26.8 C
Jakarta
Array

Bibit Teroris di Surabaya

Artikel Trending

Bibit Teroris di Surabaya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bibit-bibit radikalis sebenarnya sudah sangat tampak di sekitar kita, bahkan sudah lama. Di kampus, masjid, kos, kontrakan, dan lain-lain. Saat menjadi mahasiswa S1, saya sudah 3 kali diajak bergabung dengan kelompok-kelompok yang mengaku paling agamis, paling Islam, paling tahu jalan surga. Bahkan sekali saya dihipnotis di sebuah rumah kontrakan. Beruntung, Allah masih menolong saya, aksi hipnotis tak berjalan sesuai dengan harapan..

Seorang teman kos nyaris tiap hari didatangi, dirayu, dan dirajuk untuk ikut kelompok mereka atas nama “kajian”. Dia gamang, antara tertarik tapi juga khawatir. Bersama saya, akhirnya kami bendung dengan berbalik “menceramahi” mereka.

Nyaris sama dengan kejadian yang terjadi pada saya dan kakak saya, sebelum kuliah.  Sang marketing agama itu tiap hari ke rumah saya. Iming-iming surga dan semangat membela agama selalu disulut untuk membakar kami yang saat itu sedang getol ngurusi remaja-remaja masjid di kampung kami.

Mereka berusaha menyusup dengan dalih dan dalil yang dianggap paling benar. Seolah saat itu Islam dalam keadaan terjepit sehingga harus diselamatkan dari kaum kafir, munafik, dan di bawah rezim yang dzalim.

Beruntung kami lebih dulu dijejali dengan dalil-dalil agama Islam yang mengedapankan cinta damai oleh bapak saya dan guru-guru saya sehingga apa yang disampaikan kaum radikalis itu selalu bertentangan dengan hati nurani kami. Kami secara tegas menolak dan memberikan ultimatum untuk tidak datang lagi ke rumah kami.

Masih tentang kaum radikalis. Sungguh sulit saya menyebut mereka adalah orang yang beragama, apalagi agama Islam.

Seorang saudara keponakan tiba-tiba sangat rajin “mengaji” di kawasan Surabaya hingga larut malam, sekitar 15 tahun lalu. Ibu bapaknya kerap menangis karena tiap hari dia mengumpat negara-negara kafir di televisi. Kedua orangtuanya takut dengan perubahan drastis anaknya.

Suatu ketika dia bercerita, sang ustadz menawarkan jihad di negeri Afganistan. Respon para peserta kajian, yang sebagian besar dari para mahasiswa di Surabaya, saling berebut untuk ikut dan segera mendaftar. Tentu saja sebagian disiapkan jadi “pengantin” untuk masuk surga.

Saya bertanya,

“Kenapa kamu tidak ikut?”

“Belum siap,” jawabnya

“Koq belum siap? Udah, ikut aja. Katanya dijamin masuk surga?” tanya saya retoris.

Dia diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saya mulai bercerita tentang pengalaman saya saat dihipnotis, diajak kajian, hingga saya jelaskan paham-paham radikal yang menggejala di Indonesia, termasuk di Surabaya.

Syukurlah sejak saat itu dia berhenti mengikuti kajian-kajian yang berisi kebencian dan kebencian.

Yang merepotkan, bibit teroris itu saat ini semakin masuk dan mulai banyak diterima masyarakat. Korbannya adalah orang-orang baru mempelajari Islam atau orang-orang yang baru menginjak Indonesia karena lama di negeri seberang. Mereka sangat mudah dijebak. Tanpa harus dihipnotis, mereka dengan sukarela masuk dalam ajarannya dan dengan senang hati merayakan di medsos-medsos. Apalagi paham radikalis semakin berpolarisasi ke dalam sub-sub kelompok, sub-sub kajian, sub-sub agama, sub-sub budaya, dan sub-sub politik.

Yang menjadi dilematis adalah ketika aparatur negara (dengan pendampingan MUI) mengatur ajaran-ajaran agar tak bertentangan dengan konsensus NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, justru dianggap mengkriminalisasi ulama. Yang memprihatinkan, ini diamini oleh sebagian masyarakat dan dikomodifikasi sebagian para politikus.

Semoga Surabaya yang damai akan terus damai. Toleransi akan terus dijaga. Turut berduka cita sedalam-dalamnya bagi saudara yang menjadi korban keberingasan teroris. Save Surabaya!

Bagaimana seorang muslim bisa jadi teroris ?

  1. Mereka ini awalnya adalah orang-orang baik yang berusaha jadi lebih baik dengan ikut kelompok-kelompok pengajian.
  1. Oleh guru ngaji kelompok pengajiannya ditanamkanlah mana sikap yang sesuai sunnah nabi (berdasarkan versi mereka) , mana yang tidak nyunah. Mulai dari makan minum sambil duduk, tidur berbaring ke kanan. Kalau ada laler masuk ke minuman tuh laler dicelupin dulu ke air baru airnya bisa diminum. Ngerembet ke celana cingkrang,  pake jenggot,  jidat item, kalau ngobrol dengan lawan jenis tidak boleh kontak mata. Walhasil itu ditanamkan terus hingga mereka yang melakukan itu semua merasa lebih “nyunnah” dari yang lain.

Belajar agama dengan orang-orang ini adalah Sami’na Wa Ato’na; nurut dengan ajaran meraka sama dengan nuruh ajaran Nabi. Kritis dilarang. Beda cara beragama berarti tidak sesuai sunnah Nabi. Karena sumber sunnah Nabi harus berasal dari golongan yang sepemikiran dengan mereka. Mau dia kiyai,  mau dia profesor lulusan Mesir, tidak peduli. berbeda sama dengan tidak sunnah.

Jangan heran kalau ulama besar sekaliber Quraish Shihab,  KH Said Aqil,  Gus Mus, dll dianggap kalah ilmu dengan ustad-ustad yang ngajinya seminggu sekali dengan murobi yang ilmunya 1 tahun di atas dia. Sekalipun dia mualaf (orang yang baru kenal Islam beberapa tahun saja).

  1. Dari sikap paling sesuai sunnah,  ngerembet ke sikap lebih Islami dari yang lain. Mereka hobbinya teriak-teriak “Kami Umat Islam”.  Seolah-olah agama ini hanya mereka yang punya, muslim yang lain ngontrak doang. Karena kurang Islam. Kalau sudah begini anda beda pilihan/pendapat dengan mereka langsung dianggap sesat,  kafir, bid’ah. Kadang terhadap orang tua/keluarganya sendiri sering konflik hanya karena beda cara beragama.
  1. Dari menolak perbedaan, sampai menganggap mereka yang beda itu musuh. Walau pun mereka satu agama. Mereka merasa mewakili “Umat Islam” yang sedang dizolimi hingga harus melawan. Musuh kelompok dianggap musuh  agama. Hingga membuat isu hoax/fitnah/kebencian terhadap kelompok-kelompok yang beda dianggap bagian dari perjuangan agama.
  1. Kebencian yang mendalam terhadap kelompok yang berbeda,  yang dianggap kafir, dianggap dzolim,  berubah menjadi perilaku keras yang berujung terorisme. Membunuh mereka dianggap jihad dan mereka bangga melakukannya.

Embrio kelompok-kelompok ini mulai dari rohis di sekolah-sekolah, kampus, kegiatan masjid. Sasarannya adalah orang-orang baik yang polos. Mereka memilih serius belajar agama dan ingin jadi pribadi yang lebih baik.  Mereka mengira guru yang mengajarkan agama adalah orang-orang tulus, ikhlas dan tidak punya kepentingan apa pun seperti dirinya. Guru yang sama yang mengajarkan ma’rifatullah,  ma’rifaturrasul,  akhlaq,  shirah nabawi,  tauhid adalah orang yang sama yang juga mengajarkan kebencian dan membunuh saudaranya yang tidak sepaham sebagai ibadah. Sehingga ajaran kebenaran dan kebatilan terlihat sama.

Saran saya,  gunakan “akal” mu saat akan berguru ke mana pun. Dengan akal kita bisa membedakan mana yang baik yang bisa diambil ibroh/pelajaran, dan mana yang penting untuk dikritisi.  Meski pun itu keluar dari guru ngaji.  Akal itulah yang membedakanmu dengan makhluk lainnya,  hingga ketika kamu belajar kamu menjadi “manusia” bukan malah menjadi “domba” yang dicocok hidungnya. Hidupmu sepertt Zombie yang dikendalikan orang lain.

Kamu diperintahkan belajar agama untuk menjadi menusia yang berilmu.  Karena ciri orang berilmu itu pasti bijak dan tujuan akhir berilmu agama adalah tawadlu dan berakhlaq mulia terhadap sesama bukan malah semakin sombong dan buas.

* Muhammad BahrudinKandidat Doktor Ilkom Fisip UI

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru