29 C
Jakarta

Bersaudara Kepada Semua atas Dasar Kemanusiaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBersaudara Kepada Semua atas Dasar Kemanusiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Sesaudara dalam Iman Sesaudara dalam Kemanusiaan, Penulis: Edi Ah Iyubenu, Penerbit: Diva Press, Tebal: 324 Halaman, Tahun Terbit: Februari 2021, ISBN: 978-623293-3095, Peresensi: Ali Yazid Hamdani.

Harakatuna.com – Sayyidina Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, berkata: “Manusia ada dua jenis: saudaramu yang sama denganmu dalam agama atau saudaramu yang sama denganmu dalam penciptaan (kemanusiaan).” Kata hikmah itulah yang kemudian mengilhami tajuk buku yang ditulis Edi Ah Iyubenu, Sesaudara dalam Iman Sesaudara dalam Kemanusiaan.

Saya teramat salut dan terpukau dengan rentetan tulisan-tulisan beliau. Bukan saja karena terhipnotis kata-kata indah nan apik yang terangkai tapi juga kandungan hikmah yang terurai menyuguhkan khazanah keislaman yang luas, mulai dari warisan kitab klasik hingga yang kontemporer bahkan filsuf sekaliber Hans-Georg Gadamer dan Fazlur Rahman pun kerap memperkaya tulisan-tulisannya.

Dan tentu yang tak kalah menarik adalah pembacaan beliau terhadap fenomena keberagamaan yang terjadi sekarang, sarat akan renungan filosofis, dan pertanyaan retoris yang cukup terbilang wow.

Ada suatu untaian hikmah yang begitu menohok disitirnya dari kalam Imam Bushiri di halaman depan sebagai pembuka dan penggambaran lembaran-lembaran berikutnya. (يا نفس لا تقنطى من زلة عظمت إن الكبائر فى الغفران كاللمم) yang memiliki “Wahai jiwa, janganlah putus asa karena dosa besar yang telah dilakukan. Sesungguhnya dosa-dosa besar dalam luasnya ampunan Allah Swt seperti kecil dan ringan”

Sengaja saya kutip ulang, karena dari kalam hikmah itu, menggambarkan upaya Edi mengampanyekan pembacaannya atas realitas keberagamaan yang terjadi sekarang. Betapa banyak saat ini tudingan sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan, cacian, makian, pelabelan ahl bid’ah, thaghut dan sebagainya itu kerapkali bereseliweran di toa-toa masjid, terlebih di dunia maya yang menafikan prinsip ukhwah, persaudaraan.

Anehnya aneka tudingan-tudingan yang dilakukan acapkali lahir lantaran ragam pemahaman atas Islam yang kian berbeda. Akibat perbedaan itu hingga muncul klaim kebenaran yang menganggap hanya pemahamannya lah yang benar dan pastas di surga-Nya. Karena merasa paling benar, akhirnya yang lain salah bila saja berseberang paham. Jika ada pemahaman yang berbeda berarti anda salah, dan keluar dari rel Islam.

Padahal kalau kita mau jujur, ragam perbedaan atas Islam merupakan hal yang niscaya, dan telah ada bahkan sejak Nabi Muhammad itu sendiri, ya meskipun tidak sedahsyat sekarang karena memang segala bentuk perbedaan dan persoalan yang hadir saat masa sahabat dapat langsung diselesaikan dan teratasi oleh Rasul.

Setelah Rasul wafat, perbedaan demi perbedaan kian bermunculan, pada masa tabi’in juga ada, tabi’ at-tabi’in tidak kalah sengitnya, terlebih masa sekarang yang terlampaui jauh selama 14 abad lamanya.

Perbedaan yang ada adalah bentuk kekayaan pemahaman atas Islam, yang tidak mesti dipandang dari sudut tertentu saja. Islam kaya akan prespektif. Misal saja seperti ragam penafsiran atas Alquran yang muncul, produk hukum yuridis, dan sebagainya itu masing-masing memiliki kiblat pemikiran mazhab dengan corak yang khas tersendiri.

BACA JUGA  Membangun Keluarga Pancasilais Penjaga Negeri

Dengan demikian Edi ingin mengekstrak nilai welas asih (wuddan) dan rendah hati (haunan) cum akhlak karimah sebagai ejawantah kualitas laku sosial manusia yang berlandaskan pada iman dan juga takwa yang terpaut erat saling mengokohkan (hlm. 7). Dengan kata lain, akhlak karimah sebagai bentuk ejawantah keimanan dan ketakwaan. Ibarat kata sebuah pohon akhlak adalah buahnya, sementara lainnya adalah berupa dahan dan akar-akarnya. Ketiganya harus berjalan beriringan.

Buku ini menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang menghujam dalam rangka mengkritisi cara dan sikap mereka yang kerap memandang berbeda, maksudnya mengganggap salah, merasa paling benar, dan menganggap mereka yang berbeda pantas di neraka-Nya, yang paling ekstrem halal darahnya.

Sehingga di berapa sub judul berikutnya muncul pertanyaan “Sesaudara seiman dan se-kemanusiaan kok bermusuhan, tak masuk akal” (lihat: 62-75). Selain itu, Edi menyuguhkan fakta historis bagaimana Khawarij sebagai cikal-bakal tindakan ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Hal ini dicontohkan sosok Abdurrahman Ibn Muljam tepat setelah menikam Ali Ibn Abi Thalib karramallahu wajhahu lalu berteriak lantang “Tidak ada hukum kecuali milik Allah Swt, bukan milikmu atau sahabat-sahabatmu” lalu dilanjutkan membacakan QS. al-Baqarah 207 (hlm. 160).

Kira-kira tak jauh beda dengan fenomena saat ini, berlaku anarkis dan tindakan terorisme dengan membawa pistol atau bom seraya memekik takbir “Allahu akbar”.

Seolah tindakannya mendapatkan legitimasi kebenaran dan pengesah kebencian dari Alquran atau boleh juga dianggap sebagai perintah dariNya. Akhirnya berlomba-lomba menjadi martir karena dianggap pekerjaan suci yang membela Allah. Bagaimana mungkin ayat yang hak bersatu dengan tindak-tanduk kekejian? Ra masook, kira-kira demikian yang disorot Edi (hlm. 165).

Potret historis yang dihadirkan begitu gamblang sebagai upaya perenungan atau belajar dari sejarah agar apa yang buruk di masa lalu tidak kembali terulang. Begitu pula perspektif yang digunakan Edi mendorong agar mengedepankan sisi-sisi humanis, dibangun dengan argumen-argumen memukau dan bernash, serta tidak kurang naskah-naskah klasiknya.

Buku ini hadir bukan sebagai jalan keluar, tapi jalan menuju ke dalam dengan kata lain sebagai upaya mawas diri, lebih hati-hati, dan terpenting adalah menanamkan pada diri agar senantiasa menghargai perbedaan di tengah keragaman. Bagaimana kita dapat hidup berdampingan, damai dan merasa aman tanpa harus memandang sekat SARA sebagaimana telah diajarkan dan telah dipraktikkan oleh junjungan nabi kita. Jangan sampai Al-Qur’an dan hadis digunakan untuk berlaku sadis.

Jika perbedaan adalah kehendak-Nya, mengapa makhlukNya yang sibuk menyeragamkan?

Wallahu ‘alam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani
Mukim di Yogyakarta, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru