30.1 C
Jakarta

Berdakwah dengan Ramah, Bukan dengan Marah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBerdakwah dengan Ramah, Bukan dengan Marah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Menjaga Citra Agama, Penulis: Adib Gunawan, Penerbit: Buku Republika, Cetakan: Kedua, Oktober 2021, Tebal: xxxvi + 278 Halaman, ISBN: 9786027595934, Peresensi: Untung Wahyudi.

Harakatuna.com – Selama ini, Islam dikenal sebagai agama yang ramhmatan lil alamin. Agama yang senantiasa menyebarkan kedamaian dan cinta kasih kepada seluruh alam. Tidak hanya umat Islam, penganut agama lain juga mengakui keberadaan agama yang dibawa oleh manusia agung yaitu Nabi Muhammad Saw. Islam tidak pernah mengajarkan kebencian sehingga, umat Muslim di mana pun berada, senantiasa menjaga citra agama dengan baik. Jangan sampai orang lain membenci Islam karena ulah umatnya sendiri.

Berbagai peristiwa atau konflik sosial yang selama ini terjadi di Indonesia kerap ditimbulkan oleh sentimen agama. Teror demi teror yang meresahkan masyarakat kerap terjadi atas nama agama. Sehingga, tak sedikit orang yang merasa takut dan tidak aman berada di lingkungan yang kerap terjadi konflik.

Sebagai Muslim, sudah sepatutnya kita menjaga citra agama Islam agar tidak buruk di mata dunia. Praktik keagamaan yang selama ini dilakukan seharusnya mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang senantiasa membawa perdamaian. Melindungi orang-orang yang lemah dan menolong yang membutuhkan pertolongan. Tak perlu memandang suku, ras, atau agama. Islam harus mampu menjadi pelindung bagi seluruh alam.

Dalam buku Menjaga Citra Agama, Adib Gunawan memotret berbagai hal tentang praktik keagamaan yang terjadi di masyarakat saat ini. Fenomena yang terjadi berulang-ulang, terutama tentang bagaimana menumbuhkan sikap toleransi beragama dan menghargai sesembahan agama lain.

Menurut Adib Gunawan, Islam perlu ditonjolkan sebagai agama yang tak pernah menimbulkan kericuhan atau keributan yang membuat ketenangan orang lain terganggu. Jika itu terjadi, yang perlu “diperiksa” adalah penganut agamanya itu sendiri. Kenapa orang cenderung bersikap intoleran dan tak pernah menghargai keyakinan orang lain?

Tugas Berat Dai di Era Digital

Perkembangan teknologi mutakhir membuat siapa saja bisa menyampaikan dakwah dengan cepat dan praktis. Dulu, para dai, kiai, atau penceramah lazim menyampaikan dakwah dari mimbar ke mimbar atau dari pengajian ke pengajian. Para jemaah harus berbondong-bondong mendatangi lokasi pengajian untuk menimba ilmu dari para dai.

Namun, saat ini ceramah bisa disampaikan lewat berbagai media seperti televisi, radio, bahkan seiring perkembangan zaman, ceramah sudah bisa lewat berbagai media sosial seperti YouTube, Facebook, Instagram, bahkan Tiktok.

Media sosial yang dulu dianggap tabu karena dianggap bisa melalaikan pekerjaan atau ibadah, kini bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan dakwah dan kebajikan. Berbagai topik bisa diketengahkan sesuai momentum seperti Isra Mi’raj, Maulid Nabi, Ramadan, Idul Fitri, dan momentum-momentum lainnya.

BACA JUGA  Menyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme

Tetapi, yang perlu diwaspadai adalah ceramah-ceramah yang menimbulkan keributan di masyarakat, seperti tentang praktik keagamaan, perbedaan pendapat, hingga intoleransi yang menimbulkan gesekan-gesekan di tengah-tengah masyarakat. Para pembaca atau pemirsa harus bisa memfilter berbagai dakwah di media digital.

Salah satu contoh adalah topik yang berkaitan dengan wabah atau musibah yang menimpa orang lain. Ada sebagian orang yang terlalu ekstrem memahami sebuah teks sehingga, menganggap musibah yang menimpa orang lain adalah laknat Tuhan yang pantas diterima orang-orang yang ditimpa musibah.

Padahal, hal itu tidaklah patut disampaikan karena, di mana pun pasti ada orang baik dan orang yang tidak taat kepada Allah. Tak seharusnya seseorang–apalagi penceramah—menyamaratakan sebuah kaum atau daerah yang tertimpa musibah sebagai orang yang melupakan ajaran Allah.

Dalam kehidupan agama, bila kita merasa lebih saleh, merasa telah beramal baik, dan merasa lebih beragama dan beriman dari orang lain, berarti sikap tersebut jauh dari sikap tawadhu. Tanpa sadar kita telah jatuh dalam sikap lupa diri, sombong, yang pada akhirnya mendapatkan murka dari Allah Swt.

Banyak contoh ulama besar seperti Imam Ghazali, Syekh Abdul Qadir Jailani, Maulana Jalaluddin Rumi, dan lainnya, yang kesalehannya tak diragukan lagi. Namun, dalam pernyataan-pernyataan sikapnya mengatakan bahwa dirinya adalah orang biasa, yang lemah dan fakir dari sisi ilmu dan kesalehan (hlm. 20).

Kehadiran buku karya seorang dokter yang juga konsisten membahas isu-isu keagamaan ini bisa menjadi referensi sekaligus pegangan bagaimana menjalani praktik keagamaan sehari-hari. Buku ini mendapat apresiasi dari beberapa tokoh seperti Buya Syafii Maarif, Doktor Eman Suparman, dan Profesor Didin Wahidin.

Menurut Buya Syafii Maarif, dokter Adib Gunawan adalah seorang dokter yang sangat mencintai agama yang diyakininya dengan sepenuh hati. Batinnya merasa terusik karena mengamati perilaku sebagian pemeluk agama yang sama, yang dinilainya telah jauh menyimpang dari Islam Qur’ani dan Islam kenabian yang semestinya menampilkan wajah sejuk, ramah, dan menawan.

Demikianlah. Sikap baik dan ramah yang ditonjolkan umat Muslim dalam praktik kehidupan sehari-hari adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang santun sehingga penganut agama lain berani angkat topi melihat kebaikan Islam.

Islam akan disegani jika umatnya mampu menjaga citra agama dengan baik. Jika para penceramah menyampaikan dakwah dengan ramah, bukan hal yang mustahil orang lain akan mendapatkan pencerahan sekaligus hidayah. Islam akan menjadi agama yang senantiasa disegani karena keramahan para penganutnya.

Untung Wahyudi
Untung Wahyudi
Penulis lepas tinggal di Sumenep

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru