29.1 C
Jakarta

Blundernya Argumen PKS tentang RUU TPKS

Artikel Trending

KhazanahTelaahBlundernya Argumen PKS tentang RUU TPKS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Tagar #StopKekerasanSeksual  kembali menggema ketika muncul hasil rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR pada hari rabu (08/12/21) terkait draft Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Setidaknya, dapat kita pahami bahwa ada beberapa fraksi yang setuju dengan RUU TPKS, diantaranya: PDI-P, Gerindra, Nadem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP (setuju dengan catatan).

Diantara berbagai fraksi yang mendukung RUU TPKS tersebut, fraksi PKS secara tegas menolak. Mengapa demikian? ada banyak alasan yang kiranya bisa kita pahami secara kompleks.

PKS itu syari’ah, apapun yang tidak sesuai syari’ah, tidak boleh!

Tentu kita pahami bahwa salah satu partai politik yang getol menolak RUU TPKS ini adalah fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Al Muzammil, selaku pihak PKS tegas tidak akan menyetujui RUU TPKS berdiri sebagai undang-undang. Selama di dalamnya belum mengatur larangan tentang perzinahan dan penyimpangan seksual, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Hal tersebut tidak sesuai dengan nilai Pancasila, budaya, dan norma agama yang dianut bangsa Indonesia. Maka Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinahan dan LGBT yang diatur dalam undang-undang yang berlaku”, ucap Al-Muzammil yang dilansir melalui Republika.co

Alasan yang cukup klasik diutarakan, sebab alasan ini sama dengan penolakan yang dilakukan ketika adanya Permendikbud No. 30 tahun 2020 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Kalau kita pahami lebih jauh, keberadaan RUU TPKS sebenarnya harus kita pahami sebagai penyelamat, payung keadilan bagi para korban. Jika dipahami bahwa undang-undang ini berpotensi legalisasi seks bebas, kita memiliki undang-undang. Jika alasan itu tetap keukeuh diutarakan, maka kembali pada rancangan undang-undangnya. RUU TPKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual, bukan tindakan asusila, atau relasi hubungan di luar nikah.

Narasi blunder yang tetap di itu-itu saja membuat kita paham bahwa sebenarnya, hanyalah partai PKS yang menolak RUU TPKS. Alih-alih berdalih bahwa undang-undang ini menyimpang dari nilai-nilai pancasila, sebenarnya itu adalah alibi untuk tidak memberikan dukungan atas disahkannnya RUU TPKS. Karena pada dasarnya, ideologi yang dibawa oleh teman-teman partai PKS sudah berbeda. Kalau pada dasarnya, memiliki pandangan seperti diatas, maka melawan dengan narasi apapun, peristiwa kekerasan seksual mengerikan semacam apapun, mereka akan tetap keukeuh menolak RUU TPKS.

BACA JUGA  Suara Ulama: Penentu Pemilu 2024 Berjalan dengan Damai

Adanya sexual consent yang berpotensi menghadirkan seks bebas, seperti yang disampaikan oleh fraksi PKS, sebenarnya justru kehadiran sexual consent harus ada, untuk membedakan perbuatan zina, dengan peristiwa pemerkosaan. Bukan dipahami sebaliknya.

Lagi pula, tidak semua hal (termasuk tentang zina) bisa diurus oleh hukum pidana. Artinya, hukum pidana yang diterapkan di Indonesia,  menggunakan pendekatan represif. Jika tolok ukurnya adalah zina, maka pembahasan ini tentu harus dipahami dalam hukum agama. Upaya yang dilakukanpun, sangat beragam. Misalnya menggunakan pendekatan persuasif, mendidik, yang terus dilakukan untuk mencegah terjadinya hubungan seksual di luar nikah.

Sampai kapan kita membiarkan pelaku kekerasan seksual berkeliaran?

Beberapa waktu belakangan ini, tentu batin kita merasa sesak. Tangis hati melihat berbagai fenomena kekerasan seksual yang terjadi. mulai dari kasus almarhumah Novia, yang sempat menjadi perbincangan umat seluruh Indonesia, hingga pemerkosaan yang dilakukan di pesantren.

Persoalan kekerasan seksual di pesantren, nyatanya bukanlah hal yang sedikit. Sebab dilansir dari Komnas Perempuan, dalam rentang waktu 2015-2020, kekerasan seksual yang terjadi di pesantren berada di nomor urutan kedua setelah universitas dalam urutan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Kondisi ini adalah darurat, genting, dan harus kita ketahui bersama.

Pada kenyataannya, ketika tidak ada undang-undang yang menangani pencegahan dan kekerasan seksual, berarti kita membiarkan para predator seks terus berkeliaran dengan kondisi nafsu bejatnya yang tidak terkontrol. Sampai kapan kita akan menunggu laporan yang semakin banyak karena kasus kekerasan seksual di berbagai tempat? Sampai kapan kita membiarkan para predator seksual berada di ruang aman kare atidak ada payung hukum yang mengatur secara rinci atas perbuatan keji yang dilakukan? bukanlah dikatakan sebuah negara hukum jika masih belum ada peraturan tentang kekerasan seksual yang sudah jelas-jelas melanggar asas kemanusiaan. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru