Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat jagat Nusantara seakan berada di tengah laut yang diterjang ombak dahsyat. Kontroversi antar pemerintah dan rakyat bertemu seakan pertemuan dua lautan yang dalam Al-Qur’an disebut dengan “Majma’ al-Bahrain”, Tempat Bertemunya Dua Laut.
Sederhananya, kubu yang setuju revisi undang-undang, termasuk Presiden Jokowi, berasumsi bahwa perubahan ini merupakan cara untuk mengawal KPK semakin kuat. Berbeda, kubu yang menolak, termasuk pengamat politik Rocky Gerung, melihat revisi ini adalah satu-satunya cara yang dapat memperlemah, bahkan membunuh kekuatan KPK. Saking sadisnya, Rocky berkata atas Belasungkawa Wafatnya KPK.
Soal revisi tersebut, sejatinya masyarakat sadar bahwa undang-undang KPK itu bukanlah teks absolut dan abadi. Di dalamnya masih terdapat kemungkinan kekurangan sehingga revisi itu adalah cara untuk melengkapi. Jangankan teks undang-undang KPK yang dibuat oleh manusia, teks Al-Qur’an yang dikarang oleh Allah Swt. masih mengalami revisi yang biasanya disebut dengan “Nasikh Mansukh”, Revisi Teks Sebelumnya.
Teori Nasikh Mansukh yang digunakan oleh peminat studi Al-Qur’an berfungsi memperkuat teks sebelumnya dengan teks yang baru. Selain itu, teks baru memperbaharui teks lama yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Lebih dari itu, Nasikh Mansukh itu bukan memperlemah dan memperlihatkan Al-Qur’an tidak konsisten. Tapi, dengan revisi ini pembaca teks hendaknya menyadari bahwa kebenaran itu tidak statis, tapi dinamis.
Terlepas dari perdebatan revisi undang-undang KPK, bila dilihat dari kehadiran teori Nasikh Mansukh, jelas menggiring perselisihan antar sekian pakar tafsir. Ada yang setuju dan ada yang menolak. As-Suyuthi termasuk pakar tafsir yang menerima kehadiran Nasikh Mansukh, sementara Muhammad Syahrur menolaknya, sehingga ia berinisiatif semua teks harus hidup dan berinteraksi dengan pembacanya.
Soal yang menolak revisi undang-undang KPK tentu tidak dapat ditolak juga pendapatnya. Saya melihatnya produk pemikiran mereka berada dalam medan tafsir, sehingga kebenarannya relatif. Semua pengamat politik, apalagi masyarakat awam, hanya memberikan komentar atau tafsir yang disesuaikan dengan analisa mereka masing-masing. Sebagai penafsir, sebaiknya mereka tidak memaksakan gagasannya harus diterima. Jadi, cukup diutarakan saja gagasan yang dipandangnya baik.
Sekali lagi, karena semua, baik yang setuju maupun yang menolak, berada dalam ranah tafsir, hendaknya tetap fair dan selalu ingat kebenaran tafsir itu relatif. Tidak perlu memaksakan gagasan untuk diakui sebagai tafsir yang paling benar. Karena, kebenaran yang absolut hanyak milik Tuhan yang Maha Tahu, al-Alim.[] Shallallah ala Muhammad.