30 C
Jakarta

Buya Syafii Wafat, Mengapa Para Aktivis Khilafah Bersuka Cita?

Artikel Trending

Milenial IslamBuya Syafii Wafat, Mengapa Para Aktivis Khilafah Bersuka Cita?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Wafatnya Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Muhammadiyah, pada Jum’at (27/5) pagi, pukul 10.15 WIB, menyisakan duka yang sangat dalam kepada banyak pihak. Banyak politisi ikut mengucapkan belasungkawa, begitu pula dengan para tokoh agama. Buya Syafii mendapat doa semua kalangan, lintas ormas, dan dikenang sebagai guru bangsa yang tangguh serta sederhana. Seluruh masyarakat Indonesia berduka cita kecuali para aktivis khilafah. Mereka bersuka cita.

Sebenarnya bersuka atau berduka cita merupakan hal individual. Wajar. Setiap tokoh punya pecinta dan pembenci, dan kita tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain ikut berduka dengan kita, karena boleh jadi bagi mereka hal itu justru merupakan sesuatu yang disambut suka cita. Namun dalam konteks Buya Syafii, suka cita adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara. Itu karena melihat posisi Buya Syafii dan kontribusi besarnya untuk masyarakat, agama, dan negara.

Adalah mengherankan jika para aktivis khilafah bersuka cita dengan wafatnya Buya Syafii. Sebab, mereka bukan dilatarbelakangi kebencian politis, melainkan kebencian ideologis yang tentu saja sangat berbahaya. Kebencian ideologis yang dimaksud ialah, mereka bersuka cita karena merasa kehilangan satu musuh di satu sisi, dan merasa akan bebas bergerak setelah musuh itu tidak ada di sisi lainnya. Artinya, setelah kewafatan Buya Syafii, para aktivis khilafah akan beraksi.

Mereka akan beraksi melakukan khilafahisasi: indoktrinasi khilafah dan atau glorifikasi Islam politik. Buya Syafii sudah tidak lagi melawan mereka melalui tulisannya yang bernas dan gagasannya yang brilian. Jelas saja para aktivis khilafah gembira dan bersuka cita, karena Buya Syafii sangat tegas dan konsisten menyuarakan perlawanan terhadap Islam politik, di buku maupun gagasan verbalnya. Secara tidak langsung, Buya Syafii konsisten melakukan kontra-transnasionalisme.

Buya Syafii dan Kontra-Transnasionalisme

Nama Buya Safii pernah menjadi perbincangan publik lantaran dirinya membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pada 2016 lalu. Ia menyebut Ahok kala itu tidak melakukan penistaan agama, yang sudah  barang tentu pandangan tersebut bertolak belakang dengan pendapat mayoritas umat Islam, terutama kalangan Muslim FPI dan MUI. Namun langkah berani Buya Syafii yang demikian merupakan komitmen dirinya terhadap kontra-transnasionalisme dan turunannya.

Seperti diketahui, pada 2016 lalu, Indonesia berada di puncak rongrongan transnasionalisme. Spirit mendirikan khilafah dan negara Islam sangat besar, HTI berkuasa, FPI sesumbar dengan jumlah jemaah, dan pemerintah tak bisa apa-apa karena tertuduh sebagai anti-Islam setiap kali ingin melawan transnasionalisme tersebut. Para khilafahers ketika itu sangat masif, dan riskan untuk dilawan. Tetapi Buya Syafii tidak peduli, sekalipun nama baiknya jadi sasaran cerca.

Beberapa istilah dipelopori oleh Buya Syafii. Misalnya, istilah ‘sumbu pendek’, yang merupakan istilah sarkastis untuk umat Islam yang suka marah atas nama agama: mudah meledak menghina, menyesatkan, bahkan mengafirkan orang lain. Ada juga istilah ‘premanisme berjubah’, yang mengkritik umat Islam membawa-bawa atribut keislaman untuk partai politik fraksi oposisi. Lainnya ada juga istilah ‘teologi maut’, yakni para teroris yang rela mati konyol dengan mengatasnamakan akidah.

BACA JUGA  Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Sepanjang hidup, Buya Syafii yang oleh Gus Dur disebut sebagai salah satu“pendekar dari Chicago” itu tidak surut bahkan untuk bertempur secara gagasan kenegaraan dengan politisi dan ulama sekaliber Amien Rais dan KH Ma’ruf Amin. Dua tokoh terakhir ini memang sering kali kontroversi dan memainkan narasi yang satu spirit dengan tranasnasionalisme, maka Buya Syafii maju dengan tegap menghadapi mereka. Tentu saja bukan permusuhan, hanya pergulana narasi intelektual.

Transnasionalisme mengingingkan tegaknya khilafah, dan Amien Rais malah bermain di selokan Islam politik. Itu yang Buya Syafii lawan: ia konsisten dengan kontra-transnasionalisme. Tetapi hubungan personal dengan Amien Rais, terutama sebagai sesama tokoh Muhammadiyah, terjalin baik. Dari Buya Syafii, umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia mesti belajar ihwal ketegasan melawan ancaman transnasionalisme, terlepas dari siapa pun musuhnya—mereka semua wajib dilawan sebagai khilafahers.

Kegembiraan Khilafahers

Buya Syafii tidak kompromi dengan siapa pun yang mempunyai gagasan tentang, atau beririsan dengan, khilafah. Sementara Amien Rais malah dielu-elukan para khilafahers, terutama ketika ia mendirikan Partai Ummat. Maka tidak heran setelah kewafatannya, khilafahers malah bersuka cita. Alih-alih berbelasungkawa karena sang guru bangsa berpulang, mereka malah pura-pura tidak kenal, bahkan tidak sedikit yang gembira dengan bilang “pembenci Islam telah berkurang”.

Memang susah mencari sosok setangguh Buya Syafii, yang tegas dalam melawan musuh dan selalu sederhana di tengah nama besarnya. Bukan hal yang mengherankan ketika Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) berharap mantan Ketua Muhammadiyah tersebut dinobatkan sebagai pahlawan nasional, karena jasa Buya Syafii untuk Islam dan negara sangat besar. Tokoh sekaliber Buya Syafii adalah benteng dari perongrong kedaulatan, yakni khilafahers yang sesat dan menyesatkan.

Kini para khilafahers gembira dengan caranya masing-masing. Ada yang memilih diam tanpa komentar di media sosial, tetapi hatinya gembira karena satu musuhnya telah wafat. Ada juga yang koar-koar di media sosial dan menyebut satu musuh Islam telah tiada. Tidak ada duka cita, mereka justru bersuka cita. Mengapa demikian? Karena para khilafahers tahu, medan mereka mudah ditaklukkan sehingga indoktrinasi khilafah tidak akan lagi terhambat gagasan kebangsaan dari Buya Syafii.

Di tengah kegembiraan khilafahers, Buya Syafii meninggalkan Indonesia untuk kita semua. Maka, Buya Syafii yang lain harus lahir dari kita, sekalipun tidak sebesar dirinya namun paling tidak konsisten dan berkomitmen untuk terus melawan transnasionalisme, populisme, dan ideologi-ideologi Islam politik yang membahayakan negara. Suka cita para aktivis khilafah pasca-wafatnya Buya Syafii tidak boleh dibiarkan bertahan lama. Caranya satu: kita harus segera babat habis mereka semua.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru