30.1 C
Jakarta
Array

Berhala Dalam Haji?

Artikel Trending

Berhala Dalam Haji?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Haji yang merupakan muktamar Islam tahunan memang memiliki banyak hikmah. Namun di dalamnya sarat dengan praktek paganis. Diantaranya ka’bah, penciuman Hajar al Aswad yang tidak beda dengan batu suci lainnya yang kerap didapati di kalangan bangsa Semit.” Karl Brockman, Tarikh al-Syu’ab al-Islamiyah.

Benarkah pernyataan tersebut ?
Mari kita teliti lebih dalam dengan membaginya dalam 2 pembahasan :
1. Ka’bah
Adalah Ibrahim as. memohon kepada Tuhannya, “maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim [14]:37). Allah kemudian mengabulkan permohonannya. Menjadikan rumah Ibrahim sebagai tempat berhaji dan pertemuan hati-hati manusia dari timur dan barat. Allah juga hendak meninggikan Arab. Menetapkan salah satu kotanya sebagai kiblat, arah umat muslim menghadap dalam shalat.
Tentunya tidak ditemukan seorangpun yang meyakini bahwa Allah hendak mengkuduskan rumah Ibrahim dan Isma’il yang hanya sekedar dinding dan bebatuan. Sebab pengkudusan dimaksud adalah pengkudusan maknawi.
Di dalamnya terdapat simbol penghormatan kepada Ibrahim dan Muhammad SAW. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS Al-Baqarah [2]:144).
Kekudusan tidak terletak pada bebatuan Ka’bah. Namun hanya pada pelaksanaan titah ilahi. Bahwa seandainya Allah mencabut titahnya, tentu Ka’bah tidak akan lagi dikuduskan. sementara dari sudut pola pikir, penghadapan kaum muslimin ke satu arah, menyimbolkan kesatuan ideologi dan visi.
Atas prinsip itu ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan:
· Penghadapan ke Ka’bah adalah sekedar penghadapan jasad. namun hatidan jiwa, sepenuhnya mengfokus dan menghadap kepada Allah.
· Tidak jauh berbeda dengan catatan pertama menyangkut spiritual penghadapan. Bahwa setiap muslim tidak akan pernah membersihkan dirinya hanya menghadap Ka’bah dan bebatuan. Namun menyakini jiwanya sedang menghadap kepada tuhan ka’bah. “Maka ke manapun kamu menghadap disitulah Allah.” (QS Al-Baqarah 2:155).
· Meskipun tawaf adalah aktifitas tubuh mengelilingi Ka’bah. Namun mulut dan hati senantiasa menyebut “Labbaika Allahuma Labbaika. Labbaika La Syarika Laka Labbaika “. Talbiyah adalah pemenuhan panggilan Allah dan bukan penggilan Ka’bah. Tidak ada seorangpun yang mengatakan “Labbaika Ya Ka’bah Labbaika”. Realitas ini kerap di ungkapka orang-orang saleh dengan tubuh yang tawaf mengelilingi Ka’bah dan hati yang tawaf mengelilingi Tuhan Ka’bah.

2. Hajar Aswad
Pembahasan terhadap masalah ini akan meniscayakan kita untuk sedikit menyinggung masalah haji. Tentu tidak membahas fungsi dan visi haji secara detail. Ayat “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripada dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS Al-Hajj [22]:27-28), sudah cukup untuk mewakili.

Haji dapat mewujudkan efek duniawi dan ukhrawi sekaligus. Efek spiritual, moral, sosial, dan ekonomi. Muktamar tahunan besar yang digelar di ‘Arafah adalah simbol kesatuan pikir kaum muslimin. Mengarahkannya untuk mengkaji serius problem yang sedang dihadapinya.
Masing-masing negara muslim tentunya memiliki komoditas ekspor yang beragam. Melalui muktamar ini, mungkin akan sangat banyak penandatangan kesepahaman ekonomi, budaya, teknologi dan bidang lainnya.
Dalam haji dijumpai persamaan yang nyata antara raja dan rakyat biasa. Semua mengenakan pakaiannya yang sama. Bahkan mereka menepikan segala atribut materi, keturunnya, kekayaan dan jabatan. Merupakan muktamar Islam internasional yang tidak didapati duanya.
Adalah sebuah potret peradaban modern yang merupakan keniscayaan dari muktamar humanis Islam yang paripurna. Kemudian PBB membentuk wadah yang hendak menyatukan bangsa-bangsa, namun gagal. Kegagalan tersebut difaktori oleh pemarginalan PBB terhadap aspek spiritualitas yang merupakan pembeda antara manusia dan bebatuan.
Menyoal masalah Hajar Aswad, bahwa Arab di zaman jahiliyah mengkreasi banyak tuhan. Namun mereka tidak pernah menuhankan Hajar Aswad. Namun hanya memposisikannya pada posisi terhormat, sebab merupakan peninggalan dari bangunan Ka’bah Ibrahim.
Atas dasar ini, jelas Islam tidak mengakui paganisme jahiliyah. Bahwa praktek penciuman Hajar Aswad tidak sekedar ekspresi simbolis, bukan pengkultusan Hajar Aswad.
Ketika Quraisy merehabilitasi bangunan Ka’bah, mereka berselisih tentang siapa yang meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Muhammad yang “terpercaya” dan cerdas kemudian mendamaikan selisih mereka. Ia menghamparkan jubah dan meletakkan Hajar Aswad di dalamnya. Setiap kabilah diwakili salah seorang dari mereka memegang ujung jubah, hingga Muhammad meletakkan Hajar Aswad di tempat semula.
Ketika Umar pada suatu hari berdiri menatap Hajar al Aswad, “Aku tahu engkau adalah batu yang tidak memberi manfaat juga mudarat. Andai aku tidak melihat Rasulullah mengecupmu aku tidak akan pernah mengecupmu.” tegasnya. Jelas mencium Hajar Aswad bukan merupakan kewajiban setiap manusia dan bukan juga syarat sah mereka yang berhaji.

Cukuplah ini menjadi bantahan yang tepat dan sebagai wujud kesadaran kita dalam membantah pernyataan-pernyataan orang-orang yang menyudutkan agama Islam.

Sumber :Dr. Syauqi Abu Khalil, ISLAM MENJAWAB TUDUHAN

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru