29 C
Jakarta

BPIP dan Maniak Kegaduhan

Artikel Trending

Milenial IslamBPIP dan Maniak Kegaduhan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Setelah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memasang pamlet lomba bertema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’, dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’. Banyak dari pihak masyarakat dan politisi memprotes, mengomentari, tidak setuju, dan bahkan mengecam.

Alasan ketidaksetujuan dengan tema itu adalah rendahnya kualitas pemilihan tema. Di tengah situasi rendahnya manufaktur serta mirisnya ekonomi akibat kobaran pandemi, banyak masyarakat berharap bahwa BPIP tidak melulu memikirkan kontestasi Islam dan Pancasila saja. Melainkan lebih masuk ke hal yang subtansial di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya perekonomian masyarakat Indonesia dan kehancuran agraria yang tambah lama, tambah memiriskan.

BPIP dan Komentar Elitis

Tetapi komentar yang pedes bukan untuk alasan di atas. Melainkan justru ke hal lainnya, hadir dari elite politis sendiri. Fadli Zon, menyentil lomba yang digelar BPIP itu menurutnya rendahnya pemahaman BPIP atas Islam. “Tema lomba BPIP ini menunjukkan betapa dangkalnya BPIP memahami Islam dan Pancasila,” ucap Fadli Zon melalui Twitter, Jumat (13/8).

Anggota Komisi I DPR itu menyebut lembaga yang dipimpin Yudian Wahyudi itu punya pemikiran phobia terhadap Islam alias Islamophobia. Karena menuduh Islam menyoal hormat bendera. Kritiknya, “Ini produk Islamophobia akut dan cenderung menuduh Islam mempermasalahkan hormat bendera dan lagu kebangsaan Indonesia Raya”. Bahkan Fadli mendesak BPIP segera mengganti tema lomba: “Segeralah ganti tema agar tidak memecah belah bangsa,” tegas Fadli Zon (KumparanNEWS 13/08/2021).

Protes itu tak hanya datang dari Fadli tetapi juga dari Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu. Said mempertanyakan mengapa selalu Islam yang seakan menjadi masalah. “Kenapa terus Islam yang seakan masalah?” katanya melalui akun Twitter Msaid_didu pada Kamis, 12 Agustus 2021.

BPIP, Sejarah, dan Lomba

Sejarah BPIP adalah sejarah kegaduhan. Tetapi keinginan BPIP adalah menjawab problem dan kegaduhan itu sendiri. Contoh, dengan membuat lomba bertema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’, dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’. Lomba itu berniat untuk menyoroti kontroversi masa lalu, di mana banyak oknum dan beberapa organisasi, yang tidak mau hormat ke bendera lantaran beragam alasan keagamaan.

Lomba BPIP itu, dilihat dari analisis sederhana saja, saya rasa, berbanding terbalik dengan apa yang “dituduhkan” Fadli Zon dan Said Didu. Tidak ada unsur phobia atau menyalahkan Islam. Melainkan tercipta untuk menjawab kephobiaan dan masalah sendiri terhadap pandangan Islam akan kebangsaan, tema, dan hal-hal semacam di atas.

BACA JUGA  Terorisme di Iran Tewaskan 100 Orang, Indonesia Wajib Siaga!

Lomba itu berangkali ingin mempertanyakan: mengapa banyak pihak tidak mau hormat terhadap bendera merah putih? Mengapa banyak orang tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya? Jika alasannya mengacu pada ajaran agama Islam dan puncaknya meyakininya sebagai syirik atau toghut, apa dasar dan alasan paling dasarnya.

Yang terjadi, baik di masyarakat dan pendidikan, sangat popular bahwa ada sebagian kalangan muslim melarang hormat bendera. Berpatokan agama, mereka menolak hormat dan menyanyi lagu kebangsaan karena menurutnya, di zaman Nabi tidak ada. Nabi tidak pernah melakukan penghormatan atas bendera. Dan jika itu dilakukan, menurut kalangan ini, perilaku itu sungguh bertentangan dengan Islam dan telah menyekutukan Allah.

Kesadaran Pandangan

Jika kita boleh menyanggah sedikit, penolakan penghormatan atas bendera, hadir lantaran tafsiran agama yang fatalistik dan sangat tekstual. Tidak mungkin adanya sekarang harus melulu mengacu pada adanya di masa Nabi. Contoh, pesawat hari ini ada. Tetapi di masa Nabi tidak ada, yang ada onta. Lalu apakah kita harus menolak keberadaan pesawat.

Contoh lain, dulu nabi melarang orang untuk membuat gambar dan patung. Karena di masa itu, gambar dan patung itu disembah. Sebab, lantaran masih banyak orang tidak bisa membedakan mana Tuhan dan mana gambar yang harus disembah. Tetapi ketika umat bisa membedakan gambar dan Tuhan, Nabi mengizinkan orang menggambar dan memahat patung. Begitu juga dengan takziah ke kubur.

Di sini bisa ditegaskan, bahwa hukum berjalan pada sesuatu yang berkaitan dengan sebab yang memberanginya. Jika sebabnya sudah tidak ada, maka hukumnya boleh jadi berubah. Kendati, dalam konteks Indonesia, masyarakat sudah bisa membedakan mana menghormati bendera dan Tuhan yang harus diagungkan dan patut disembah. Atas dasar itu, sungguh bolehlah hormat bendera dan menyanyikan lagu bebangsaan Indonesia. Ini hanya sekadar argumen kecil saja.

Nah, barangkali itu yang hendak BPIP harapkan. Ketidaksetujuan dan kekisruhan atas sebuah gagasan negara, harus dijawab dengan rasional, ilmiah, dan masuk akal. Jika tidak, maka yang terjadi kita hanyalah adu konflik, keterbelahan, dan pada akhirnya kita mengalami maniak kegaduhan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru