31.8 C
Jakarta
Array

Bermadzhab Bid’ahkah?

Artikel Trending

Bermadzhab Bid’ahkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bermadzhab Bid’ahkah?

Oleh: Ali Fitriana Rahmat*

Akhir-akhir ini santer sekali seruan untuk meninggalkan madzhab-madzhab tertentu dalam menjalankan ajaran Islam. Ajakan dan seruan itu tidak lain berlandaskan pada jargon yang juga didengung-dengungkan oleh sebagian kelompok untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunah. Suatu hal yang sangat wajar jika jargon tersebut digaungkan oleh para dai. Sebab hampir semua orang Muslim tahu bahwa Al-Quran dan Sunah memang dua sumber ajaran Islam. Sebagaimana wasiat Nabi Muhammad saw kepada para sahabat yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dalam kitab al-Muwaththa’, Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yakni Kitab Allah (Al-Quran) dan Sunah Nabi-Nya (Hadis). Riwayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya Al-Quran dan Hadis dalam ajaran Islam laksana pusaka yang akan terus melindungi dan mengarahkan umat Islam sepanjang zaman.

Sebagian kelompok memahami hadis ini secara ‘mentah-mentah’ sehingga apapun yang tidak ada pedomannya dalam Al-Quran dan Hadis akan ditolak. Mereka  lupa bahwa tidak semua permasalahan agama diterangkan secara gambling oleh Al-Quran maupun Sunah Nabi, lebih-lebih lagi problematika kontemporer yang terus berkembang. Padahal Nabi Muhammad saw sendiri secara tidak langsung pernah mengutarakan bahwa terkadang hukum permasalahan agama tidak bisa dicari sumbernya dari Al-Quran dan Sunah. Mari kita simak riwayat al-Tirmidzi mengenai hal ini, suatu ketika Nabi saw mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman untuk mengajarkan agama Islam. Sebelum berangkat Nabi saw bertanya pada Muadz, “Bagaimana caramu untuk memutuskan suatu hukum permasalahan di sana?” “Aku akan merujuk pada Al-Quran”, jawab Muadz. “Jika tidak ada dalam Al-Quran?”, lanjut Nabi saw. “Aku akan bersandar pada sunah Nabi”, timpal Muadz. Nabi saw melanjutkan“Jika tidak ada dalam al-Sunah?” Muadz bin Jabal menjawab dengan mantap,“Aku akan ber-ijtihad semampuku”. Dengan bangga Nabi saw menyatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kebaikan bagi utusan Rasulullah”. Hadis ini mengindikasikan tidaklah cukup menentukan suatu hukum agama hanya dengan Al-Quran dan sunah. Tentu masih ada ruang ijtihad untuk menggali hukum-hukum agama bagi fuqaha (ahli hukum agama). Merekalah yang meramu dan meracik Al-Quran dan sunah sehingga menjadi produk hukum Islam hingga saat ini.

Perlu diketahui tidak semua sahabat ahli di bidang hukum agama sehingga mendapat kepercayaan Nabi saw untuk mengajarkan agama. Muadz bin Jabal merupakan satu dari sekian fuqaha para sahabat Nabi saw sebut saja Abdullah bin Abbas, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabitdan yang lainnya. Merekalah ‘madzhab-madzhab’yang menjadi rujukan para sahabat sepeninggal Nabi saw. Lalu pada era Tabi’in dan sesudahnya merekalah yang berhasil ‘menelurkan’ generasi madzhab al-Ra’yi (rasio) yang berbasis di Iraq dan madzhab al-Hadis yang berpusat di Madinah. Metode penggalian hukum Mu’adz bin Jabal di atas terus dilestarikan oleh kedua madzhab ini sebagaimana diajarkan oleh para sahabat hingga lahirlah generasi madzhab-madzhab yang masih eksis hingga kini, yakni madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’I dan madzhab Hambali. Sejatinya madzhab-madzhab dalam Islam tidak hanya terbatas pada empat madzhab tersebut. Masih ada ratusan madzhab lainnya yang tidak sempat dibukukan dan disebarluaskan hingga tidak sampai eksistensinya kepada kita. Tentunya keutuhan empat madzhab masyhur ini sampai saat ini tidak terlepas dari ‘tangan’ Tuhan yang membuatnya mampu bertahan dan lestari hingga seribu tahun lebih. Semua madzhab ini dibangun tanpa menepikan dua ‘pondasi’ besar ajaran Islam, Al-Quran dan Sunah. Empat madzhab ini bersepakat menggunakan landasan empat sumber dalam penggalian hukum Islam; Al-Quran, Sunah, Ijma (konsesus ulama), dan Qiyas (analogi hukum). Dua sumber yang terakhir tidak serta lepas dari Al-Quran dan Sunah. Sekali lagi, penentuan hukum Ijma’ dan Qiyas dalam prosesnya (istinbath) tetap mengacu pada ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw yang hanya membahas hukum tersebut secara implisit. Salah besar jika ada anggapan orang-orang yang bermadzhab harus kembali kepada Al-Quran dan Sunah. Mereka tidak perlu kembali kepada Al-Quran dan Sunah karena mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan keduanya. Literatur ajaran Islam tidak hanya terbatas pada Al-Quran, kitab-kitab semisal Sahîhal-Bukhâri, Sahîh Muslim, Sunan Abu Dâwûd, Sunan al-Tirmidzî, Sunan al-Nasâʻî, Sunan Ibnu Mâjah dan Musnad Ahmad saja. Namun juga literatur-literatur lainnya yang menjadi kepanjangan tafsir dari nash ilahi dan nash nabawi tersebut.

Aneh sekali jika madzhab dianggap suatu hal bid’ah. Asumsi ini memiliki argument cukup lemah, mereka pasti berteriak Nabi saw itu tidak bermadzhab, lalu berkesimpulan berarti madzhab itu bid’ah. Jika cara pandang dan berpikir seperti ini diterapkan dalam beragama maka ilmu-ilmu agama pasti akan kacau balau. Sebab hampir semua macam disiplin ilmu agama pasti bermadzhab-madzhab hingga sampai urusan membaca (Qirâʻât) Al-Quran saja pun ada madzhabnya (riwayat Qirâʻât) yang jumlahnya tidak kurang dari 14 macam bacaan. Kalaupun ada orang yang tidak berkenan bermadzhab, hendaknya ia jangan mengikuti bacaan Al-Quran riwayat Hafsh melalui jalurʻAshim yang sudah lestari di lebih dua pertiga belahan dunia Islam.

Perlu diketahui bahwa untuk mencapai tingkatan para fuqaha (pakar hukum Islam) yang layak ber-ijtihad untuk melaksanakan proses penggalian hukum (istinbath) tidaklah mudah. Ketentuan dan syaratnya wajib menguasai skill dalam memahami Al-Quran dan sunah antara lain ilmu tafsir, asbâb nuzûl ayat, nâsikh mansûkh, ilmu hadis dan mushthalah-nya, ilmu ushûl fiqh, ilmu gramatikal bahasa Arab (nahwu & sharf) dan masih banyak lagi. Mereka inilah yang meracik dan meramu suatu ‘bahan pokok’ yang bernama Al-Quran dan Sunah sehingga jamuan produk hukumnya dapat dihidangkan dan dinikmati luas oleh para awam. Sebab Al-Quran mengajarkan kita untuk bertanya dan ikut kepada yang lebih tahu dalam hal agama (Qs. Al-Nahl: [16]:43 & Qs. Al-Anbiyâʻ: [21]:7). Allah swt pun juga menganjurkan umat Islam tidak ikut berperang semuanya agar sebagian mereka belajar memperdalam agama dan bisa mengajarkannya pada saudara-saudara yang telah pulang dari medan pertempuran (Qs. Al-Taubah: [9]:122).

Jika muncul statement berpegang kepada Al-Quran dan sunah lebih selamat dan terjaga dari pada bersandar pada pendapat fuqaha madzhab, maka yang dimaksud dengan selamat dan terjaga adalah makna yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul saw bukan pemahaman kita terhadap Al-Quran dan sunah. Pendapat fuqaha yang berasal dari memahami Al-Quran dan sunah saja kebenarannya masih relatif, lalu bagaimana dengan pemahaman kita yang masih bergantung pada terjemahan Al-Quran dan hadis? Pantaskah kita yang dhaʻîf ini melangkahi jutaan ulama Muslim yang telah bermadzhab sejak sepuluh abad silam? Tidak sedikit fuqaha yang sebenarnya pantas untuk mendirikan madzhab tersendiri, namun mengapa mereka malah ‘mengekor’ pada salah satu empat madzhab yang ada? Mengapa? Mereka lebih mementingkan adab sopan santun kepada fuqaha yang lebih tua yang mendahului mereka disbanding lautan ilmu yang mereka miliki? Apakah adab kita mulai luntur? Semoga tidak, berharap kepada Allah Yang Maha Kuasa menghindarkan kita dari sifat sombong untuk meremehkan para pendahulu. Amin.

 

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren al-Hikam, Depok

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru