Harakatuna.com – Sejak hari Sabtu, 1 Maret 2025, umat Islam di seluruh dunia, termasuk di tanah air, menyambut dengan suka cita datangnya bulan puasa Ramadhan 1446 H. Mereka bukan hanya menerima dengan hati yang lapang keharusan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai tamu agung, melainkan juga menyambutnya dengan riang gembira, bukan dengan keterpaksaan.
Bukan hanya kaum Muslimin sebagai individu, melainkan juga sebagai kelembagaan. Bukan hanya di ruang publik, baik offline maupun online, melainkan juga di ruang privat antarindividu. Seraya mengucapkan, Marhaban Ya Ramadhan, Ya Syahras-shiyam (Selamat Datang, Wahai Bulan Ramadhan, Bulan Puasa)! Di Indonesia, bahkan ucapan itu dinyanyikan sebagai ungkapan rasa gembira.
Mengapa Harus Gembira?
Mengapa datangnya keharusan berpuasa di bulan Ramadhan harus disambut dengan gegap gempita, dengan riang gembira? Selama ini, ada hadis terkenal yang tertera dalam kitab Durrah an-Nashihin, yang masyhur di kalangan pesantren tradisional, dijadikan landasan keharusan bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, meskipun dinilai para ahli sebagai hadis lemah. Hadis itu berbunyi:
“Siapa yang bergembira dengan datangnya Ramadhan, maka haram bagi jasadnya api neraka.”
Namun, bukan berarti bergembira dengan datangnya keharusan berpuasa di bulan Ramadhan tak berdasar. Ada hadis sahih riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah yang hampir sama esensinya, yaitu kaum Muslimin harus bergembira dengan datangnya Ramadhan. Hadis itu berbunyi bahwa Nabi memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya akan datangnya bulan Ramadhan yang istimewa.
Bulan itu, tegas Nabi, adalah bulan penuh berkah, yang diwajibkan atas kamu berpuasa. Di bulan ini, pintu-pintu surga terbuka dan pintu-pintu neraka tertutup. Dirantai juga selama bulan itu para setan. Di dalamnya juga ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang menghalangi dirinya dari kebaikan dan keutamaannya, maka dia akan terhalang.
Bagi kalangan non-Muslim atau kaum ateis/agnostik, atau bahkan juga kaum Muslimin yang ragu atau lemah komitmennya (abangan), mungkin umat Islam yang santri tampak seperti masyarakat yang “setengah gila.” Pada sepertiga malam terakhir, saat waktu tidur sedang nyenyak-nyenyaknya, kaum Muslimin yang taat justru bangun untuk makan sahur.
Siang harinya, mereka harus menahan lapar, haus, serta menahan diri dari pemenuhan hubungan seksual hingga datangnya waktu Magrib, meskipun tetap harus bekerja seperti biasa sesuai target-target kantornya. Tentu saja, semua itu dilakukan setelah sebelumnya melaksanakan salat Subuh.
Saat malam tiba, mereka bukan beristirahat lebih awal, tetapi malah melakukan ibadah Tarawih, mendengarkan tausiah keislaman, bahkan melakukan tadarus—membaca dan saling mengoreksi bacaan Al-Qur’an satu sama lain. Lebih jauh lagi, sebagian kaum Muslimin dengan penuh kegembiraan menjadi panitia Ramadhan, sibuk mengelola berbagai kegiatan di masjid mereka, baik untuk keperluan ibadah maupun pemberdayaan umat.
Disadari atau tidak, non-Muslim atau ateis cenderung memandang kehidupan secara materialistis. Bagi mereka, bulan Ramadhan tampak seperti bulan yang menyulitkan atau bahkan bertentangan dengan hukum alam fisik, karena menahan kebutuhan biologis yang secara natural harus dipenuhi.
Namun, di sinilah letak perbedaan cara pandang kaum Muslimin yang taat dengan mereka. Bagi Muslim yang beriman, bulan Ramadhan adalah masa ketika kerohanian manusia dihidupkan, disemai, ditumbuhkan, dan dikembangkan. Esensi manusia terletak pada rohaninya, bukan jasmaninya. Jasmani hanyalah wadah bagi roh manusia, yang kebutuhannya seharusnya dipenuhi secara alamiah, tanpa berlebihan atau melampaui batas.
Bulan Ramadhan menjadi momentum koreksi bagi manusia yang cenderung menganggap hidup hanya tentang harta, takhta, dan cinta. Harta, misalnya, sering kali mendapat porsi yang terlalu besar dalam benak manusia, sehingga mereka tidak lagi peduli apakah harta tersebut diperoleh dengan cara halal atau haram. Tidak jarang pula manusia mengabaikan norma moral dalam mengejar kekuasaan, bahkan dengan cara-cara yang zalim. Lihat saja fenomena korupsi yang masih membuat Indonesia terpuruk, di mana sekitar 25 hingga 30 persen kekayaan negara digerogoti oleh koruptor.
Bagi Muslim yang taat, hidup adalah persoalan mental dan spiritual, yang dihidupkan secara kuat di bulan Ramadhan. Hal ini sejalan dengan ajaran dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, bahwa seseorang yang hidup tetapi tidak memiliki semangat atau spiritualitas, sesungguhnya hanyalah mayat yang masih berjalan.
Ini juga selaras dengan pandangan Max Weber, sosiolog modern, yang menegaskan bahwa hidup adalah tindakan mental atau tindakan kerohanian. Oleh karena itu, yang harus dipahami dari praktik lahiriah seperti berpuasa di bulan Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan tindakan mental yang lebih esensial.
Pendekatan ini juga diperkuat oleh temuan para ahli genom. Berdasarkan studi genetika, bukan biologi yang mengendalikan perilaku manusia, melainkan justru perilaku manusialah yang sering kali menentukan bagaimana biologi mereka bekerja. Faktor psikologis atau rohaniah mendahului faktor fisik atau biologis. Pikiran menggerakkan tubuh, yang pada gilirannya memengaruhi ekspresi genom manusia.
Kebahagiaan manusia—bagi kaum Muslim yang taat dan bergembira atas datangnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan—sesungguhnya terletak pada kebahagiaan batin atau rohani. Manusia akan merasa nestapa dan tidak akan merasakan kebahagiaan sejati jika hanya memenuhi kebutuhan jasmani semata tanpa memperhatikan kebutuhan rohani atau ilahi. Sebab, roh manusia, sebagai elemen yang lebih esensial dibandingkan jasmani, berasal dari alam ketuhanan. Oleh karena itu, agama—dengan berbagai ajarannya, termasuk puasa—disebut dalam Al-Qur’an sebagai fitrah, yaitu kodrat dan asal kejadian manusia (lihat QS. Al-A’raf [7]: 172).
Kebahagiaan batin itu dirasakan kaum Muslimin saat berbuka puasa, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi yang terkenal. Begitu pula saat mereka beribadah, seperti melaksanakan salat fardu dan Tarawih, serta saat berzikir dan membaca Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 28, yang menegaskan bahwa hati manusia akan menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Apalagi bulan Ramadhan disebut sebagai bulan Al-Qur’an. Selain itu, kebahagiaan juga dirasakan ketika mendengarkan kajian atau ceramah keislaman, karena dapat memenuhi rasa ingin tahu dan memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan hidup.
Hadis riwayat Imam Ahmad di atas, meskipun bisa dipahami secara harfiah, juga memiliki makna tersirat yang lebih dalam. Ketika bulan Ramadhan tiba, jalan menuju surga terbuka lebar, sementara jalan menuju neraka menjadi semakin sempit bagi mereka yang memanfaatkan keutamaan bulan ini dengan penuh kegembiraan. Karena itu, Ramadhan seharusnya dirayakan dengan penuh kesyukuran.
Bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan emas bagi umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dalam jumlah amal dibandingkan umat terdahulu—seperti umat Nabi Nuh yang memiliki usia rata-rata hingga 900 tahun. Allah melipatgandakan pahala amal ibadah di bulan ini secara luar biasa.
Bahkan, dalam satu malam, pahala yang diperoleh bisa setara dengan 1.000 bulan, yaitu satu amal berbanding 30.000. Paling tidak, setiap amal ibadah di bulan Ramadhan dilipatgandakan lebih dari 700 kali, karena amal puasa memiliki keistimewaan: Allah sendiri yang akan memberikan balasannya, di atas amal biasa yang berbanding 1:700.
Maka, siapa pun, sabda Nabi, yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan keikhlasan kepada Allah, dosa-dosa masa lalunya akan diampuni. Dalam hadis lain disebutkan bahwa siapa saja yang melaksanakan salat Tarawih selama bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala yang sama.
Selain itu, keutamaan lainnya adalah bagi siapa saja yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka pahalanya akan sama seperti orang yang berpuasa tersebut. Ditambah lagi, membaca Al-Qur’an memiliki keutamaan yang paling mutlak dalam memberikan syafaat di akhirat bagi pembacanya, terutama saat berada di alam kubur dalam kesendirian. Puasa juga akan memberikan syafaatnya bagi pelakunya di akhirat kelak.
Dalam Makna Luas
Kewajiban berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan penuh kegembiraan—sebagaimana dilakukan oleh kaum Muslimin yang taat—sebenarnya juga meresonansi ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap dalam menghadapi kehidupan secara umum. Hidup yang tidak selamanya berada di atas (up), tetapi juga terkadang terpuruk (down), harus dijalani dengan sikap yang sama: penuh keteguhan dan kebahagiaan hati.
Sebagaimana seseorang yang menganggap puasa Ramadhan sebagai beban berat yang harus dipikul, maka hidup, terutama saat berada dalam keterpurukan, jika dipandang sebagai beban yang menekan, juga akan terasa semakin berat. Bahkan, sebagian orang yang terlalu larut dalam kesedihan dan tekanan hidup bisa berujung pada keputusasaan, hingga ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Akar dari masalah ini adalah sikap yang terlalu membesar-besarkan dunia material, yang sejatinya bertentangan dengan hakikat puasa.
Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185, disebutkan bahwa tujuan diwajibkannya puasa Ramadhan adalah agar kaum Muslimin senantiasa mengagungkan Allah dan bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan-Nya. Dengan demikian, fokus utama seorang Muslim bukanlah kesejahteraan material semata, melainkan makna hidup yang lebih mendalam.
Dalam konteks ini, kisah Abu Dzar al-Ghifari—seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan gaya hidup asketis (zuhud)—patut untuk dikemukakan. Louis Massignon bahkan menyebutnya sebagai seorang “sosialis sebelum istilah sosialisme itu sendiri muncul.”
Suatu ketika, seorang sahabat Nabi mendatangi Abu Dzar yang saat itu sedang menjalani hukuman isolasi di Rabdzah, sebuah tempat terpencil di Suriah, akibat kritik kerasnya terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Sahabat tersebut mengetahui bahwa Abu Dzar memiliki dua helai jubah baru yang bagus. Namun, ia terkejut saat melihat Abu Dzar justru mengenakan jubah yang sudah usang. Ia pun bertanya, “Bukankah engkau masih memiliki baju lain yang lebih baik?”
Abu Dzar menjawab bahwa dua baju tersebut telah ia berikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Sahabat itu kembali bertanya, “Bukankah engkau juga membutuhkannya?” Namun, Abu Dzar hanya tersenyum dan berkata, “Engkau terlalu membesar-besarkan urusan dunia.”
Ia lalu menjelaskan bahwa baginya, dua helai baju sudah cukup: satu yang sedang dikenakan, dan satu lagi sebagai ganti untuk salat Jumat. Ia juga hanya membutuhkan seekor kambing untuk diambil air susunya serta seekor keledai sebagai kendaraan.
Wallâhu a’lam bis-shawâb. []