wartawan, dll. Kumpulan tulisan ini diberi judul “Ibu Kemanusiaan.” Tentu, ibu yang dimaksud bukanlah makna secara biologis. Akan tetapi, kata “ibu” adalah metafora, yang maknanya tidak bisa langsung seluruh dengan arti tekstualnya.

Menjunjung tinggi Islam Egaliter

Esthi Susanti Hudiono, menuliskan sosok Buya dengan idenya yakni, Islam Egaliter. Kata tersebut ia dengar langsung oleh Buya pada pertengahan 1990. Baginya, Islam Egaliter yang dimaksud Buya bertentangan apa yang ada di benaknya. Sebab selama ini, melihat Islam sebagai agam yang kolot dan terkesan memaksa. Sedangkan Buya, dalam pemikirannya, egaliter menjadi napas dari tauhid. Sebab manusia tidak dibedakan secara etnis, ataupun, suku, bahkan agama. Justru manusia dibedakan karena ketakwaannya kepada Allah.

Pemikiran Buya yang ditulis Esthy tersebut sejalan dengan apa yang dilakukannya pada kasus Ahok beberapa tahun silam. Adalah Kalis Mardiasih, menuliskan sikap Buya terhadap kasus Ahok pada tahun 2017 itu. Pada tulisannya, Kalis menjelaskan betapa lantangnya suara Buya. Pada kasus tersebut, ia sedang tidak membela Ahok. Akan tetapi, dalam konteks perbedaan, respon yang diberikan oleh para elit politik apalagi dengan jubah agama, sangat tidak bisa dibenarkan dengan dalil apapun.

BACA JUGA  Mewaspadai Infiltrasi Aktivis HTI dalam Pemilu 2024

Lebih jauh, dalam tulisannya, Buya mempopulerkan istilah misguided Arabism atau arabisme sesat. Berbagai masalah bangsa seperti kesenjangan sosial dan ekonomi memang makin nyata, tapi berserah diri pada pemahaman agama yang kontra-produktif dengan keilmuan tidak akan menyelesaikan persoalan. Pernyataan keras yang lain, termuat di akun twitter @SerambiBuya pada 23/22/20 adalah, “Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual.”

Pemikiran tersebut ia lontarkan untuk menunjukkan kepercayaan diri yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Islam yang ada di Indonesia, melalui kondisi negara demokrasi jauh memiliki masa depan lebih baik dibandingkan dengan krisis yang dialami oleh negara-negara Arab. Tanpa disadari, masyarakat Indonesia terlalu berlarut-larut dalam kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang menganut agama Islam.

Toleransi adalah alat manusia hidup dalam ruang keberagaman

Pada kasus yang lain, Buya juga sangat menyayangkan Razia penjual makanan pasa saat bulan Ramadhan. Buya mengkritik perilaku tersebut dengan menyebutnya sebagai aktifitas merampok mata pencaharian hidup orang lain. Rosalia Sciortino Sumaryono, menuliskan refleksi atas kasus itu. Pemikiran Buya pada kasus itu sebetulnya bukan hal baru. Jauh sebelum itu, ia sudah memiliki pemikiran bahwa, “sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran  bisa toleransi sosial, agama dan budaya tidak mantap,”

Buya Syafii Maarif, adalah sosok yang berpikir, bersuara dan bertindak tanpa takut kehilangan apapun. Suaranya dalam merespon tentang masalah keberagaman, perpecahan dan beberapa kasus tertentu sangat lantang. Ia bersuara tanpa takut kehilangan marwahnya sebagai tokoh Muhammadiyah, atau tanpa takut dibenci dan dicaci maki. Sebab perilaku semacam itu, sudah sangat sering ia dengar setiap waktu. Tulisan ini tidak hanya refleksi para perempuan. Tetapi juga, saksi bahwa Buya adalah sosok luar biasa kepunyaan Indonesia. Selamat Jalan Buya. Lahul fatihah.

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru