30 C
Jakarta

Cak Nur Menyerukan Kehadiran Agama Di Ruang Publik, Bukan Khilafah!

Artikel Trending

KhazanahTelaahCak Nur Menyerukan Kehadiran Agama Di Ruang Publik, Bukan Khilafah!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Perdebatan panjang tentang agama rendang babi masih terus bergulir. Setidaknya kalau kita baca komentar para netizen di twitter, memahami persoalan rendang babi ini tidak perlu dipermasalahkan. Namun, karena argumen persoalan agama rendang babi tersebut disampaikan oleh tokoh agama, yakni Gus Miftah dan Ustaz Adi Hidayat, maka persoalan semakin rumit.

Sebenarnya, persoalan rendang babi itu sangat sederhana sekali. Jika memang makanan yang dikelola menjadi rendang adalah daging babi, maka sebagai umat Islam, tidak perlu memakannya. Apabila pihak pengelola rendang/ penjual rendang tidak memberi tahu bahwa daging tersebut adalah babi, hal itu yang perlu diusut, untuk lebih memperhatikan kehalalan makanan yang dikonsumsi oleh sebagian besar umat muslim.

Ambil saja contohnya, makanan korea, Corn Dog, misalnya. Di Korea, makanan tersebut terbuat dari sosis daging babi. Jenis makanan itu, apabila dimakan oleh masyarakat muslim adalah non halal. Sampai ke Indonesia, justru makanan tersebut menjadi halal karena terbuat dari sosis daging sapi/ayam. Seandainya, orang Korea menggugat karena Corn Dog di Indonesia terbuat dari sosis ayam/sapi, kita semua pasti akan tertawa, melihatnya sebagai orang tidak waras. Karena mengelola makanan itu boleh-boleh saja dilakukan oleh semua orang.

Sangat tidak perlu sebenarnya, untuk ikut meramaikan khazanah perdebatan soal makanan rendang babi yang membuat umat muslim semakin rusak citranya ketika dilihat masyarakat non muslim.  Hal ini karena mengindikasikan kedewasaaan beragama yang dimiliki oleh masyarakat muslim sangat minim, karena masih mempersoalkan makanan yang semua orang bebas untuk mengelolanya seperti apa.

Bagaimana implementasi agama di ruang publik?

Sejalan dengan permasalahan yang menjadi perdebatan di atas dan kaitannya dengan agama, menunjukkan bahwa, agama belum hadir di ruang publik. Kehadiran agama justru hanya sebatas menjadi karya simbolik yang dimiliki masyarakat muslim. Masih terpenjara dengan halal-haram yang menimbulkan perdebatan cukup panjang.

Kehadiran agama di ruang publik sangat perlu ditampilkan sebagai substansi dari ajaran agama itu sendiri. Menurut Nur Cholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, kehadiran agama di ruang publik ditunjukkan dengan hadirnya agama di ruang private dalam seseorang. Ini tercermin dalam tulisan Cak Nur, sebagai berikut:

BACA JUGA  Ilmu dan Akhlak: Dua Hal yang Harus Dipahami oleh Umat Muslim!

“Bagian dari sikap keagamaan yang seharusnya melahirkan etos disiplin ialah kesadaran akan tanggung jawab pribadi. Yaitu tanggung jawab di hadapan Tuhan dalam pengadilan ilahi atas segala perbuatan yang baik ataupun yang buruk, besar atapun kecil yang dilakukan di dunia “…. tangung jawab pribadi ini berpangkal pada iman, yakni keyakinan akan adanya Tuhan semesta alam. Juga keyakinan bahwa Tuhan menghendaki para hamba-Nya untuk bertindak dan bertingkah laku menurut pedoman dan ukuran kebaikan dan kebenaran. Karena hanya kebaikan dan kebenaran yang mengantarkan seseorang pada rida Tuhan itu.”

Kalimat di atas kiranya cukup menjadi tamparan kepada kita semua bahwa, aspek teologis yang dimiliki oleh seseorang menghadirkan dirinya sebagai perilaku utuh yang disiplin dalam melakukan perannya di ruang publik.

Jika kita sebagai politisi, apabila kita benar-benar orang yang religious (menjalankan perintah agama), maka ia akan tampil sebagai sosok politisi yang tidak menabrak aturan yang merugikan orang lain. Tampilan tersebut sejalan dengan, apabila kita memiliki kekuasaan di legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Tidak hanya pemilik kuasa, maka masyarakat yang menjalankan perintah agama, ia akan tampil sebagai orang yang taat akan peraturan, menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan dan kerukunan serta perdamaian, seperti yang disampaikan oleh ajaran agama masing-masing.

Dengan melihat gagasan di atas, kita membaca bahwa gagasan Cak Nur menekankan kepada aspek substansial dari agama. Sehingga agama tampil tidak sebagai eksistensi semata. Hal ini juga berarti, gagasan Cak Nur, bisa juga dikaitkan dengan para proklamator khilafah yang sampai hari ini masih keukeuh memperjuangkan khilafah di Indonesia.

Melihat gagasan Cak Nur justru membuat kita membaca gerakan para proklamato khilafah hanyalah menguatkan eksistensi Islam, tapi kosong dari segi substansi ajaran Islam. Agama di ruang publik, yang ditampilkan oleh para proklamator khilafah di Indonesia adalah hanya sebatas eksistensial belaka. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru