27.8 C
Jakarta

Boy Rafli dan Tantangan Deradikalisasi

Artikel Trending

KhazanahBoy Rafli dan Tantangan Deradikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mendapatkan nahkoda baru. Ia adalah Irjen Pol Boy Rafli Amar. Siapa tidak mengenal beliau, karena Boy pernah memegang tampuk strategis di Polri seperti Kadiv Humas, Kapolda Banten, Kapolda Papua, dan terakhir Wakalemdiklat. Jendral Boy segera mendapatkan tantangan tidak ringan, salah satunya terkait upaya deradikalisasi.

Aksi radikalisme telah berkembang tanpa mengenal sekat geografis, etnis, dan teologis. Hampir semua kelompok dan agama berpotensi terkena dampak sekaligus sebagai pelaku radikalisme. Dengan demikian, radikalisme yang diidentikkan dengan satu kelompok atau agama, misal Islam saja, tidaklah  tepat.

Deradikalisasi penting dijalankan dengan proporsional dan profesional. Alih-alih menanggulangi radikalisme jangan sampai menggunakan pendekatan radikalisme juga. Pendekatan hard measure mesti menjadi pilihan terakhir. Pencegahan merupakan yang utama kecuali dalam kondisi darurat.

Konsepsi Deradikalisasi

Radikalisme bukan hanya berbasis pada agama. Al Qurthubi (2015) memaparkan bahwa radikalisme dapat berbasis etnis, ideologi, sekularisme dan politik, bahkan pada golongan atheis. Misalnya, di Amerika berkembang kelompok radikal non agama atu berbasis etinis. Bentuknya berupa penindasan pada kaum berkulit hitam yang didominasi oleh kaum kulit putih.

Di Indonesia, juga terdapat potensi kelompok radikal non Islam, misalnya dari Kristen. Ada gereja yang bermisi mengubah Indonesia yang sekarang mayoritas orang Islam (85 persen) menjadi suatu negara Kristen. Kelompok ini misalnya berada di Gereja Mawar Sharon yang mempunyai visi dan misi pengkristenan Indonesia semacam itu serta gereja-gereja pentakostal revivalistik (Rakhmat, 2011).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Upaya melawan radikalisme dalam konotasi negatif melalui deradikalisasi telah lama digaungkan. Indonesia bahkan sudah memiliki UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. UU tersebut kini dalam proses revisi yang telah lama dan belum menemukan titik temu. Semua pihak sepakat revisi dimaksudkan untuk penguatan terhadap pencegahan.

Golose (2009) mendefinisikan deradikalisasi sebagai suatu bentuk upaya menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau ter-ekspose paham radikal dan/atau pro-kekerasan.

Deradikalisasi menjadi bagian dari strategi kontra terorisme yang lebih komprehensif dan sistematis. Konsekuensinya deradikalisasi mesti keluar dari jebakan mitos bahwa radikalisme hanya datang dari kalangan Islam. Semua mesti bergerak dan menjangkau semua lapisan dan kalangan.

Program deradikalisasi BNPT dilaksanakan sesuai dengan target program, masyarakat umum dan napi teroris. Program anti-radikalisasi dibagi menjadi dua model kegiatan. Pertama, sosialisasi melalui kegiatan seminar, FGD maupun workshop kurikulum pendidikan agama. Kedua, pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) sebagai perwakilan BNPT di daerahdaerah. Sedangkan program deradikalisasi itu sendiri dilakukan di lapas yang menampung terorisme melalui empat pendekatan, yaitu rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan reintegrasi (Famela, 2013).

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Proporsional dan Profesional 

Fakta bahwa pelaku radikalisme di Indonesia sebagian besar dari kalangan Islam mesti disikapi secara proporsional. Hal ini mengingat Islam menjadi mayoritas dan pelakunya adalah oknum tidak perlu digeneralisasi. Ajaran Islam jelas anti-radikalisme dan terbukti dalam setiap sejarah peradaban selalu memberikan rahmat bagi alam semesta.

Untuk itu perlu diantisipasi terjadinya deislamisasi atau penghilangan harkat Islam secara masif dan tidak disadari umat Islam.

Deradikalisasi mesti dapat membendung penyebaran dengan tidak melakukan generalisasi. Pergerakan dan penyebaran radikalisme menggunakan jalur inti dari pusat aktivitas umat Islam, seperti masjid, TPA, pengajian, dan lainnya. Hal ini bukan kemudian bisa dijawab dengan mengatur dan memperketat aktivitas di tempat-tempat tersebut. Kondisi demikian justru akan menjadi deislamisasi yang merugikan perkembangan bangsa. Penyikapan mesti secara kasuistik berdasarkan data akurat.

Aspek pencegahan dapat  dilakukan dengan penguatan aspek spiritual umat Islam. Pemahaman Islam secara komprehensif penting diberikan. Sektor-sektor formal dapar mewadahinya melalui beberapa mekanisme, seperti pendampingan atau tutorial agama di sekolah dan perguruan tinggi, pengajian rutin di kantor-kantor, dan lainnya. Hal ini penting guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal dalam mencari sasarannya.

Deradikasisasi berbasis penanganan dini harus segera dilakukan pemerintah sebelum perkembangan kelompok radikal melebar. Badan Intelejen Negara (BIN) mesti memasok data-data akurat untuk dasar penanganan. Jumlah dan sebaran yang masih sedikit dapat didayagunakan untuk memangkas sampai akar-akarnya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai stakeholder utama penting bertindak secara cepat dan akurat.

Kreasi dan inovasi deradikalisasi mesti terus dilakukan seiring dengan perkembangan zaman. Kecepatan deradikalisasi mesti dapat mengimbangi laju radikalisme. Aqil Siroj (2017) mengusulkan adanya pendekatan hingga ke dunia sastra dan memanfaatkan mantan pelaku radikalisme.

BNPT penting menggandeng seluruh kompenen etnis, agama, dan lainnya dalam upaya radikalisme. Pemetaan komprehensif penting dilakukan untuk setiap kelompok tersebut. Pendekatan sepesifik juga penting dirumuskan. Meskipun radikalisme dapat muncul secara kompleks melalui multietnis atau agama.

Kelompok-kelompok yang terpetakan berpotensi radikal mesti disikapi khusus. Semakin diserang secara terbuka mereka berpotensi akan semakin melawan. Pendekatan awal mesti memprioritaskan pencegahan dan perbaikan kelompok tersebut. Sekali lagi, deradikalisasi adalah mendesak, tetapi jangan justru terjebak pada deislamisasi.

Oleh: Ribut Lupiyanto

Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru