26.1 C
Jakarta

Berawal dari Buku (Bagian III)

Artikel Trending

KhazanahOpiniBerawal dari Buku (Bagian III)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – “Kringgg!” Bel pesantren melengking begitu keras. Waktu belajar setelah Isya’ sudah usai. Sayup-sayup baca buku berganti polusi suara. Biasanya santri makan malam habis belajar, kemudian berlanjut pada aktivitas pribadi. Boleh jadi langsung tidur di bilik masing-masing atau di beranda masjid. Boleh jadi berteduh di perpustakaan sembari membaca baris-baris kata aneka buku yang berderet di rak buku. Boleh jadi yang lain diskusi satu sama lain.

Diva baru selesai belajar dan makan malam. Pesantren semakin bersahabat sepekan setelah kenal dengan Nadia. Diva beruntung banget Tuhan mempertemukan dengan sosok perempuan seperhatian dan sebaik Nadia. Kendati Nadia bukan famili sendiri, rasa persaudaraan begitu tampak dan terasa di antara mereka.

Di perpustakaan pesantren mereka berdua menatap deretan buku yang berjajar rapi. Terlihat kitab-kitab ulama tradisional. Ada berjilid-jilid Mafatih al-Ghaib yang ditulis penafsir Fakhruddin ar-Razi. Ada juga kitab Jami’ al-Bayan, karya guru para mufasir ath-Thabari. Ada yang lain, kitab At-Tafsir al-Munir karya ulama kontemporer Wahbah az-Zuhaili. Bahkan, lima belas jilid Tafsir Al-Mishbah karya fenomenal mufasir Nusantra M. Quraish Shihab berjajar rapi.

Ini buku Tafsir Al-Mishbah yang Abah ceritakan pas Diva masih di rumah. Diva sejenak membatin sembari mengingat pesan Abah, bercita-citalah menjadi mufasir hebat seperti Quraish Shihab. Banyak karya yang lahir dari tangan Quraish Shihab, antara lain, Membumikan Al-Qur’an, Al-Lubab, Lentera Hati, Islam yang Saya Anut, dan buku terbaru Islam yang Saya Pahami. Quraish Shihab dikenal sebagai penulis produktif, berpuluh-puluh karya bertebaran di penjuru Nusantara.

Pada rak yang lain terlihat kamus tebal dan berjilid-jilid karya Ibnu Manzur berjudul Lisan al-Arab. Dan di bawahnya berdiri tegak kamus al-Munjid yang banyak dipakai di berbagai pesantren, termasuk di Perguruan Tinggi Islam, sementara kamus ini ditulis oleh dua Katolik bernama Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i yang dicetak, diterbitkan, dan didistribusikan oleh sebuah percetakan Katolik sejak tahun 1908. Begitulah pesantren, sebuah institusi yang terbuka terhadap siapa pun, termasuk penganut agama non-Islam. Karena, pesantren memegang prinsip “Unzhur ma qala, wala tanzhur man qala.” Maksudnya, lihatlah apa yang dikatakan, bukan lihat siapa yang mengatakan.

Pesantren Annuqayah mengajarkan keterbukaan menerima perbedaan tertanam sejak pendirinya, bahkan sampai diteruskan generasi sesudahnya. Diva merasakan perbedaan itu membumi di pesantren ini. Annuqayah tidak membatasi santrinya belajar kitab turats karya ulama terdahulu semata, melainkan membebaskan para santri belajar apa yang dikehendaki, bahkan membaca buku filsafat yang banyak diklaim sesat oleh sebagian pihak.

Mayoritas santri gemar membaca buku-buku karya cendekia masa kini. Mereka fokus membaca Bilik-bilik Pesantren karya Nurcholish Madjid, Tuhan Tidak Perlu Dibela karya Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, Berpikir seperti Nabi karya Fauz Noor, dan beberapa buku yang lain. Bahkan, kegemaran santri, termasuk Nadia, membaca novel. “Ini novel bagus dan membangun jiwa,” ketus Nadia menyeka konsentrasi Diva yang dari tadi menatap deretan buku yang membuatnya jatuh cinta sembari menunjukkan novel-novel Habiburrahman El Shirazy meliputi Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta, Bumi Cinta, Api Tauhid. Pada bagian yang lain Nadia menyodorkan sebuah novel yang tak kalah fenomenal dan sudah diterjemahkan pada puluhan bahasa asing, yaitu Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Diva sudah tidak menangis seperti pekan pertama dan pekan kedua beradaptasi di pesantren. Bayang-bayang pesantren tak ubahnya penjara berganti seakan-akan hidup di tengah kebun surga. Menyenangkan. Apalagi berada di ruang perpustakaan. Diva mulai menemukan masa depannya di pesantren ini, bahkan mulai merasakan benih percintaan saat membaca novel fenomenal Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Tetes air mata itu jatuh tanpa terasa merasakan penderitaan seorang Zainuddin yang terhempas demi mengejar cinta Hayati.

“Diva nangis?” sontak Nadia tanya. Diva menyeka tetes air mata.

Diva terdiam.

“Diva kangen Abah dan Ummi?” Nadia penasaran sambil menatap wajah Diva.

Diva menggeleng.

“Te….” Nadia memotong.

“Diva nangis bukan tidak kerasan. Diva terbawa begitu baca novel ini.” Diva menjelaskan. Nadia tersenyum mendengar kepolosan Diva.

“Novel memang begitu. Pembaca seakan dibawa berpetualang dalam cerita penulisnya. Kakak juga begitu. Apalagi membaca buku Rectoverso-nya Dee Lestari. Kakak merasakan betapa sakitnya hati saat seorang terperangkap pada cinta yang tak terucap.” Nadia akhirnya bercerita.

Buku yang dibaca Diva seketika ditutup. Diva belum selesai membaca karya Buya Hamka ini. Kemudian, mereka menuju ke tempat peminjaman buku. “Satu buku novel, mbak.” Nadia menyodorkan sebuah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Diva belum punya kartu anggota perpustakaan. Tentunya, dia tidak bisa meminjam buku. Solusinya, kartu Nadia yang dipakek.

Baru meninggalkan ruang perpustakaan rasa penasaran terus mendorong Diva bertanya-tanya, sehingga sambil berjalan menuju bilik mereka, dia berkata, “Abahku pernah bilang, ‘Tuhan punya sifat al-Wadud, Maha Pencinta. Tuhan mencintai hamba-Nya, termasuk hamba yang kufur. Tapi, cinta manusia begitu kejam seperti cinta Hayati kepada Zainuddin.”

“Cinta itu menjaga. Yang tersakiti adalah korban pengkhianatan. Khianat itu adalah cinta yang ternodai.” Nadia menepis pandangan Diva yang kelihatan ragu akan kemurnian cinta.

“Mereka kan pada mulanya saling mencintai, Kak? berarti cinta yang mengantarkan mereka patah hati.”

“Bukan. Bukan begitu, Div. Tiada sakit hati bagi orang yang mencintai, karena mencintai itu merelakannya. Termasuk merelakan saat kehilangan.”

Diva belum dapat mencerna penjelasan Nadia. Diva geleng-geleng kepala. Tidak mengerti.

“Diva banyak baca buku dulu. Merasa mengerti soal cinta pada hakikatnya dia belum mengerti apa pun. Semakin bingung memahami cinta, semakin dalam pemahamanmu.”

Diva tidak berani membantah lagi. Maklum, Diva baru berkenalan dengan novel percintaan di pesantren ini. Baru baca satu buku lagi. Tentunya, berbeda dengan Nadia yang sudah membaca berpuluh-puluh buku, termasuk novel Dee Lestari meliputi Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh sampai Supernova: Inteligensi Embun Pagi.

Diva dan Nadia berjalan beriringan bak dua pengantin yang menyusuri jalan. Beberapa bilik mulai mematikan lampu kamar. Sebagian bilik lampunya masih nyala. Tanpa terasa mereka sudah empat jam berteduh di perpustakaan. Tidak terasa cinta menyulap waktu seakan sesaat.

Akhirnya, harus tidur bersama, sembari menunggu mimpi indah yang menghantarkan cerita malam ini sebagai langkah menuju kesuksesan di hari esok. Bintang-bintang menjadi saksi perjalanan cinta suci ini. Mencintai berawal dari membaca perjalanan cinta orang lain, sehingga nanti menjadi pencinta yang kuat, kuat saat dihadapkan dengan kenyataan menerima, termasuk menerima pahitnya cinta.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru