31.3 C
Jakarta
Array

Beragama dengan Empati

Artikel Trending

Beragama dengan Empati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama kita kenal sebagai jatidiri kehidupan manusia, aturan dalam berkomunikasi dengan sesama manusia, tuhanya dan alam raya. Dalam setiap ajaranya, pasti Tuhan sebagai capaian akhir dalam laku hidup manusia. Realita yang berjalan akhir-akhir ini berbanding terbalik dengan yang semestinya. Agama diluaran hanya sebagai aturan dan alat untuk menimpuk orang yang tak sepaham. Menggunakan agama sebagai dalih untuk merencanakan segala ambisi pribadi, misal saja diskriminasi dengan kaum yang berbeda. Hal lain juga seperti terjadi belakangan ini, agama hanya diperlihatan tentang ritual dari keshalehan individunya. Esensi bahwa beragama menekankan aspek kemanusiaan (humanisme) dalam lakunya, hilang dari ritus yang dipakai oleh pemeluknya.

Dangkalnya sikap kritis dalam ber-Agama memunculkan sikap skeptisme terhadap permasalahan, memandang hanya dari luaran, tapi terhindar dari muasal masalahnya. Mencaci maki merupakan sikap yang tak dianjurkan dalam setiap ajaran Agama apapun. Tapi, mengapa sekarang sikap tersebut sumir dikalangan agamawan. Politik berkedok agama semakin menggurita, membungkus politik praktis dengan bungkusan Agama. Menggiring kalangan awam hanya untuk melampiaskan nafsu sesaat mereka.

Kritisisme dalam beragama tidak bermaksud untuk mendobrak laku yang sudah ada, tapi memandang agama tidak hanya dari luaran semata, Mendobrak dari cara beragama yang di salahgunakan oleh sebagian kalangan. Sikap inilah yang mulai terkikis dikalangan kaum bergama di bangsa kita, Mengedepankan sikap kritis juga bisa menjadi daya tahan dalam menganulir penumpulan cara berfikir yang semakin minim, karena berkembangnya berita bohong (hoax).

Agama Tanpa Empati

Konflik sosial yang berujung pada pendangkalan paham keagamaan semakin menjamur, berkembangnya radikalisme menjadi daya picu terjadinya terorisme dimana-mana. Mereka menjadikan agama sebagai daya ledak untuk mengacaukan ketertiban yang mereka angan untuk dirombak. Kondisi mapan yang menurut mereka tak sesuai diporak-porandakan dengan teror yang mengatasnamakan agama.

Empati menjadi daya tawar paling mahal dalam konsep beragama manusia modern saat ini, bahwa empati bermula dari sikap saling menghargai dan kemampuan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Kedua sikap dari empati yang mulai luntur dari masyarakat modern, gaya hidup serba virtual dan mentahbiskan segala kebutuhan secara online semakin menumbuhkan sikap yang ekslusif.

Putus Ideologi Kebencian

Belum usai dari pikiran kita bersama, kejadian dari rentetan para penebar kebencian telah menghebohkan jagat dunia. Ambil saja kejadian teror yang dilakukan di Selandia Baru, aksi yang dilakukan oleh Bretton Tarrant membantai kalangan umat Islam yang tengah melaksanakan Ibadah Sholat Jum’at. Awal mula indikasi dari aksinya, ia terbawa akan perasaan benci terhadap kalangan imigran dan muslim. Pelaku teror tersebut sangat benci dengan kalangan yang berbeda warna kulit, yang tergolong pada aksi rasis.

Kebencian yang terakumulasi dalam diri ini akan mencapai puncaknya pada saat kesempatan itu hadir. Kebencian itu hadir dari arus informasi yang bertebaran, bahwa kebencian bisa mengoyak siapa saja. Daya picu arus informasi media sosial yang begitu cepat, tidak dapat dipungkiri mengakibatkan arus narasi kebencian semakin mendapatkan panggungnya. Hal ini tidak bisa kita sepelekan, beragam konflik memberikan narasi-narasi yang telah menimbulkan kekacauan. Narasi kebencian bisa mengoyak kondisi suatu daerah yang selama ini aman, bahwa kebencian dimanapun selalu mengakibatkan konflik besar yang berakhir peperangan.

Keseriusan bersama (kolektif) dalam memutus ideologi kebencian, harus menjadi langkah kongkret. Memberikan paparan tentang penggunaan informasi yang benar bisa memberikan persepsi yang sama tentang memandang suatu masalah. Sudut pandang (framing) terhadap suatu masalah akhir-akhir ini menjadi bias karena kedudukan media sosial yang sudah melampaui media mainstream yang menggunakan proses kerja jurnalistik. Panggung media sosial dalam sumber informasi harus diberikan batasan, terkhusus dalam memproses (filter) informasi yang didapatkan.

Kematangan dalam bertukar dan menggunakan informasi harus sudah dimiliki setiap orang saat ini, melihat peristiwa akhir-akhir ini semakin marak panggung media sosial dijadikan tempat untuk mengkebiri konsesi bersama dalam hal bernegara. Isi ideologi negara Pancasila hanya berupa ideologi hafalan minim pengamalan, lihat saja kita semakin mudah terpancing dengan beragam macam progpaganda yang semakin hari mudah kita dapatkan di kehidupan kita. Sesama anak bangsa dibenturkan dengan beragam ideologi yang tak berakar dalam sejarah kebudayaan Indonesia, yang santun dan mengayomi.

Mari kita semakin cerdas dalam menggunakan media sosial sebagai wadah dalam mempererat persaudaran kebangsaan. Beragam masalah kebangsaan diselesaikan dengan kesepakatan bersama, kita kembalikan citra musyawarah dalam mengedepankan pemecahan masalah sosial bersama.

Agama Sebagai Jati Diri Manusia

Agama kita kenal sebagai jatidiri kehidupan manusia, aturan dalam berkomunikasi dengan sesama manusia, tuhanya dan alam raya.Dalam setiap ajaranya, pasti Tuhan sebagai capaian akhir dalam laku hidup manusia. Realita yang berjalan akhir-akhir ini berbanding terbalik dengan yang semestinya. Agama diluaran hanya sebagai aturan dan alat untuk menimpuk orang yang tak sepaham. Menggunakan agama sebagai dalih untuk merencanakan segala ambisi pribadi, misal saja diskriminasi dengan kaum yang berbeda. Hal lain juga seperti terjadi belakangan ini, agama hanya diperlihatan tentang ritual dari keshalehan individunya. Esensi bahwa agama menekankan aspek kemanusiaan (humanisme) dalam lakunya, hilang dari ritus yang dipakai oleh pemeluknya.

Dangkalnya sikap kritis dalam ber-Agama memunculkan sikap skeptisme terhadap permasalahan, memandang hanya dari luaran, tapi terhindar dari muasal masalahnya. Mencaci maki merupakan sikap yang tak dianjurkan dalam setiap ajaran Agama apapun. Tapi, mengapa sekarang sikap tersebut sumir dikalangan agamawan. Politik berkedok agama semakin menggurita, membungkus politik praktis dengan bungkusan Agama. Menggiring kalangan awam hanya untuk melampiaskan nafsu sesaat mereka.

Kritisisme dalam beragama tidak bermaksud untuk mendobrak laku yang sudah ada, tapi memandang agama tidak hanya dari luaran semata, Mendobrak dari cara beragama yang di salahgunakan oleh sebagian kalangan. Sikap inilah yang mulai terkikis dikalangan kaum bergama di bangsa kita, Mengedepankan sikap kritis juga bisa menjadi daya tahan dalam menganulir penumpulan cara berfikir yang semakin minim, karena berkembangnya berita bohong (hoax).

Agama Tanpa Empati

Konflik sosial yang berujung pada pendangkalan paham keagamaan semakin menjamur, berkembangnya radikalisme menjadi daya picu terjadinya terorisme dimana-mana. Mereka menjadikan agama sebagai daya ledak untuk mengacaukan ketertiban yang mereka angan untuk dirombak. Kondisi mapan yang menurut mereka tak sesuai diporak-porandakan dengan teror yang mengatasnamakan agama.

Empati menjadi daya tawar paling mahal dalam konsep beragama manusia modern saat ini, bahwa empati bermula dari sikap saling menghargai dan kemampuan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Kedua sikap dari empati yang mulai luntur dari masyarakat modern, gaya hidup serba virtual dan mentahbiskan segala kebutuhan secara online semakin menumbuhkan sikap yang ekslusif.

Putus Ideologi Kebencian

Belum usai dari pikiran kita bersama, kejadian dari rentetan para penebar kebencian telah menghebohkan jagat dunia. Ambil saja kejadian teror yang dilakukan di Selandia Baru, aksi yang dilakukan oleh Bretton Tarrant membantai kalangan umat Islam yang tengah melaksanakan Ibadah Sholat Jum’at. Awal mula indikasi dari aksinya, ia terbawa akan perasaan benci terhadap kalangan imigran dan muslim. Pelaku teror tersebut sangat benci dengan kalangan yang berbeda warna kulit, yang tergolong pada aksi rasis.

Kebencian yang terakumulasi dalam diri ini akan mencapai puncaknya pada saat kesempatan itu hadir. Kebencian itu hadir dari arus informasi yang bertebaran, bahwa kebencian bisa mengoyak siapa saja. Daya picu arus informasi media sosial yang begitu cepat, tidak dapat dipungkiri mengakibatkan arus narasi kebencian semakin mendapatkan panggungnya. Hal ini tidak bisa kita sepelekan, beragam konflik memberikan narasi-narasi yang telah menimbulkan kekacauan. Narasi kebencian bisa mengoyak kondisi suatu daerah yang selama ini aman, bahwa kebencian dimanapun selalu mengakibatkan konflik besar yang berakhir peperangan.

Keseriusan bersama (kolektif) dalam memutus ideologi kebencian, harus menjadi langkah kongkret. Memberikan paparan tentang penggunaan informasi yang benar bisa memberikan persepsi yang sama tentang memandang suatu masalah. Sudut pandang (framing) terhadap suatu masalah akhir-akhir ini menjadi bias karena kedudukan media sosial yang sudah melampaui media mainstream yang menggunakan proses kerja jurnalistik. Panggung media sosial dalam sumber informasi harus diberikan batasan, terkhusus dalam memproses (filter) informasi yang didapatkan.

Kematangan dalam bertukar dan menggunakan informasi harus sudah dimiliki setiap orang saat ini, melihat peristiwa akhir-akhir ini semakin marak panggung media sosial dijadikan tempat untuk mengkebiri konsesi bersama dalam hal bernegara. Isi ideologi negara Pancasila hanya berupa ideologi hafalan minim pengamalan, lihat saja kita semakin mudah terpancing dengan beragam macam progpaganda yang semakin hari mudah kita dapatkan di kehidupan kita. Sesama anak bangsa dibenturkan dengan beragam ideologi yang tak berakar dalam sejarah kebudayaan Indonesia, yang santun dan mengayomi.

Mari kita semakin cerdas dalam menggunakan media sosial sebagai wadah dalam mempererat persaudaran kebangsaan. Beragam masalah kebangsaan diselesaikan dengan kesepakatan bersama, kita kembalikan citra musyawarah dalam mengedepankan pemecahan masalah sosial bersama.

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru