Harakatuna.com. Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menegaskan bahwa pemerintah telah siap secara regulasi untuk mengatur kepulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terjebak di Suriah, namun tantangan besar masih dihadapi, baik dari sisi keamanan maupun kemanusiaan.
Kepala Seksi Analisis Intelijen BNPT, Leebarty Taskarina, menjelaskan bahwa diskusi terkait pemulangan anak-anak dan perempuan dari Suriah telah dimulai sejak 2020. “Sejak ISIS kalah pada 2018, pemerintah mulai memikirkan kepulangan mereka. Namun ada pertanyaan, boleh pulang atau tidak? Karena persoalan ini dilihat dari sisi keamanan negara,” ucap Leebarty dalam sebuah wawancara.
Pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19 melanda, BNPT melalui jaringan yang ada mulai mendata WNI yang terjebak di Suriah, dengan jumlah yang tercatat mencapai sekitar 500 orang. Seiring berjalannya waktu, isu pemulangan ini bergeser dari aspek keamanan ke aspek kemanusiaan, salah satunya dipicu oleh sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan muda yang mengaku berada di Suriah karena dibawa oleh orangtuanya.
Leebarty juga menyampaikan bahwa, meskipun pemerintah siap secara regulasi untuk kepulangan WNI dari Suriah, tahapan reintegrasi sosial masih perlu dilakukan dengan sosialisasi yang intens hingga ke daerah-daerah. “Pemerintah kita siap secara regulasi (untuk kepulangan WNI dari Suriah). Pada tahapan reintegrasi kami siap, walau perlu sosialisasi sampai ke daerah,” terangnya.
Kepala BNPT, Komjen Eddy Hartono, menyoroti pentingnya melindungi perempuan dan anak-anak yang terlibat, mengingat potensi mereka terpapar paham radikalisasi dari kepala keluarga yang lebih dulu terjerumus. “Perempuan dan anak ini harus dilindungi. Salah satunya adalah melalui koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),” ujarnya. Eddy menambahkan bahwa kolaborasi dengan Kementerian PPPA sangat penting, termasuk pembuatan modul yang dapat membantu menangani anak-anak dan perempuan yang kembali dari wilayah konflik.
Dr. Noor Huda Ismail, Pimpinan Ruangobrol.id dan penulis buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah, mengungkapkan bahwa hingga saat ini ratusan WNI masih tertahan di tempat pengungsian di Suriah dan dapat kembali ke Indonesia melalui repatriasi pemerintah atau secara mandiri. Namun, menurutnya, kepulangan tanpa pengawasan berisiko meningkatkan ancaman keamanan di dalam negeri. “Selain itu, stigma yang melekat pada returnis juga menjadi tantangan dalam proses reintegrasi sosial,” kata Noor Huda.
Untuk menangani permasalahan ini, Noor Huda mengusulkan sebuah pendekatan holistik yang dikenal dengan konsep 5R, yaitu repatriasi, rehabilitasi, relokasi, reintegrasi, dan resiliensi. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan proses yang lebih terstruktur dalam menangani WNI eks ISIS dan mengarusutamakan gender agar strategi reintegrasi dapat berjalan lebih inklusif.
“Setiap individu yang kembali dari Suriah atau Irak memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga pendekatan yang fleksibel sangat dibutuhkan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan pemangku kepentingan mengenai kompleksitas repatriasi dan integrasi sosial returnis,” tambah Noor Huda.
Dengan pendekatan berbasis komunitas yang inklusif, proses reintegrasi ini diharapkan dapat berjalan dengan baik, aman, dan diterima oleh masyarakat Indonesia.