31.8 C
Jakarta

Book Shaming, Salah Satu Penyakit Kronis di Tengah Krisis Literasi

Artikel Trending

KhazanahLiterasiBook Shaming, Salah Satu Penyakit Kronis di Tengah Krisis Literasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari yang lalu, Maudy Ayunda, selebritis Indonesia yang terkenal dengan lagu dan aktingnya mendapatkan perhatian lebih dari warganet. Semua hal tentang dirinya mendapatkan tatapan khusus dari netizen pasca pernikahannya dengan pria berkebangsaan Korea.

Penyanyi lagu ‘Perahu Kertas’ ini juga tak jarang mendapat sorotan tajam dengan nada sinis, seperti unggahannya di Twitter yang kemudian mendapat banyak komentar. Bukan komentar positif, beberapa netizen justru melayangkan nyinyiran terhadapnya. Nyinyiran yang tidak sepantasnya diutarakan dan bahkan terkesan tolol.

Apa yang dilakukan netizen kepada Maudy adalah salah satu bentuk nyinyir yang sering kita sebut sebagai Book Shaming. Salah satu perilaku bully pada kebiasaan membaca seseorang atau pada buku bacaannya.

Book Shaming Saat Ini: Relevankah?

Unesco mencatat, Indonesia merupakan negara terendah kedua dalam hal minat baca. Pernyataan tersebut semakin dikuatkan oleh sebuah riset bertajuk world’s most literate nations ranked, yang juga mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dari segi minat baca. Indonesia berada tepat di bawah Thailand (yang berada di peringkat 59) dan berada di atas Bostwana (di peringkat 61).

Padahal, riset yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut juga memaparkan bahwa dari aspek infrastruktur yang mendukung minat baca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Kekerontangan itu menyebabkan Sumber Daya Manusia (SDM) kita akan stagnan pada posisi yang rendah, bahkan menurun drastis. Jangankan mengharap signifikansi peningkatan, sebab realitasnya kekacauan semangat membaca kita masih berada dalam poros yang menyedihkan.

Lebih naif lagi, pada tahun 2018 lembaga riset digital marketting emarketer mengasumsikan bahwa sebanyak kurang lebih 100 juta menjadi pengguna aktif smartphone. Atau dengan kata lain, berada pada peringkat keempat pengguna terbanyak smartphone setelah China, India, dan Amerika. Tentunya, ini merupakan kuantitas yang tidak sepadan jika dibandingkan dengan kuantitas minat baca. Hingga akhirnya, terjadi perbandingan yang cukup kontras terlihat.

Budaya literasi bangsa Indonesia adalah harapan bagi semua perintis pendidikan. Sebagai langkah konkrit, para aktivis yang barangkali memahami kekacauan ini mencoba menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat. Ada yang membentuk komunitas baca, ada yang mendirikan kafe literasi, Kafe Manifesco misal, dan lain-lain.

Sekalipun tidak berada di posisi pertama dunia, setidaknya dengan langkah yang mereka rintis, Indonesia bisa terangkat dari peringkat yang ada saat ini. Kemungkinan besarnya, mereka (para aktivis baca) memiliki motivasi demikian.

Salah satu langkah tersebut sebenarnya diilhami oleh aktris cantik Maudy. Maudy sejak dulu memang mengenalkan beberapa kebiasaan positifnya kepada masyarakat melalui kanal twitter dan media sosial lainnya. Ia sengaja membuat semacam list bacaan agar masyarakat utamanya mereka yang disebut sebagai milenial bisa tergugah untuk menjejaki langkah yang sama. Apalagi peran Maudy sebagai influencer.

BACA JUGA  Giat Literasi dengan Menulis Sastra Moral

Maudy adalah sekian dari beberapa orang yang sadar bahwa kita sudah jauh tertinggal di belakang. Minimnya minat baca yang mendukung dan iklim malas yang semakin merajalela adalah penyakit yang harus secepatnya tanggal dan terhempas.

Namun, fakta yang lebih menyeramkan datang. Niat baik Maudy disambut dengan kekonyolan-kekonyolan dengan nada tak bersalah. Beberapa netizen nyatanya tidak mendukung langkah baik itu, namun justru melakukan sebuah penghinaan, atau yang biasa dikenal dengan book shaming.

Steve treutly sebagaimana dilansir dari postingan instagram Narasinewsroom, mengartikan book shaming sebagai salah satu stigma atau bentuk penghakiman terhadap buku bacaan seseorang. Hal ini dilakukan agar pembaca merasa bersalah telah membaca buku yang dia baca. Senada sebagaimana tertulis dalam Urban Dictionary, book shaming berarti mempermalukan seseoang ketika membaca buku.

Stereotip tersebut timbul dari ego pribadi, bahkan bisa jadi dari dikotomi keilmuan yang menjangkiti seseorang tersebut. Mereka (yang melakukan book shaming) menganggap dirinya dan bacaannya adalah porsi yang paling tepat, sehingga bacaan orang lain dianggap kurang layak bahkan salah. Mereka seolah ingin menjadikan kecenderungannya dalam genre bacaan juga menjadi kecenderungan orang lain.

Ternyata, aneksi kutu buku yang sering kita dengar saat ini tidak selamanya direspon dengan layak. Keberadaannya tidak selalu memiliki konotasi yang positif. Kutu buku sering dianggap sebagai pribadi pendiam dan kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Kenyataan bahwa book shaming terjadi antara sesama penyuka baca adalah sederet realitas yang sangat tidak mengenakkan. Di antara mereka yang memiliki minat baca juga terperangkap dalam kebiasaan ini. Si suka baca juga membully yang suka baca juga. Materi dan target bullyannya juga jelas berbeda. Dalam book shaming yang terjadi antara mereka adalah menyoroti buku bacaan yang dibaca.

Mereka yang merasa memiliki selera baca yang tinggi akan mengerdilkan seseorang dengan selera baca yang katanya lebih rendah. Mereka akan cenderung membully bacaan orang lain, hanya karena dianggap memiliki muatan bacaan yang receh.

Maudy sedang mengalami fenomena ini. Netizen menjadi lidah panas atas niat baiknya dalam hal literasi. Harusnya respons yang diterimanya bernada positif, namun malah mendapatkan komentar miring tak pantas.

Melihat pada krisis dengan kuantitas minat baca yang telah disajikan di atas, maka book shaming bukan tindakan yang etis. Melainkan akan semakin memperkeruh kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara terbelakang dalam minat baca, begitu juga dalam SDM-nya.

Korban book shaming kemungkinan besar akan mengalami keminderan atas bacaan yang tengah dibacanya. Bahkan, bisa menjadi alasan dia meninggalkan kebiasaan membacanya karena stereotip dan stigma yang melingkupinya. Dan lagi-lagi, di tengah krisis baca Indonesia yang sangat amat rendah, book shaming bukanlah tindakan pantas. Wallahu a’lam.

Aqil Husein Almanuri
Aqil Husein Almanuri
Penulis lepas tentang keislaman dan keindonesiaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru