31.8 C
Jakarta

Cara Beragama yang Benar Bisa Mengurangi Islamofobia di Dunia

Artikel Trending

AkhbarNasionalCara Beragama yang Benar Bisa Mengurangi Islamofobia di Dunia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Moderasi agama sama sekali bukan terletak pada apakah agamanya. Melainkan terkait dengan cara bagaimana beragama yang lebih menekankan pada sikap tengah-tengah atau wasathiyah. Pada akhirnya, cara keberagamaan demikian akan berdampak pada sikap toleran. Dan secara langsung akan berefek pada pengurangan Islamofobia di dunia.

Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI) Jenderal TNI Purn Fachrul Razi ketika jadi pembicara pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-48 bertajuk “Ekstremisme Sosial-Keagamaan dan Perdamaian Semesta”, yang berlangsung di Aula Ahmad Dahlan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Lantai 6 Kampus Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jl. Merdeka No. 20 Kampung Rambutan, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Sabtu (14/03/2020).

“Konsep Islam moderat tersebut saat ini diimplementasikan oleh Arab Saudi dengan wacana membuka diri, sementara Uni Emirat Arab (UEA) menekankan sikap toleransi untuk menarik wisatawan asing yang beragama non Islam. Dengan kata lain, sikap toleran akan berdampak secara langsung terhadap dinamika Islamopobhia di dunia,” terang Menag Fachrul Razi.

Menag juga menambahkan bahwa Muhammadiyah juga senantiasa mengedepankan wacana Islam rahmatan lil ‘alamin (rahmat kepada semesta alam), khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, di mana cara pandang moderat ini dapat berimplikasi positif pada kondusivitas di bidang-bidang lainnya mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan atau ipoleksosbudhankam.

3 Cara Beragama Penganut Ekstremisme

Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah H Busyro Muqoddas menyampaikan mengenai isu sosial keagamaan di mana kaum beragama sudah banyak yang berpaham ekstremisme. Menurutnya, paham ekstremisme sosial-keagamaan yang subur di Indonesia tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian.

“Yaitu kelompok kecil takfiri (suka mengkafirkan pihak lain) yang bersifat imam tunggal, kelompok agama transnasional yang dibumbui dengan perlawanan terhadap pemerintah setempat, dan kelompok ekstremisme sosial disebabkan oleh kesenjangan politik di suatu negara tertentu,” terangnya.

Menurut Busyro Muqoddas, hal itu lahir karena kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini banyak diwarnai oleh kepentingan transaksional dari tingkat daerah hingga tingkat pusat sehingga kepemimpinan yang dihasilkan bersifat kleptokrasi dan serba fraud (ketidakjujuran).

Pernyataan tersebut kemudian diperinci oleh Sekretaris Majelis Tarjih-Tajdid PW Muhammadiyah DKI Jakarta Dr. Izza Rohman Nahrowi, M.A. yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut. Menurutnya, ekstremisme keagamaan berpijak pada pemaknaan, pemahaman, ataupun penafsiran tertentu atas kitab suci. Penafsiran ajaran teks kitab suci tersebut kerap kali tidak cukup memadai untuk disebut sebagai penafsiran ataupun pemahaman, utamanya dikarenakan mengabaikan prinsip atau metode pembacaan teks, namun penarasian “cepat saji” ala kaum ekstremis yang bergandengan dengan pembacaan yang tak mendalam atas situasi atau realitas sosio-politik, tidak jarang cukup efektif untuk membentuk sikap atau memotivasi suatu aksi.

“Itulah mengapa kita perlu mengenali bagaimana kitab suci dibaca di dalam bingkai ekstremisme dan mendaftar apa saja opsi yang tersedia bagi kita untuk membuat pembacaan itu tidak menular dan berdampak. Inilah dua hal yang menjadi perhatian inti dari pemaparan materi ini,” terang Dr Izza yang menyampaikan materi seminar bertajuk Ekstremisme Dalam Penafsiran Kitab Suci dan Penawarnya ini.

BACA JUGA  Kamuflase HTI Sebar Paham Khilafah, BNPT Minta Masyarakat Waspada

Terorisme Disebabkan Pengaruh Paham Ekstrem

Dr. Izza yang juga Wakil Dekan IV FKIP UHAMKA ini juga menyampaikan bahwa pemahaman terhadap konsep-konsep itu tentu bukan monopoli ekstremisme, namun pemahaman yang menyeruak dalam diskursus mengenai terorisme, radikalisme, ataupun deradikalisasi terkait konsep-konsep ini sedikit banyak menunjukkan adanya pengaruh paham ekstrem. Oleh sebab itu, Dr Izza kemudian memberikan tiga pilihan jalan keluar.

“Pertama, menghindari diskusi tentang konsep-konsep tersebut. Kedua, melucuti atau mendelegitimasi pemahaman ekstremis terhadap konsep-konsep itu. Ketiga, memenangi percaturan tafsir atas konsep-konsep tersebut dengan memenuhi ruang-ruang tafsir dengan pemahaman yang diikat oleh ajaran-ajaran Al Quran yang lain,” terangnya.

Pada kegiatan seminar yang dihadiri oleh sekitar 350 peserta ini, hadir pula Mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Gereja Indonesia Pdt. Dr. Richard Daulay yang juga bertindak sebagai pembicara. Melalui Dr. Richard, diketahui bahwa ekstremisme paham keagamaan tidak hanya terjadi dalam lingkungan masyarakat Islam, melainkan juga semua agama, tidak terkecuali Kristen.

“Kekristenan yang merupakan buah dari gerakan Yesus adalah agama yang sangat menekankan kasih, pengampunan, pengorbanan, dan perdamaian. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah, terjadi berbagai konflik internal dan penindasan kelompok ‘separatis’ (heresy) yang merupakan campuran dari unsur-unsur politik dan keagamaan,” terang Dr. Richard yang juga Direktur The International Reformed Theological Institutions ini.

Ekstrimisme dan Permasalahan Keagamaan Secara Politis

Persoalan ekstremisme paham keagamaan ini juga disinggung oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menurutnya, tiap negara memiliki definisi sendiri-sendiri terkait radikalisme dan terorisme, dimana kedua permasalahan ini dapat disebabkan oleh gerakan religius/ideologis, politik ketimpangan, dan migrasi (perpindahan penduduk). Dia mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, isu tersebut lebih dianggap sebagai permasalahan keagamaan dibanding politik.

“Ekstremisme beragama dapat terjadi akibat kekakuan cara berpikir yang berkombinasi dengan penegakan hukum yang lemah, sementara rekomendasi yang dapat disampaikan kepada Muhammadiyah yaitu mendorong pembaruan penegakan hukum yang sesuai dengan hukum internasional (di tingkat negara) serta pembaruan di bidang pendidikan dan kebudayaan (di tingkat grass root),” tegasnya.

Adapun tokoh-tokoh yang hadir dalam seminar ini di antaranya adalah: Menag RI Jenderal TNI Purn Fachrul Razi, Staf Khusus Menag Mayjen TNI Purn Zul Efendi, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Dr. H. Busyro Muqoddas, M.Hum., Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah Sutrisno, Wakil Rektor IV UHAMKA H. Bunyamin, M.Pd.I., Sekretaris Majelis Tarjih-Tajdid Pengurus Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta dan Anggota Dewan Syariah Lembaga Amal Zakat Infak Sedekah Muhammadiyah Pusat Dr. Izza Rohman Nahrowi, M.A., Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dan Mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Gereja Indonesia Pdt. Dr. Richard Daulay. (Mihrab)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru