Harakatuna.com – Salah satu hal yang diwajibkan bagi seorang laki-laki ketika hendak menikahi wanita adalah memberikan mahar. Adapun besarnya mahar itu disesuaikan dengan kondisi laki-laki tersebut dan sesuai kepantasan mahar di daerah tersebut. Pada umumnya, ketika menyaksikan pernikahan, mahar itu dibayarkan langsung atau tunai. Lantas apakah mahar boleh dibayarkan secara hutang dan bagaimana hukum menikah dengan mahar hutang dalam Islam?
Perlu diketahui bahwa memberikan mahar dalam Islam bukanlah masuk dalam rukun pernikahan. Oleh karenanya orang yang menikah dengan mahar hutang maka pernikahannya tetap sah. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Imam Sairozi dalam Kitabnya Al-Muhazab
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ دَيْنًا وَعَيْنًا وَحَالًّا وَمُؤَجَّلًا، لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى الْمَنْفَعَةِ، فَجَازَ بِمَا ذَكَرْنَاهُ كَالْإِجَارَةِ
Artinya: “Boleh mahar nikah berupa utang, barang, mahar yang kontan, dan mahar yang ditangguhkan (utang). Karena akad nikah adalah akad atas manfaat, sehingga diperbolehkan maharnya dengan bentuk-bentuk yang telah kami sebutkan (utang, barang, kontan, dan tempo) sebagaimana (upah) dalam akad sewa.” (Al-Muhazab, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: tt], juz II, halaman 463).
Para ulama sepakat bahwa menikah dengan mahar hutang itu tetap sah. Namun demikian para ulama berbeda pendapat mengenai tempo pembayaran mahar hutangnya. Jika tempo pembayaran hutang disebutkan dengan jelas maka tiada perbedaan pendapat. Suami harus membayar mahar sesuai dengan waktu tempo yang telah disebutkan. Namun apabila tempo pembayaranya tidak disebutkan dengan jelas maka para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut mazhab Hambali, jika tempo pembayarannya tidak jelas, maka maharnya tetap sah dan pembayarannya harus dibayarkan ketika terjadi perceraian atau kematian. Jika karena kematian maka yang wajib membayar ahli warisnya. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i maharnya tidak sah, dan seorang istri wajib diberikan mahar misli atau mahar yang setara.
وأجاز الشافعية والحنابلة تأجيل المهر كله أو بعضه لأجل معلوم؛ لأنه عوض في معاوضة. فإن أطلق ذكره اقتضى الحلول، وإن أجل لأجل مجهول كقدوم زيد ومجيء المطر ونحوه لم يصح. لأنه مجهول، وإن أجل ولم يذكر الأجل، فالمهر عند الحنابلة صحيح ومحله الفرقة أو الموت، وعند الشافعية: المهر فاسد ولها مهر المثل
Artinya: “Mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan penundaan pembayaran mahar, baik seluruhnya atau sebagian, hingga waktu tertentu yang jelas. Hal ini karena mahar dianggap sebagai kompensasi dalam sebuah transaksi timbal balik (mu’awadhah). Apabila mahar disebutkan tanpa disertai penundaan, maka ia harus segera dibayarkan. Namun, jika waktu penundaan tidak jelas, seperti dikaitkan dengan kedatangan seseorang atau turunnya hujan, maka penundaan tersebut tidak sah karena ketidakjelasan. Jika mahar ditunda tanpa ditentukan batas waktu tertentu. Maka menurut mazhab Hanbali, maharnya tetap sah, dan kewajiban membayar mahar jatuh pada saat terjadi perceraian atau kematian. Sebaliknya, menurut mazhab Syafi’i, mahar dalam keadaan seperti ini dianggap tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahar misli (mahar yang setara).” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr: tt], juz IX, halaman 6787).
Dari keterangan ini bisa disimpulkan, untuk sebuah kejelasan dalam pernikahan sesuai syariat Islam maka saat menikah dengan mahar hutang harus diperhatikan syarat ini. Yaitu berapa besarnya mahar yang akan diberikan harus jelas dan kapan tempo waktu pembayaran maharnya harus jelas, Wallahu A’lam Bishowab.