27.1 C
Jakarta

Beragama Menjaga Kebhinekaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBeragama Menjaga Kebhinekaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Islam & Kebhinekaan, Penulis: Dr. Alwi Shihab, dkk., Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Tahun: 2019, Tebal: 411 halaman, ISBN: 978-602-03-8561-7, Peresensi: Al-Mahfud.

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia menghadapi tantangan dalam membangun persatuan, persaudaraan, dan perdamaian. Di satu sisi, kemajemukan berpotensi menjadi daya tarik luar biasa jika mampu dikelola dengan baik, sehingga menciptakan satu tatanan kehidupan bersama yang rukun, harmonis, dan penuh warna. Di sisi lain, kemajemukan tersebut juga bisa menjadi ancaman ketika masing-masing elemen atau kelompok masyarakat mengedepankan ego masing-masing, tidak saling menghormati, sehingga melahirkan pertengkaran dan perpecahan.

Di dalam konteks tersebut, umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas memegang peranan sangat penting dalam membangun kerukunan dan perdamaian di tengah perbedaan. Umat Islam di Indonesia mesti bisa memperkokoh kebhinekaan. Di buku berjudul Islam & Kebhinekaan ini, kita disuguhi pandangan dari para tokoh, ulama, maupun intelektual Islam tentang hubungan Islam dan kebhinekaan, terutama dalam konteks Indonesia.

Toleransi di Tengah Kebhinekaan

Perbedaan, atau kebhinekaan, merupakan sunnatullah. Agar kehidupan rukun, damai, dan aman bisa tercipta di tengah perbedaan, perlu ada kesadaran untuk saling menghormati. Di sini, Alwi Shihab dalam tulisan berjudul “Mengelola Perbedaan dalam Islam”, menekankan pentingnya kesadaran bahwa toleransi merupakan jalan yang diamanatkan Islam. Ia menyuguhkan ayat-ayat Al-Qur’an yang secara jelas mengamanatkan pentingnya toleransi. Mulai dari QS. Al-Hujurat ayat 13, QS. An-Nahl ayat 125, hingga QS. Thaha ayat 43-44.

Alwi Shihab juga mengajak kita melihat sejarah tentang bagaimana Indonesia dibangun bersama baik oleh tokoh-tokoh Islam maupun tokoh-tokoh non-Muslim. Oleh karena itu, menurutnya kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam telah melupakan sejarah. Guna menjaga kebhinekaan di Indonesia, penting dikedepankan moderasi keagamaan, baik dalam menilai, berinteraksi dengan kelompok lain, maupun dalam menjalankan tuntunan agama. Usaha-usaha untuk mencari titik temu dalam ajaran agama-agama dunia guna mencegah terjadinya kekerasan atau radikalisme perlu terus ditingkatkan [hlm. 49-50].

Salah satu tanpa dari sikap toleransi adalah tidak mudah menyalahkan orang lain. Dalam tulisannya di buku ini yang berjudul “Takfir dan Tafkir”, Quraish Shihab menulis tentang fenomena bid’ah. Menurutnya, fenomena bid’ah lahir dari ghirah (semangat) menggebu-gebu mengikuti Nabi Muhammad Swt. Tapi, jelasnya, meski niat tersebut baik, belum tentu Nabi Muhammad Saw. sendiri menyetujui sikap tersebut, sebab beliau juga memerintahkan kita untuk berpikir. Bahwa mendakwahkan agama itu sesuai dengan tempatnya.

Quraish Shihab menegaskan pentingnya menghindari kebiasaan menyalahkan orang lain. Menurutnya, kebiasaan menyalahkan orang lain menunjukkan seakan-akan kita tahu isi hati orang lain, padahal kita tidak punya kemampuan untuk itu. Hanya Allah Swt. yang tahu niat dan isi hati orang. Hampir semua yang memaki-maki dan mengkafirkan orang lain tidak memiliki pengetahuan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Siapa yang mengkafirkan orang lain maka salah seorang di antara mereka itu benar-benar dinilai kafir oleh Allah” [hlm. 201-202].

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Utamakan Akhlak

Beragama pada dasarnya bukan hanya tentang halal dan haram atau benar dan salah. Lebih dari itu juga tentang akhlak. Said Agil Siradj dalam tulisannya “Islam, Agama Peradaban Manusia” menegaskan, pada dasarnya Islam tak hanya akidah dan syariah, namun juga akhlak. Islam tak hanya soal iman dan ritual ibadah. Tak kalah penting adalah misi Islam tentang intelektualitas, peradaban, akhlak, moral, budaya, dan kemanusiaan.

Said Agil juga menegaskan bahwa tidak ada keharusan membentuk negara Islam. Bahwa rakyat yang sejahtera, tegaknya hukum dan keadilan, serta dilindunginya hak asasi manusia, itu sudah merupakan jihad di dalam Islam. Beliau mengutip apa yang tertulis dalam kitab Fathul Mu’in karangan ulama India, Syaikh Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari (w.928 H).

Al-Malibari mengatakan, jihad ada 4 macam dan jihad yang keempat, dikatakan bahwa jihad adalah pemberian perlindungan kepada setiap warga masyarakat yang ma’sum, yang baik-baik, bukan pelaku kejahatan. Jadi, memberi perlindungan kepada masyarakat agar mereka maju, adil, dan sejahtera, itu sudah jihad fi sabilillah, sama seperti Rasulullah Saw ketika membuat Piagam Madinah [hlm. 65-66].

Senada dengan hal tersebut, M. Nur Samad Kamba dalam tulisannya “Islam Moderat, Ijtihad, dan Radikalisme Islam”, menulis bahwa untuk membangun kehidupan yang harmonis antarumat beragama, menjadi rahmatan lil alamin, ada dua hal yang menjadi panduan.

Pertama, seperti sabda Nabi Muhammad bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak, bahwa untuk menjadi rahmatan lil alamin, umat Islam harus mempunyai akhlak mulia, moralitas yang baik. Kedua, Nabi Muhammad juga bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. “Semakin banyak manfaat yang diberikan seorang muslim, semakin kelihatan rahmatnya bagi alam semesta,” tulisnya [hlm. 254].

Selain itu, kerangka negara bangsa Indonesia seperti UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, pada dasarnya juga sudah sejalan dengan Islam. Hal ini diungkapkan Azyumardi Azra dalam buku ini. Bahwa Pancasila sebagai ideologi negara adalah ideologi yang bersahabat dengan agama.

Beliau menyebutnya religious friendly ideology, ideologi yang secara keagamaan bersahabat. Maka, tak ada alasan untuk membuat Indonesia secara formal sebagai negara Islam. “Sebaliknya, jika diformalkan justru akan menimbulkan konflik, sebab dalam Islam sendiri ada banyak perbedaan pandangan mengenai relasi antara din (agama) dan siyasah (politik atau kekuasaan),” tulisnya [hlm. 150-151].

Selain tokoh-tokoh yang sudah disebutkan, buku ini juga masih menyimpan pandangan mengenai Islam dan kebhinekaan dari tokoh-tokoh lain. Seperti Ahmad Syafii Maarif, KH Hasyim Muzadi, KH. Mustofa Bisri, Komaruddin Hidayat, KH. Ma’ruf Amin, Mahfud MD, dan lain-lain. Dari pandangan-pandangan tokoh tersebut, kita akan semakin tersadarkan betapa pentingnya mengedepankan sikap-sikap beragama yang menghormati perbedaan, mengutamakan akhlak dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru