32.7 C
Jakarta
Array

Berdagang Khilafah di Indonesia (1)

Artikel Trending

Berdagang Khilafah di Indonesia (1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berdagang Khilafah di Indonesia (1)

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid*

Indonesia menjadi tempat empuk untuk menabur benih tanaman apa saja, memupuknya pun sangat mudah. Dalam konteks kekinian, terdapat beragam gerakan yang berorientasi pada penegakan syariat Islam dan khilafah, di antaranya: pertama, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah organisasi dan gerakan Islamis yang mengorganisir kekuatan-kekuatan Islam pada tingkat nasional untuk menegakkan syariat Islam. Kongres pertamanya diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2000-an, kemudian membuat struktur organisasinya, seperti ahl al-hall wa al-‘aqd (lembaga legislatif Islam) dan khilafah. Terpilih ketua Abu Bakar Ba’asyir dan Suryahadi Awwas sebagai ketua dewan eksekutifnya.

Sifatnya lebih kepada tansiq atau aliansi gerakan yang berdasarkan ukhuwah, yang kemudian dikongkritkan dalam tiga formulasi, yaitu: “tansiqu al-fardi”, kebersamaan dalam misi menegakkan syariat Islam; “tansiqu al-‘amali, kebersamaan dalam program menegakkan syariat Islam; dan “tansiqu al-nidzam”, kebersamaan dalam satu institusi penegakan syariat Islam. Pada poin ketiga inilah kemudian melahirkan gagasan selanjutnya, yaitu: khilafah. Namun dalam pengamalannya, gerakan ini memiliki kesamaan dengan Wahabi, menjaga akidah Islam dan membersihkan dari segala kemusyrikan. Adapun kesamaannya dengan pengusung khilafah lainnya adalah bahwa salah satu kemusyrikan itu adalah sistem demokrasi sekuler yang tidak menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum utama.

Kedua, Khilafatul Muslimin (KM). Sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abdul Qadir Baraja yang berlokasi di Lampung. Konsep khilafah pun menjadi isu utamanya, yang akan ditegakkan ke seluruh dunia dan dimulai dari Indonesia. Salah satu yang mengamini hadirnya MMI namun tak ikut menjadi anggota aktif di MMI. Keberadaannya merupakan kelanjutan dari kekhalifahan Islam pada tahun 1997. Namun KM kalah tenar dari FPI dan HTI dalam menggaungkan dagangan khilafah-nya.

Ketiga, Front Pembela Islam (FPI). Organisasi yang lebih tua keberadaannya daripada MMI. Didirikan tahun 1998-an dan diketuai oleh Habib Rizieq Syihab yang berkembang pesat era BJ. Habibie, kemudian beberapa waktu padam dan akhir-akhir ini memenuhi headline media sosial online maupun cetak. Visi-misinya adalah “penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah Islamiyah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad.” Organisasi ini lebih dominan kepada “nahi mungkar” daripada “amar makruf”. Oleh karena itu, stigma yang menempel adalah organisasi Islam yang “radikal” dan akan bertindak manakala negara membiarkan kemungkaran berkeliaran di Negara Indonesia.

Model gerakan ini pastinya menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Tanpa menafikan eksistensi dan emosi beragama yang tinggi, FPI harus kembali merujuk model “tadarujj” dalam berpolitik yang diwasiatkan oleh Imam Ghazali melalui kitab monumentalnya, Ihya Ulum Al-Din (2008). Ada empat hal, yaitu: “ta’rif, memberikan pendidikan dan penyuluhan; “wazh”, memberikan peringatan dan nasihat; “takhsyin fi al-qaul”, memberikan kritik dan peringatan (juga kecaman) keras; dan “man’u bi al-qahri”, melakukan pencegahan secara paksa. Jika empat hal ini dikaitkan dalam konteks keberagamaan dan kenegeraan, maka dua fase pertama boleh dilakukan siapapun, sedangkan dua fase terakhir hanya boleh dilakukan oleh negara (pemerintah).

Di samping model berdakwahnya demikian, FPI salah satu ormas yang menyuarakan khilafah Islamiyah. Dalam catatannya yang termuat di Tabloid Suara Islam (edisi 85, 5-19 Maret 2010) bahwa stigma negatif yang menempel pada konsep khilafah disebabkan ada kelompok umat Islam yang mengkampanyekan khilafah secara vulgar, termasuk peniadaan semua batas wilayah teritorial antar negara Islam. Kelompok ini (menurutnya) sangat berbahaya, disebabkan hukum menjadi hitam-putih. “Memiliki semangat tapi tidak realistis, penuh energi tapi jalan sendiri dan penuh potensi tapi terlalu ambisi”.

Keempat, Hizbut Tahrir (jika di Indonesia bernama HTI) yang didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani tahun 1953 di Palestina. Di mana sebelumnya, HT mengajukan izin pendirian partai politik kepada Departemen Dalam Negeri Pemerintah Yordania, namun ajuan itu ditolak dan eksistensinya berstatus ilegal. Di Indonesia pun tidak jelas identitas dirinya, namanya mengandung unsur politik namun tidak mendaftarkan sebagai partai politik.

Dalam Afkar Siyasiyyah (1994), HTI menganggap bahwa akidah Islam merupakan pemikiran yang bersifat politik dan asas pemikiran politik untuk Muslim. Oleh karena itu, mantan aktivis HTI yang sekarang jadi Sekjen FUI, Muhammad Al-Khaththath mengatakan: “keliru jika umat Islam, terutama ulama harus menjauhi politik”. Kesadaran berpolitik menjadi kewajiban setiap eksponen-eksponen HT/HTI.

Keempat organisasi ini mengajukan khilafah sebagai solusi umat Islam, namun dalam gerakannya berbeda satu sama lain. Keempat-empatnya berdagang isu “khilafah” yang sama sekali tidak relevan dalam konteks nasionalisme, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Yang pemahaman itu—dalam konteks keindonesiaan—merupakan “khawarij modern”, sekalipun pada dasarnya konsep khilafah tidak serigid yang dipahami oleh keempat ormas tersebut. Ia dinamis dan menyesuaikan dengan budaya yang berkembang di negara tersebut.

*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IIQ Jakarta dan Penulis Buku HTI, Gagal Faham Khilafah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru