29 C
Jakarta
spot_img

Bersama untuk Satu Kemungkinan: Dialog Antaragama Demi Lingkungan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBersama untuk Satu Kemungkinan: Dialog Antaragama Demi Lingkungan
image_pdfDownload PDF
Judul: The Possibilities for Interreligious Dialogues on Ecology in Indonesia: a Literature Review, Penulis: Daan van der Leij, Penerbit: CRCS UGM, Cetakan: Pertama, 2021, Tebal: viii+98 hlm, ISBN: 978-623-7289-13-5, Peresensi: Karunia Haganta.

Harakatuna.com – Riset Communication for Change (C4C) dan Development Dialogue Asia (DDA) yang dilakukan pada 2021-2022 memperoleh hasil bahwa pemahaman masyarakat Indonesia mengenai perubahan iklim masih minim, terutama soal manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Survei dengan topik serupa dilakukan PPIM UIN Jakarta pada 2024 dan memperoleh hasil bahwa 21% masyarakat Indonesia masih meragukan atau bahkan menolak fakta bahwa manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim. Di tengah perubahan iklim yang makin parah, hal ini amat mengkhawatirkan.

Kesalahpahaman ini bahkan dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, masyarakat kerap kali menyebutkan bencana sebagai suatu azab atau hukuman Tuhan, alih-alih mengidentifikasi penyebabnya secara ilmiah yang kerap kali bersinggungan dengan ulah manusia. Penggunaan narasi “azab” ini menarik ditelaah lebih lanjut karena dapat membantu untuk mengetahui pihak mana yang dapat membantu menangani masalah ini. Pihak tersebut adalah otoritas keagamaan. 

Rubaidi dalam “Bencana dalam Konstruksi Pemikiran Fiqih Kiai” (2012) menemukan bahwa fiqih (pemahaman terhadap hukum Islam) kebencanaan memang kerap terkurung dalam narasi azab. “Tuduhan” lebih berat lagi bahkan dialamatkan Lynn White, sejarawan, pada Kristianitas sebagai perusak alam. Di luar itu, perubahan iklim–dan isu kerusakan alam lainnya–memang sepatutnya menjadi pembicaraan bukan hanya agama-agama tertentu, tetapi semuanya sebagai sesama penghuni bumi.

Kemungkinan inilah yang berusaha dijajaki van der Leij dalam buku The Possibilities for Interreligious Dialogues on Ecology in Indonesia: a Literature Review (Kemungkinan untuk Dialog Antaragama tentang Ekologi di Indonesia: Suatu Tinjauan Pustaka) (2021). Sesuai judulnya, van der Leij berupaya melihat kemungkinan tersebut berdasarkan argumen-argumen yang telah dituangkan dalam kajian-kajian sebelumnya. Tinjauan ini penting karena selain isunya yang memang sudah gawat, van der Leij menemukan hanya sedikit yang telah membahas kolaborasi antaragama mengenai isu ini (hlm. 2).

Mengutip Zainal Abidin Bagir, van der Leij mengutarakan kembali bahwa agama mendominasi pembicaraan soal ekologi di Indonesia (hlm. 20). Maka perlu pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi agama di Indonesia sebelum membahas kemungkinan dialog antaragama. Definisi van der Leij yang didasarkan pemahaman ilmiah dan aturan negara memasukkan agama adat sebagai bagian dari agama-agama yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakannya adalah fungsionalisme agama dan agama sebagai modal sosial. Sederhananya, agama adalah modal yang sifatnya sosial serta memiliki fungsi tertentu, yang dalam konteks buku ini adalah menyadarkan umatnya mengenai isu ekologi.

Untuk mewujudkan fungsi agama tersebut perlu dialog antaragama. Agama sebagai modal sosial punya kelebihan untuk merekatkan sesama umat, tetapi berpotensi memecah dengan umat agama lain. Dialog antaragama berperan untuk merekatkan tidak hanya sesama umat, tetapi juga lintas umat. Salah satu yang perlu dilakukan untuk mengawalinya adalah membentuk konsensus (hlm. 29). Kesepakatan berarti negosiasi cara dan kepentingan atas isu yang akan disepakati. Tujuannya bukan hanya untuk bisa saling berdialog, tetapi juga menghasilkan kerja sama. Kerja sama ini yang diharapkan terbentuk antaragama untuk menyelesaikan masalah ekologi di Indonesia.

BACA JUGA  Memanusiakan Manusia dengan Akhlak Terpuji

Negosiasi mengisyaratkan bahwa tiap pihak punya pemahaman masing-masing terhadap isu utama yang perlu dipertemukan. Pemahaman masing-masing pihak (agama) mengenai ekologi ini yang dijelaskan juga oleh van der Leij. Tiga agama mayoritas di Indonesia, yakni Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik) memiliki keserupaan dalam melihat manusia bertanggung jawab memelihara alam. Di Indonesia, tanggung jawab ini diwujudkan melalui ajaran, fatwa, maupun tindakan aktif melalui lembaga agama, seperti pesantren maupun gereja.

Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan agama adat sekalipun, telah memiliki pandangan yang mendukung perlindungan lingkungan (hlm. 49-56). Hindu dalam kosmologinya menyadari pentingnya menjaga relasi dengan alam. Demikian pula Buddha dengan ajarannya untuk mengontrol nafsu, terutama nafsu merusak. Sikap bijak ini juga diajarkan dalam Konghucu untuk tidak merusak alam. Agama adat, yang jumlahnya amat banyak tersebut, juga telah diajarkan nilai yang sama untuk menghargai alam sebagai bagian dari hidup mereka.

Menariknya, pandangan tiap agama tersebut sesungguhnya bukan hanya menunjukkan adanya komitmen agama pada isu lingkungan, tetapi bahkan telah adanya upaya bersama-sama dengan agama lain untuk menjaga lingkungan. Pola kerja sama tersebut memperlihatkan peran penting dari aktor-aktor seperti organisasi keagamaan maupun organisasi non-pemerintah dalam menjembatani dialog antaragama dalam isu lingkungan.

Selain kedua aktor tersebut, van der Leij turut mengikutsertakan bisnis dan pemerintah sebagai aktor lain yang dapat berkontribusi dalam dialog antaragama ini (hlm. 75-80). Sektor bisnis bisa menerapkan ini dalam nilai-nilai perusahaan mereka, seperti di tahap produksi sampai iklan. Penerapan nilai-nilai ramah lingkungan dalam pengambilan keputusan juga dapat dilakukan pemerintah. Seperti telah dikemukakan, agama berperan penting dalam membentuk kebijakan pemerintah. Dialog antaragama dapat menjadi pijakan pemerintah dalam menyusun kebijakan mengenai ekologi yang telah disepakati bersama, termasuk oleh umat lintas agama.

Isu yang dihadirkan buku ini memang sangat menarik dan penting. Sebagai penutup, penting juga untuk memberi catatan pada buku ini. Terutama tidak adanya kejelasan mengenai seleksi pustaka yang ditinjau. Hal itu cukup mengganggu karena banyak sekali informasi atau argumen yang didasarkan pada kepustakaan yang tidak membahas Indonesia atau hanya membahas suatu konsep atau teori secara umum.

Bahkan di beberapa bagian, seperti peran aktor bisnis dan pemerintah, van der Leij menulis dengan referensi yang amat minim. Dampaknya adalah kerancuan karena, seperti tertera pada judul, konteksnya adalah tinjauan pustaka mengenai ekologi di Indonesia. Tentu, ini bukan berarti bahwa hanya bisa menggunakan referensi mengenai Indonesia, tetapi batasannya perlu diperjelas.

Meski demikian, catatan tersebut tidak mengubah pentingnya buku ini. Apalagi, van der Leij telah menyebutkan sulitnya menemukan pustaka yang sesuai. Ini harusnya jadi pemantik bagi kaum akademisi maupun peneliti untuk ambil peran dalam mendiskusikan hal ini sebagai refleksi dan gambaran prospek mengenai dialog antaragama. Semoga karya yang dapat diunduh cuma-cuma ini dapat mendorong hal tersebut.

Karunia Haganta
Karunia Haganta
Lulusan Antropologi Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru