Harakatuna.com. Dalam dunia tafsir ada yg disebut dengan perkembangan suatu makna dalam ayat Al-Qur’an. Semisal, makna “sayyarah” yang dipahami dengan makna musafir, sekarang dipahami dengan makna mobil.
Perkembangan makna ini perlu diperhatikan oleh siapapun yang hendak memahami pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan sangat berbahaya jika mufasir hanya berpegang pada makna awal. Al-Qur’an akan ketinggalan konteksnya.
Padahal, Al-Qur’an seperti yang disebutkan dalam adagium populer: “Shalih likulli zaman wa makan.” Maksudnya, Al-Qur’an harus dipahami secara kontekstual atau, jika meminjam istilah Prof. Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang membumi adalah Al-Qur’an yang sesungguhnya. Meskipun Al-Qur’an diturunkan beberapa abad silam, pesan yang disampaikan harus kontekstual. Karena, pesan adalah substansi yang hidup.
Membatasi makna ayat biasanya banyak dilakukan oleh kelompok radikal. Mereka menjadikan teks sebagai sesuatu yang mati. Teks dibuat tunduk dengan masa lalu, sehingga ketika dihadapkan dengan era sekarang tampak berlawanan.
Ada banyak tema dalam Al-Qur’an yang dipahami secara sempit oleh kelompok radikal. Misal, tema jihad yang dipahami sebagai perang melawan orang kafir. Ini makna awal. Sedang, sekarang jihad sudah mencakup segala sesuatu yang positif seperti belajar, berbisnis, dan juga berpolitik.
Tema lain yang disalahpahami adalah nahi mungkar (mencegah kemungkaran). Nahi mungkar dipahami dengan swipping atau menggruduk tempat-tempat yang dianggap bermaksiat. Padahal, makna yang berkembang saat ini nahi mungkar lebih kepada mengubah keburukan dengan cara santun.
Sebagai penutup, penting memahami kontekstualisasi ayat Al-Qur’an. Agar kitab suci ini membumi di mana ia berpijak. Membatasi makna adalah salah satu membuat Al-Qur’an kehilangan konteksnya.[] Shallallah ala Muhammad.