31 C
Jakarta

Cadar itu Bukan Syariat Islam

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanCadar itu Bukan Syariat Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sambutan Menteri Agama Fachrul Razi pada acara Loka Karya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Mangga Dua Selatan memicu perdebatan hangat di tengah-tengah masyarakat. Ada yang melihat wacana ini bertentangan dengan perintah menutup aurat wanita muslimah. Namun, ada yang mendukung wacana tersebut sebagai bentuk kritik terhadap sebagian orang yang mewajibkan cadar.

Untuk mengetengahkan topik cadar yang debatable, diperdebatkan, sebaiknya ada dua hal penting yang tidak dapat dilupakan: Pertama, status cadar, apakah sebagai syariat Islam atau trend budaya. Kedua, kronologis diperintahkan memakai cadar. Saya yakin perdebatan sengit sampai tidak sehat sesungguhnya kurang memperhatikan dua hal ini, melainkan terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik.

Dalam bahasa Arab cadar sering diterjemahkan dengan niqab. Ketika saya coba telusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tiada satupun ayat yang menyebutkan kata tersebut. Sampai di sini, saya mulai curiga cadar itu sebenarnya bid’ah (kreativitas manusia), karena belum pernah disebutkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an dan bahkan belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, kecurigaan ini belum memberikan jawaban yang memuaskan. Karena itu, saya coba lihat beberapa ayat Al-Qur’an yang memperbincangkan soal fashion.

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Ahzab/33: 59).

Ayat tersebut membicarakan tentang perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memerintahkan istri-istrinya, anak-anaknya, dan seluruh perempuan muslimah untuk memakai jilbab. Menurut guru para mufasir ath-Thabari, perintah jilbab ini bertujuan membedakan perempuan merdeka dengan perempuan budak, sehingga perempuan merdeka itu lebih diperhatikan status sosialnya dibandingkan perempuan budak.

Sayang, pada ayat tersebut kata jalabib bukanlah pakaian cadar yang dimaksud banyak orang. Dalam Ma’alim at-Tanzil al-Baghawi menyebutkan, bahwa kata jalabib yang merupakan bentuk jamak dari kata jilbab dipahami dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dan dipakai di atas khimar (pakaian penutup kepala) dan dir’u (pakaian yang terbuat dari besi yang berfungsi menjaga dari serangan senjata).

Pada ayat lain Allah menyebutkan: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Qs. an-Nur/24: 31).

BACA JUGA  Mengatasi Kemiskinan dengan Memiskinkan Koruptor atau Menaikkan Gaji Pejabat?

Ayat 31 membicarakan tentang aurat orang perempuan yang hendaknya ditutup sehingga tidak terlihat mata orang lain yang bukan mahramnya, tapi Al-Qur’an tidak menjelaskan batasan aurat dengan terperinci, sehingga batasan aurat bersifat relatif. Allah kemudian—sebut as-Sayuthi—memerintahkan kepada seluruh wanita untuk mengulurkan khumur yang dapat menutup dadanya sehingga tidak terlihat sedikitpun. Khumur di sini bukanlah cadar yang menutup wajah perempuan, namun pakaian yang menutup kepala. Kalau di Indonesia khumur ini lebih dekat dipahami dengan “jilbab”.

Ketiadaan penyebutan cadar dalam Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa cadar itu bukan perintah agama, melainkan hanya trend budaya semata. Karenanya, dapat dibenarkan wacana yang disampaikan oleh Razi atas pelarangan cadar di Indonesia. Karena, Razi menyadari trend ini telah dipolitisasi untuk kepentingan politik dengan berlindung di bawah klaim agama. Hal ini jelas bukan ide yang baik dan bukan cara yang sehat dalam berkompetisi meraih kekuasaan. Biasanya pihak yang mengampanyekan cadar sebagai bagian dari syariat Islam adalah Hizbut Tahrir (Partai Kebebasan) yang sesungguhnya motivasi politiknya sudah terlihat dari nama partai ini.

Melalui status cadar yang sedikitpun tidak disinggung dalam Al-Qur’an, menjadi catatan bahwa cadar hanya trend budaya setempat yang memiliki tujuan tertentu, sehingga tidak selamanya dapat diterapkan di semua tempat. Saya lebih melihat fungsi cadar sama dengan kain masker wajah yang digunakan untuk melindungi wajah dari debu. So, jangan judge orang yang tidak memakai cadar dengan orang yang kafir atau sesat. Begitu pula, jangan sampai perempuan yang bercadar merasa dirinya sudah menutupi aurat karena tidak ada batasan yang pasti soal aurat dalam Al-Qur’an dan jangan merasa paling benar karena kebenaran itu relatif.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru