Harakatuna.com – Tidak ada jalan instan dalam menghasilkan karya bermutu. Tidak ada jalan pintas dalam menelurkan tulisan yang borbobot. Setidaknya, begitulah yang sampai saat ini saya yakini. Bahkan, penulis sekaliber apapun di dunia ini, pasti melewati proses yang berdarah-darah. Semisal dalam membangun semangat dan menjaga konsitensi dalam berkarya.
Tidak merasa puas dengan ilmu, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki. Gairahnya dalam belajar selalu menyala. Pikirannya terbuka dalam menerima kritik dan saran dari orang lain. Tidak membatasi diri dalam mengembangkan diri.
Rasa-rasanya, siapa saja yang berkeinginan terjun dalam bidang tulis menulis, baik sebagai penulis fiksi atau non-fiksi, mesti memantapkan diri menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sebab, sejatinya penulis adalah sosok yang haus akan ilmu dan pengetahuan.
Dia tidak membatasi dirinya untuk menyerap ilmu dari siapa pun yang ditemuinya. Sebab, setiap orang bisa menjadi gurunya. Semisal ketika bercengkrama dengan teman, saudara, orangtua, istri, dan lain siapa saja yang dijumpainya.
Tidak hanya itu, bagi penulis, etiap tempat bisa menjadi ruang kelas. Baik di pasar, terminal, stasiun, bandara, pos kamling, mall, dan sebagainya. Ya, penulis bisa mengaktifkan panca inderanya untuk belajar kepada siapa pun dan di mana pun. Dalam hal ini, kepekaannya senantiasa dilatih.
Bagaimana dia dituntut untuk bisa mengamati realitas sosial, fenomena alam, situasi politik, interaksi antarmanusia, dan semacamnya. Sebab, dari kemampuan membaca manusia dan alam semesta ini, kita bisa mendapatkan banyak limpahan ide atau gagasan untuk menulis. Bahkan, membaca diri sendiri pun bisa dijadikan bahan untuk menulis.
Dalam hal ini, membaca memiliki konteks makna yang lebih luas. Bagaimana setiap penulis dianjurkan, bahkan diharuskan bukan hanya bisa membaca teks berupa buku, koran, majalah, jurnal, buletin, dan sejenis, Namun, juga harus mampu membaca di luar teks. Seperti halnya alam semesta dan realitas sosial. Kita sebagai penulis, bisa belajar dari gunung-gunung yang menjulang tinggi, hamparan sawah yang elok, gelombang lautan yang menghantam karang, derasnya hujan yang mengguyur jalanan, aliran sungai di suatu desa, dan sebagainya.
Pendengaran dan penglihatan penulis bisa diasah dengan memperhatikan apa yang ada dan terjadi di sekitarnya. Tidak hanya itu, akal dan hatinya pun bisa diaktifkan untuk berpikir dan merenungi kebesaran Tuhan. Sebab, alam pun bisa menjadi guru dan sekaligus sumber inspirasi bagi penulis.
Hal-hal semacam itulah yang kadang kita lewatkan. Salah kaprah jika kita beranggapan sumber ide hanya dari literatur di perpustakaan. Kita menyangka sumber inspirasi dari koran atau majalah yang kita baca. Padahal, anggapan semacam itu, kurang tepat. Semua yang kita lihat, dengar, dan rasakan bisa mengasah intuisi kita. Bisa menjadi acuan dalam menuliskan sebuah karya. Baik berupa esai, puisi, cerita pendek, novel, dan sebagainya.
Percayalah, kita semua bisa belajar di “Universitas Alam Semesta”. Ini hanya persoalan kepekaan dan kemauan untuk memetik saripati ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan. Setiap titik dan sudut kehidupan menjadi pembelajaran berharga.
Semakin peka setiap penulis, daya kritisnya akan hidup. Tentu, harus diiringi dengan rasa penasaran dan ingin tahu yang tinggi. Dalam hal ini, akal pikirannya selalu diliputi dengan pertanyaan demi pertanyaan terkait banyak hal. Dalam proses pencarian itulah, kita juga bisa “kulakan” ide. Ketika ide sudah ditemukan, segera catatkan. Sebab, ide ini cukup gesit larinya. Harus segera diikat agar tidak kabur ke mana-mana. Semisal tidak digunakan hari ini, ide tersebut sewaktu-waktu bisa kita panggil.
Tentu, baiknya kita juga memiliki “bank ide”, semacam folder khusus untuk menyimpan beragam ide yang terbesit dalam pikiran kita. Selain itu, penulis juga perlu keberanian dan komitmen untuk melawan dua penyakit yang bisa menggerogoti produktivitasnya. Dua penyakit itu yaitu “malas gerak” dan “kebiasaan menunda”.
Kembali pada pembahasan awal tadi, pada akhirnya setiap penulis mesti sadar betul bahwa dirinya selalu membutuhkan informasi, pengetahuan, dan ilmu dalam proses kreatifnya. Pun demikian dengan skill menulis-nya, harus selalu dikembangkan. Jangan pernah merasa puas dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki.
Sebab, di atas langit, masih ada langit. Masih banyak orang-orang hebat di luar sana, yang kita sendiri bisa menimba ilmu kepada mereka. Jadi jangan pernah merasa “paling jago” atau “paling cerdas”. Sebab, perasaan semacam itu justru menjadi bumerang yang menghambat perkembangan kita. Perasaan semacam itu juga menujukkan bahwa kita sebenarnya bodoh.
Sekali lagi, spirit menimba ilmu sepanjang waktu menjadi bekal utama untuk menigkatkan kualitas dan produktivitas penulis. Sekarang pertanyaanya adalah sejauh mana tekad kita untuk terus belajar? Sejauh mana konsitensi kita dalam berkarya? Apakah kita merasa cukup dengan kemampuan menulis yang kita miliki? Apakah kita merasa cukup dengan kuanitas dan kualitas karya kita? Sudahkah belajar dari alam dan sekeliling kita?
Mari kita renungi pertanyaan-pertanyaan itu. Jadikan bahan evaluasi untuk ke depannya. Mari ambil pena, dan mulailah menulis! Jika bisa hari ini, kenapa harus menunggu esok hari?