32.9 C
Jakarta
Array

Bersetan Dengan Alasan

Artikel Trending

Bersetan Dengan Alasan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Untuk saat ini, kalau masih ada orang yang beralasan tak sempat menulis, tak ada waktu dan sebagainya, itu bukan alasan. Melainkan kemalasan yang dipelihara. Kalau berbicara tak sempat menulis, di zaman ini alasan seperti apa pun tak bisa diterima. Bayangkan saja, saat berkirim pesan dengan teman, baik personal atau dalam grub media sosial, berapa kata yang telah ditulis? Bisa dibilang, manusia modern saat ini rata-rata menulis seribu kata lebih dalam seharinya. Hitung sendiri, dari akun instagram yang dimiliki, whatsaap, line, facebook, telegram dan sebagainya, berapa jumlah kata yang ditulis di akun-akun tersebut? Kadang tak terasa sudah bertukar pesan dengan seseorang berjam-jam, bahkan kalau dikalkulasi seperti telah menulis satu cerita pendek dalam satu waktu. Perbedaannya mungkin, yang ditulis tidak terstruktur. Jadi kalau masih beralasan tak ada kesempatan untuk menulis, adalah omong-kosong semata.

Iya kalau orang dulu, beralasan tak sempat menulis bisa diterima. Sebab saat itu untuk menulis harus dengan mesin tik, kertas, dan itu semua merepotkan kalau dibawa ke mana-mana. Tak dapat dibayangkan semisal dulu itu, Anantatoer dan Tan Malaka membawa mesin tik ke mana-mana agar dirinya tetap bisa menulis. Tidak. Lah sekarang, alat untuk menulis bisa dibawa ke mana saja, masih sempat beralasan tak sempat menulis.

Hidup ini sudah dipenuhi dengan alasan-alasan, jadi persedikitlah dalam beralasan. Sebab, orang yang terlalu banyak beralasan tak baik juga untuk kesehatan. Dalam menulis, untuk mencipta satu karya tak butuh waktu sehari, dibanding dengan menonton film korea atau bermain game, satu dua atau tiga jam sudah jadi untuk menulis.

Alasan lain mungkin, mentok di pertengahan, atau sedang tak mood. Yang demikian bisa diterima bisa pula tidak. Sebab, kalau menunggu mood sampai tersisa nama di atas nisan tidak akan bisa-bisa lanjut menulis. Untuk merangsang hal seperti itu mudah sebetulnya, baca-baca karya yang menggugah, atau paksakan diri meletakkan tangan di atas alat tulis. Diam di atas alat tulis itu, jangan pedulikan lamanya, rasakan bahwa napas tulisan sedang mengalir dari otak ke tangan. Kalau yang demikian belum juga bisa, tuliskan mengapa tidak bisa menulis.

Untuk definisi menulis atau tulisan, rasanya tidak perlu dijelaskan di pembahasan ini. Sebab menulis itu adalah kata kerja, dan tulisan adalah hasil dari pekerjaan itu. Apakah seseorang yang berkirim pesan atau menulis di kolom-kolom komentar media sosial tidak termasuk dalam kategori menulis? Tentu saja masuk. Kalau menulis itu kegiatan berpikir, karena memindahkan kata-kata dari otak ke tangan, saling berkirim pesan di media sosial masuk ke kategori menulis. Sisanya pikirkan sendiri.

Kata Budi Dharma—seorang cerpenis dan budayawan—dirinya menulis karena ada kegelisahan-kegelisahan. Kegelisahan itu dia ungkapkan melalui tulisan. Sebab kalau dibiarkan begitu saja, akan hilang, kegelisahan itu tak membekas, dan diri mudah lupa. Tak ada cara lain untuk menghilangkan lupa selain menuliskannya. Kalau orang dulu itu, agar suatu peristiwa tetap dikenang, diciptakanlah dongeng, yang kemudian dikenal secara turun-temurun.

Namun sekarang, alat untuk terus mengingat kegelisahan atau peristiwa itu sangat mudah. Dari saking mudahnya sampai lupa bahwa tulisan merupakan cara terbaik merangkum semuanya. Kemudian orang-orang dilema dengan kemudahan.

Sebetulnya, yang dapat menentukan jalan hidup seseorang adalah orang itu sendiri. Paling tidak, kalau tak bisa menentukan jalan cerita diri sendiri, buatlah suatu tulisan yang berisi jalan cerita dari suatu tokoh, bisa tentang diri yang tak bisa menentukan jalan cerita, atau menciptakan yang fiksi menjadi riil.

Hidup ini bagian dari imajinasi. Bisa dikata manusia hidup dalam imajinasi Tuhan. Manusia menganggap dirinya hidup, karena bisa melakukan ini-itu. Merasakan banyak hal dan sebagainya. Tapi pada kenyataannya, itu hanya imajinasi dari Tuhan semata. Karena pada suatu saat akan lenyap tak tersisa. Pikiran-pikiran atau sesuatu yang pernah dirasakan itu, akan lenyap bersamaan dengan tak berfungsinya raga. Bagi yang ingin pikiran dan rasanya tetap hidup, tuangkan dalam tulisan. Ikat pikiran dan rasa itu dalam suatu tulisan. Karena banyak sekali orang pintar, penuh pengalaman, paham berbagai rasa, pada akhirnya lenyap tak tersisa karena kepintaran, pengalaman dan rasa itu tak tertuliskan. Selebihnya, tulisan ini tak mendoktrin siapa pun agar menulis. Karena hidup ini tentang kebebasan. Kalau menulis bisa membuat diri bebas, mengapa tidak menulis saja? Sebaliknya, kalau menulis hanya akan membuat diri terkurung, sebaiknya jangan lakukan.[]

*Ali Mukoddas merupakan mahasiswa hukum Unusia. Bisa berkirim pesan lewat surel: [email protected]

Jakarta, 28 November 2018.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru