25.6 C
Jakarta
Array

Buta Aksara Keagamaan, Tantangan Besar Moderasi Islam

Artikel Trending

Buta Aksara Keagamaan, Tantangan Besar Moderasi Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta-Kepala Lajnah Pentashihan Al-Quran (LPMQ) Balitbang-Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Muchlis M Hanafi, menilai tantangan terbesar moderasi beragama saat ini datang dari sebagian masyarakat yang masih buta aksara keagamaan. Fenomena buta aksara keagamaan ini, pernah disebutkan seorang penulis Timur Tengah Rajab Albana dengan istilah al-ummiyah al-dinniyah.

Perihal tersebut disampaikan Muchlis saat menyampaikan materi pada kegiatan Temu Konsultasi Kepustakaan Islam yang digelar di Jakarta oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Dit Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam Kemenag. Ia mengingatkan, saat ini semangat beragama seharusnya diiringi pula dengan sikap kerendah-hatian untuk terus menggali ilmu keislaman, dari sudut pandang yang luas.

“Sikap beragama yang hanya bermodalkan semangat saja hanya menimbulkan sikap fanatisme yang berlebihan, dan dapat menyasar kepada bentuk takfirisme atau menyalahkan semua sikap orang lain,” ujar Muchlis dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (28/2).

Untuk mengatasi hal tersebut, ia menilai semangat atau ghirah yang kuat untuk terus menggali ilmu keislaman itu sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat ilmu yang diwariskan para ulama dan salafushalih itu sangat luas dan beragama variannya.

Dalam pemaparannya, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menekankan pentingnya memahami konsep tadarruj (proses bertahap). Konsep ini sangat kental mewarnai ratusan produk hukum Islam yang dikeluarkan para ahli agama sebelum menentukan sebuah instinbatul hukmi (kesimpulan hukum).

“Dalam masa-masa periode kesarjanaan saya di bidang tafsir dan ilmu-ilmu al-quran, konsep tadarruj menjadi sangat vital dan senantiasa menjadi bingkai dalam upaya memahami hukum-hukum yang disandarkan, baik kepada pencarian konteks dan makna nash-nash Alquran, Al-Hadis, maupun masalah fiqhiyyah,” ucap Muchlis.

Muchlis melanjutkan, berangkat dari metode komprehensif tersebut itu, muncul lah apa yang kemudian dikenal sebagai dengan konsep fiqhul waqi’ (pemahaman konteks kejadian) dan fiqhul ikhtilaf (fikih keragaman pendapat). Dalam konteks sekarang, konsep itu menjadi pintu masuk bagi gagasan washatiyatul Islam (moderasi Islam) atau moderasi beragama, yang turut dikembangkan oleh Kementerian Agama.

Temu Konsultasi Kepustakaan Islam kali ini mengangkat tema “Memperkuat Moderasi Islam melalui Literasi”. Sekjen Ikatan Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia ini mengapresiasi tema tersebut.

Selain itu, ia juga memberikan tantangan perihal pentingnya Dit Urais-Binsyar untuk pro aktif dalam mengentaskan fenomena buta aksara keagamaan global yang saat ini mulai kian berkembang hingga memasuki ranah pemikiran di Indonesia.

“Saya sangat mengapresiai forum ini, dan berharap ke depan Subdit Kepustakaan Islam dapat pula mengembangkan beberapa gagasan seperti an-naqd, sebuah metode kritik atas tesis sikap-sikap ektrimisme, sekaligus membangun kembali pola al-muaradhah sebuah tesis kemaslahatan dengan menyediakan narasi-narasi moderat, hingga dapat memecah kebuntuan fenomena buta aksara keagamaan yang saat ini semakin massif menyebar,” ujar Muchlis.

Kegiatan Temu Konsultasi Kepustakaan Islam ini merupakan kegiatan kali kedua. Acara berlangsung tiga hari, 27 Februari – 1 Maret 2019. Kegiatan ini diikuti 86 peserta, terdiri dari 34 Pustakawan Masjid Raya, 34 PIC Kepustakaan Islam Kanwil Kemenag, Pustakawan Ormas Islam dan beberapa staf di lingkungan Ditjen Bimas Islam.

Sumber: Republika

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru