29.7 C
Jakarta

Beragamnya Pemikiran Islam: Pertarungan Ideologi dan Corak Keberagamaan

Artikel Trending

KhazanahTelaahBeragamnya Pemikiran Islam: Pertarungan Ideologi dan Corak Keberagamaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna– “Different interpretations of the world for the most part correspond to the particular positions the various groups occupy in their struggle for power”, Karl Manheim. Barangkali sangat cocok mengawali tulisan ini dengan kalimat diatas ketika melihat betapa banyaknya aliran pemikiran Islam dengan perseteruan yang cukup epik dalam menggambarkan Islam yang sangat kompleks.

Mengapa ini terjadi? jawaban yang saya sampaikan tidak bisa secara sederhana teruraikan dengan jelas melalui tulisan sederhana ini. Setidaknya kita bisa melihat dari beberapa faktor, diantaranya: tidak ada hal mutlak tentang Islam yang digambarkan oleh sejarah. Artinya, dari masa ke masa, corak pemikiran dan perkembangan Islam, terus dinamis dan mengalami perubahan. Misalnya, dalam konteks pendirian negara khilafah.

Mengapa sejauh ini beberapa kelompok menggemakan dan ngotot mendirikan negara khilafah? Karena melihat salah satu aspek sejarah tadi. Mereka terlena dengan masa keemasan umat Islam yang sewaktu itu menegakkan khilafah. Masalah ini membuat seluruh elemen yang mendukung pendirian negara khilafah melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Mengapa ini terjadi? lagi-lagi karena tidak melihat konteks sejarah yang amat luas. Jika kacamatanya hanya satu aspek sejarah saja, maka sikap ngotot, paling benar, dan sikap sejenis lainnyapun tercipta.

Tidak hanya itu, tradisi yang berkembang pada suatu wilayah, kondisi sosial juga mempengaruhi perkembangan Islam. Dalam konteks keindonesiaan, sistem negara khilafah tadi yang dimaksud sangat tidak cocok dengan Indonesia dan bertentangan.

Pluralitas, dan kondisi sosial secara kompleks yang dimiliki Indonesia harus menjadi bagian dari peleburan yang utuh. Sehingga Islam yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan Arab. Tradisi Islam yang ada di Arab tidak bisa dipaksakan untuk ada di Indonesia. Dari sinilah muncullah berbagai pemikiran Islam, seperti: tradisionalisme, reformis, revivalis, sufi, dan liberal.

Kita butuh imajinasi religius

Dengan masalah demikian, istilah imajinasi religius penting kiranya muncul untuk melihat fenomena ini. Mengapa ini penting? wujud dan keterampilan religious intellectual (bukan ulama, da’i. fuqaha dalam pengertian konvensional).

Perlu kita bersyukur memiliki sosok Gusdur, Nur Cholish Madjid, dll secara tidak langsung membantu untuk memadukan sains sosial ke dalam wacana agama yang menalaah dengan perspektif sejarah, sosiologis, psikologi sosial dan literasi kritis untuk memunculkan Islam yang bisa beradaptasi dengan segala hal tanpa menciderai agama Islam itu sendiri.

BACA JUGA  Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Kehadiran imajinasi religius yang dibawah oleh para cendekiawan muslim, dalam konteks Indonesia secara tidak lain memberikan pemabaharuan wacana Islam yang bisa diterima oleh publik. Dengan wadah public reasoning dan kritikal perseptif, Islam yang ditampilkan adalah merangkul untuk semua. Islam yang tampil tidak marah-marah atau ngotot merasa paling benar, dan merasa paling Islam diantara yang lain.

Aliran Islam beragam: tidak untuk memecah belah

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, beberapa pemikiran Islam yang berkembang menunjukkan bahwa manusia dengan kemampuan akal yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, menunjukkan bahwa eksistensi manusia terus ada untuk menelaah Islam sebagai agama rahmatal lil ‘alamin.

Beberapa pemikiran Islam, seperti: tradisionalisme, tradisionalisme, reformis, revivalis, sufi, dan liberal tercipta tidak untuk memecah belah, meskipun seringkali terjadi gesekan dan perseteruan yang cukup panas dari berbagai kelompok pengikutnya. Misalnya, begini: dalam pemikiran tradisionalisme, maka dogma seperti Al-Qur’an dan hadis menjadi patokan utama dalam menjalani kehidupan beragama. Jika kalimat Robert towler, kelompok ini menyanjung tradisi yang telah lama, dan bersikeras untuk mempertahankan.

Kelompok ini juga menentang apabila ada fenomena yang tidak sejalan dengan dogma agama. Yang terlihat secara jelas misalnya, perempuan harus menikah cepat agar tidak berzina, pekerjaan harus memilih yang sama-sama muslim, tidak boleh bercampur dengan non Islam, isteri sholihah taat pada suami.

Sedangkan beberapa kasus yang terjadi, bagaimana kondisi perempuan yang menikah dini sedangkan organ tubuhnya belum siap, hingga akhirnya berdampak buruk terhadap tubuhnya? Bagaimana ketika hidup dalam konteks Indonesia yang multikultural dan menjadi sebuah keniscayaan ketika bekerja dengan non Islam? Bagaimana ketika ternyata seorang suami justru tidak memberikan nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga? Bisakah istri yang demikian adanya harus taat pada suami?

Fenomena-fenomena ini yang luput dari kacamata tradisionalis dalam melihat bagaimana Islam harus diterapkan saat ini? maka muncullah corak pemikiran Islam lainnya seperti reformis, progresif untuk menjawab fenomena-fenomena ini. Dapat kita pahami bahwa beragamnya pemikiran Islam seharusnya bisa menjawab kebutuhan antara yang satu dengan yang lain, tidak untuk memecah belah, merasa paling Islam, ataupun sejenis. Wallahu a’lam

Tulisan ini merupakan hasil pemahaman dari pelatihan yang diadakan oleh Sister in Islam (SiS), dengan peserta berasal dari Indonesia, Malaysia dan Singapura, bertemakan “Pembaharuan, Konservatisme, dan Masa Depan Gerakan Islam di Nusantara”

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru