26.1 C
Jakarta

Berpikir Holistik untuk Menjaga Literasi Lokal

Artikel Trending

KhazanahLiterasiBerpikir Holistik untuk Menjaga Literasi Lokal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam konteks sosial, kadang kita harus melihat beberapa kondisi agar makna bahasa atau kalimat dapat tersampaikan secara benar dan bisa dipahami oleh penerima. Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa adalah sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan dari sebuah percakapan. Salah satu cara atau metode yang paling sederhana untuk menyampaikan maksud dan tujuan adalah dengan menggunakan bahasa yang diistilahkan dengan “bahasa ibu”.

Secara praktik, akan lebih mudah memahami menyampaikan tujuan adalah dengan penggunaan bahasa lingkungan lokal (umum). Ini bukan saja sebagai pendidikan dasar di luar pendidikan formal pada umumnya, tetapi dianggap juga untuk merawat tradisi yang berlatar belakang budaya daerah. Hal-hal semacam ini, perlu didasari oleh pengenalan literasi yang digunakan dalam lingkungan setempat.

Lingkungan menjadi titik terendah untuk mengukur keberadaan strata masyarakat secara umum. Tentu kondisi di pedesaan sangat berbeda dengan kondisi di perkotaan, yang dapat menimbulkan perbedaan dalam konteks berbahasa. Tetapi di sini kita mencoba memahami dalam konsep pemikiran, tanpa membedakan masyarakat desa dan perkotaan yang lebih berorientasi kultural.

Pola pikir akan mereduksi tingkat kematangan dalam berbahasa. Sebagai contoh di sini, kita mencoba mengkaji dalam sub-kata, yang sangat jarang digunakan tetapi banyak dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan semakin pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi, secara otomatis penggunaan literasi, terutama akronim dan istilah juga mengalami perubahan dalam perkembangannya. Di layar digital, banyak kita temui istilah-istilah asing dan juga istilah yang diserap dari literasi lokal, termasuk bahasa gaul yang memancing orang untuk menggunakannya.

Kecenderungan manusia dalam berkomunikasi tidak terlepas dari kematangan membaca kondisi di sekitarnya. Pertanyaannya, apakah esensi dari komunikasi itu sudah mencapai tujuan yang diinginkan? Karena tidak jarang kontak komunikasi orang per orang hanya menjadi sebuah formalitas budaya, agar tidak menghilangkan adat-istiadat atau kebiasaan yang menjadi ciri khas manusia untuk berinteraksi kepada lingkungannya. Di sini konsep holistik, hanya menjadi sebuah sarana yang lebih banyak mengandung unsur psikologi, karena pada dasarnya konsep holistik bisa dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu terapan dari cabang ilmu psikologi.

Terlepas dari penguasaan disiplin ilmu, konsep berpikir holistik adalah pemakaian kalimat atau bahasa secara sempurna, sehingga dengan cara berpikir holistik tidak menimbulkan kesalahan berbahasa yang bisa berimbas pada kerusakan struktur bahasa. Orang yang berpikir secara holistik, dalam penyampaian bahasa atau komunikasi selalu menggunakan tata bahasa yang benar. Kita bisa lihat, jika orang yang tidak berpikir secara holistik mempunyai gramatikal bahasa yang berbeda, dan kadang sulit untuk dipahami maksudnya.

Pengertian di sini, termasuk bagaimana tekstur dan metode bahasa sehingga tidak terjadi kesalahan dialektika sesuai padanan Ejaan Yang Disempurnakan. Meskipun, harus kita akui secara jujur, bahwa legitimasi bahasa nasional terukur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) sering tidak diindahkan, karena menganggap era yang dilalui sudah masuk dalam era globalisasi digital. Faktor eksternal akibat dinamika dan perubahan sosial, imbasnya pada kerusakan tekstur bahasa (literasi).

Pertanyaannya, apakah masyarakat secara luas dapat diarahkan untuk berpikir secara utuh dan sempurna? Tentu ini sangat sulit, di tengah derasnya pengaruh dampak perubahan sosial karena penggunaan teknologi digital yang sangat sederhana di semua lapisan masyarakat. Bagaimana literasi bahasa yang banyak beredar dengan istilah-istilah berbasis teknologi, karena makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sadar atau tidak, kondisi ini telah menjebak masyarakat secara luas untuk mengetahui perkembangan, meski lewat berita-berita yang mengandung hoaks.

BACA JUGA  Hilang Motivasi Membaca? Ini Cara Mengatasi “Reading Slump”

Kerusakan-kerusakan tekstur bahasa, berawal dari pemahaman literasi yang sangat minim, jika diamati memang karena salah satu faktor penyebabnya adalah kurang seimbangnya sistem pendidikan formal dan non-formal. Sistem pendidikan nasional yang secara nomenklatur di bawah Kementerian Pendidikan dan Budaya, lebih banyak berorientasi pada edukasi pendidikan linguistik yang menitik-beratkan pada SDM keunggulan iptek daripada SDM berorientasi budaya.

Menyoal bagaimana pentingnya penguasaan literasi dasar, yang banyak bersumber dari literasi lokal, tentu tidak hanya bergantung kepada lembaga pendidikan formal semata. Peran Balai Bahasa di pelbagai daerah, sebagai instansi yang mampu menjangkau masyarakat lokal harus didorong oleh pemerintah dengan ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur. Konsep untuk menjaga literasi lokal agar bisa menjadi sumber kekayaan bahasa kita, seyogianya dimulai dari penguasaan literasi pada anak usia dini.

Agar dalam upaya menjaga eksistensi bahasa dapat disusupkan nilai-nilai moral yang merupakan bagian dari ekosistem budaya kita. Literasi yang didapatkan dari teknologi digital, banyak mengalami kerancuan pemahaman karena tujuannya mereduksi ketertarikan pangsa pasar, dengan pengolahan media melalui aplikasi yang cukup canggih. Dampak terburuk, kadang literasi digital mengandung pesan dan isu radikalisme atau kekerasan lainnya secara terselubung bagi pembaca, yang tidak menguasai teknologi.

Tentu, kemampuan dalam berpikir secara holistik harus ada parameter yang jelas untuk memahami literasi digital. Kita jangan selalu berpikir bahwa penguasaan bahasa asing jauh lebih penting daripada penguasaan bahasa lokal atau daerah. Sesuatu yang menjadi penting adalah pemberdayaan kemampuan berbahasa yang benar untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebuah keprihatinan kita saat ini, bagaimana tekstur bahasa adat atau lokal tidak berperan secara aktif dalam membentuk karakter kepribadian, terutama bagi kalangan siswa.

Sebuah paradigma yang keliru diartikan dalam masyarakat, bagaimana peran bahasa tidak lagi dianggap sebagai pembentuk karakter pembaca (masyarakat) untuk berperan serta dalam pembangunan kerangka kelembagaan bangsa. Bahasa emoji atau yang lain, yang sangat mudah diakses oleh masyarakat luas, melalui media berbasis jaringan internet dianggap sebagai pengetahuan terkini dan ilmu dalam memahami perkembangan teknologi. Aspek edukasi secara holistis hanya dianggap sebagai kebutuhan proses waktu yang dilalui.

Maka, ada beberapa hal yang harus dipahami oleh masyarakat awam dalam memahami bahasa-bahasa berbasis digital. Antara lain, dengan membangun komunikasi personal, termasuk orang yang berkompeten di bidang literasi. Harus membiasakan diri menangkap berita dengan meneliti secara detail maksud dari sajian berita, terutama isu-isu yang mengandung hoaks. Isu-isu ini yang banyak menggunakan dasar literasi, seyogianya tidak disebarluaskan sebelum memahami maksudnya secara benar.

Menjaga dan merawat literasi bahasa dengan baik dan benar, secara tidak langsung juga telah merawat budaya lokal dan nasional. Karena bahasa dianggap sebagai identitas bangsa dan akar budaya.

Vito Prasetyo
Vito Prasetyo
Pegiat sastra dan peminat budaya. Mukim di Malang, Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru