26.7 C
Jakarta

Bendera Putih: Tanda Toleransi Terkikis?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBendera Putih: Tanda Toleransi Terkikis?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Kewarganegaraan Indonesia: Referensi Alternatif Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Kewarganegaraan, Penulis: Yosephus Sudiantara, Penerbit: Unika Soegijapranata, Tahun terbit: 2021 , ISBN: 978-623-7635-60-4, Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Harakatuna.com – Bendera putih kian berkibar di teras-teras pertokoan. Seorang pedagang mengeluh karena uangnya tidak cukup lagi untuk membeli makanan. Apalagi dia mempunyai tanggungan 2 orang anak yang harus disekolahkan. “Dasar nasib, tidak berpihak padaku”, kata pedagang itu. Bergegaslah ia mencari bantuan. Kepada siapa saja, yang bersedia menolongnya. Melepaskan semua derita yang kini tengah dipikulnya. Apakah ini tanda toleransi terkikis?

Pandemi yang genap dua tahun menghantam Indonesia, membuatnya berpikir lebih jauh. Terpaan kebutuhan yang kian kekurangan, meningkatnya angka kejahatan, dan lemahnya akhlak untuk mengasihi pada mereka yang membutuhkan, membuatnya kian memberontak. Pemikirannya hanya satu, sifat egoistis akan memenangkan segalanya. Tidak peduli berapa nyawa yang dikorbankan, hal terpenting adalah bertahan hidup dan melindungi keluarga.

Pemikirannya begitu liar mencari segala hal yang bisa menolongnya. Apa pun itu, tidak peduli kotor atau bersih, jahat atau baik, terpenting bisa menyelamatkan semua keluarganya, maka akan dia lakukan. Katanya, dalam masa krisis yang dibutuhkan adalah seni bertahan hidup, sebuah seni yang mampu mengubah seseorang menjadi sosok yang beringas. Menjadi sosok yang kuat dan tega melakukan apa pun untuk bisa bertahan.

Kisah seorang pedagang yang saya temui tempo hari merupakan salah satu kisah akan mirisnya wajah kemanusiaan di negeri ini. Di tengah kecemasan akan pandemi, semua orang berfokus untuk menyelamatkan dirinya sendiri. “Diri saya saja penuh kekurangan, kenapa harus membantu liyan” adalah sebuah kalimat pendek yang kerap saya dengar.

Miris memang, sulit jika harus mengurai kompleksitas masalah pandemi. Kesehatan, ekonomi, sekaligus kekeluargaan, semua dipertaruhkan dalam satu masalah yang sulit diselesaikan. Solusi terbaik masih sulit ditemukan dalam menghadapi permasalahan yang kian runyam. Akibatnya, seukir kalimat kepasrahan dari para korban pandemi, kian bermunculan di tengah kerumunan.

Di media sosial, mereka kian kencang menyuarakan kesakitannya melawan pandemi. Bagaimana keadaan mereka sekarang, dan bagaimana caranya bertahan hidup di era yang brutal. Semua diceritakan secara detail, dan banyak menuai persetujuan dari para korban lainnya.

Pandangan mereka saya hargai sebagai rasa toleransi. Mengingat KBBI, mengartikan toleransi sebagai rasa menghargai atas keyakinan yang berbeda. Saya memahami akan keadaan yang mereka alami. Pun saya juga memahami akan jerih payah yang telah mereka lakukan untuk bertahan. Namun pertanyaan kian bergejolak dalam pikiran, apakah cukup hanya tindakan itu saja untuk menyelamatkan mereka? Apakah saya sudah menjadi orang yang berguna dalam situasi yang mencekik umat manusia?

BACA JUGA  Nasionalisme itu Solusi, Khilafah itu Polusi

Saya rasa, diri ini belum melakukan apa-apa. Saya hanya menghargai pendapat mereka untuk bertahan hidup, namun saya belum bisa menyelamatkan hidup mereka. Menurut saya, tindakan toleransi harus dijalankan dengan laku kemanusiaan. Sebuah tindakan heroik, yang akan menyelamatkan manusia dari jurang kejahatan.

Laku kemanusiaan akan mengubah pola pikir manusia, dari yang semula beringas menjadi lebih luas. Untuk melakukan kejahatan misalnya, mereka akan berpikir “Apakah perbuatan ini pantas dilakukan?”. “Bukankan saya juga menyakiti liyan, yang punya keadaan serupa dengan saya?”.

Kemudian diam-diam dalam hati, mereka juga meyakini, bahwa masih ada orang-orang yang peduli. Masih ada orang-orang baik, yang mau membantu saya, meskipun keadaan mereka tidak baik-baik saja. Tentu, tidak pantas apabila menodai kebaikan mereka dengan perilaku rendahan. Bertahap keyakinan mereka akan tumbuh menjadi sebuah harapan, bahwa keadaan ini hanya sementara dan semua orang akan bisa melalui ini semua dengan keadaan bijaksana.

Oleh karena itu, diperlukan pemaknaan yang lebih mendalam akan nilai toleransi. Tidak hanya berkutat pada untaian keyakinan akan penghargaan pada pandangan yang berbeda. Namun lebih jauh, juga berbentuk sebuah tindakan penyelamatan (hal. 76). Proses toleransi akan bisa berjalan, apabila laku luhur (baca: kemanusiaan) dijalankan berbarengan.

Dalam situasi pandemi, konsep toleransi berasas kemanusiaan akan mengubah semua. Mengubah tata cara memandang permasalahan, solusi, dan cara menghadapi. Satu gerakan dari tangan-tangan yang peduli, dapat menggerakkan hati mereka yang tengah terkunci. Tersesat, tidak tahu lagi bagaimana cara untuk bertahan diri.

Mutlak dilakukan revolusi untuk menolong mereka yang membutuhkan (hal. 78). Mengubah bendera putih menjadi sebuah senyuman yang akan terkenang. Bahwa masih ada kebaikan yang bersemayam dalam kekacauan. Masih ada kebaikan yang terus tumbuh dalam situasi yang berantakan. Bahwa masih ada sosok yang rela berkorban untuk mencukupi kebutuhan mereka yang kekurangan.

Toleransi tidak hanya sekadar membangun hubungan baik antar agama. Melainkan meningkatkan kepekaan terhadap fenomena sosial yang menimpa sesama. Oleh karena itu, sistem toleransi mutlak dilakukan untuk menjaga aspek sosial agar menjadi bangsa yang utuh dan kompak terhadap sesama (hal. 85). Toleransi akan menjadi kekuatan besar yang mengubah nilai-nilai kemanusiaan semakin kuat.

Sistem kemanusiaan yang dibangun berdasar asas toleransi akan semakin meningkatkan kepekaan manusia akan segala hal yang terjadi. Sehingga yang menjadi kunci dari toleransi adalah keinginan untuk mengerti keadaan sesama. Tidak hanya sekadar menghormati atau pun menolong, namun juga mengerti apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan oleh orang lain (hal. 87). Dengan begitu, sistem sosial akan berjalan lebih baik dengan adanya toleransi.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru