31.4 C
Jakarta

Benarkah Semua Aspek Kehidupan Nabi Merupakan Sunah yang Wajib Diikuti?

Artikel Trending

Asas-asas IslamSirah NabawiyahBenarkah Semua Aspek Kehidupan Nabi Merupakan Sunah yang Wajib Diikuti?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seluruh Ulama sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladan terbaik dan sangat pantas ditiru. Berdasarkan hal ini, semua orang beranggapan bahwa semua aspek kehidupan Nabi harus diikuti. Namun pertanyaannya, apakah semua aspek kehidupan Rasulullah bisa atau bahkan wajib kita ikuti? Apakah bentuk fisik beliau, cara berpakaian, cara berjalan, makanan kesukaan, dan bentuk rumah Nabi perlu diikuti?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan diatas, mari kita simak pembahasan berikut ini :

Syekh Wahbah al Zuhayli dalam kitabnya  Ushul al-Fiqh al-Islamiy (jilid 1, halaman 431), menjelaskan sunah adalah perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir) dari Nabi Muhammad SAW. Namun definisi diatas masih terlalu umum dan membutuhkan perincian.

Syekh wahbah al zuhayli dalam kitabnya Ushul al-Fiqh al-Islamiy (jilid 1, halaman 458-459) membagi perbuatan Nabi menjadi 3 :

Pertama, perbuatan Jibilliy yang dilakukan Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa seperti berdiri, makan, dan minum. Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak wajib mengikuti kehidupan Nabi yang dilakukan secara fitrah kemanusiannya. Namun ada yang berpendapat hal itu tetap dianjurkan untuk mengikuti Nabi seperti yang dicontohkan oleh sahabat Nabi, Abdullah bin Umar RA.

Kedua, perbuatan yang hanya khusus dilakukan oleh Nabi dan bukan kewajiban bagi umatnya. Misalnya Nabi puasa terus-menerus (wishol), wajib sholat tahajjud, kebolehan menikah melebihi 4 perempuan dan seterusnya. Perbuatan kategori ini hanya khusus bagi Rasulullah SAW dan tidak disyariatkan untuk kita sebagai perkara yang wajib diikuti.

Ketiga, perbuatan yang bertujuan Tasyri’iyah (pelaksanaan atau penjelasan sebuah syariat). Perbuatan Nabi yang ketiga ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh ummatnya. Dalam artian perbuatan yang ketiga ini memiliki konsekuensi hukum tertentu. Misalnya, Nabi SAW bersabda “shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” yang merupakan penjelasan dari perintah shalat dalam Al-Qur’an.

Membedakan Berbagai Hal dalam Kehidupan Nabi

Mengenai perbuatan Nabi SAW, Syekh Abu Syaibah dalam Kitab Al-Muhaqqaq min ‘Ilmil Ushûl fi Ma Yata‘allaqu bi Af‘alir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, halaman 41. Beliau  menjelaskan klasifikasi (pembagian) perbuatan Nabi Muhammad SAW, secara terperinci menjadi tujuh macam.

Pertama, perbuatan Nabi SAW yang sampai kepada kita sejak pertama kalinya dan merupakan bentuk melaksanakan perintah (imtitsal) Allah SWT atas Rasul dan umatnya. yaitu perbuatan yang ada dalilnya mengenai persamaan hukum di antara kita dan Nabi SAW. Misalnya, bersyahadat dan menunaikan rukun-rukun Islam, seperti shalat dan zakat.

BACA JUGA  3 Alasan Nabi Isa Mendapat Julukan Al-Masih

Kedua, perbuatan dalam kehidupan Nabi yang terjadi secara alami, sesuai hukum kebiasaan kemanusiaan. Misalnya berdiri, duduk, tidur, naik kendaraan, dan bepergian. Terkait jenis perbuatan ini, beliau dan umatnya memiliki kedudukan yang sama. Seperti  Nabi SAW yang menyukai makanan manis, minuman manis dan madu, termasuk cara berpakaian, cara makan, dan cara berjalan, serta mengenai kepribadian beliau yang tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (qurbah).

Ketiga, perbuatan yang berasal dari Nabi SAW dan merupakan kekhususan baginya. seperti boleh nikah lebih dari empat istri, kewajiban qiyamul lail, dan boleh puasa secara berturut-turut.

Keempat, perbuatan yang dilakukan sebagai penjelas hukum (bayan) terhadap ketentuan hukum yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an. seperti tentang tata cara atau aturan dalam beribadah.

Kelima, perbuatan Nabi SAW yang sejak awal bukan untuk bayan, bukan pula melaksanakan perintah, tidak pula kekhususan baginya, bukan pula kebiasaan kemanusiaannya, tetapi dapat diketahui bahwa sifat perbuatan tersebut  adalah wajib bagi Nabi SAW seperti qiyamul lail dan shalat dhuha, atau sunah seperti shalat Id, dua rakaat ba’da shalat ashar, dan sebagainya yang merupakan sifat-sifat perbuatan yang diperintahkan karena Syari‘ (Allah SWT).

Keenam, perbuatan yang tidak diketahui sifatnya, tetapi mutlak dihubungkan kepada kita yang tujuannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (qurbah), hukumnya sunah muakkad (lebih baik) diikuti. seperti mengangkat tangan dalam shalat ketika takbiratul ihram, rukuk, bangun dari rukuk dan dari rakaat kedua.

Ketujuh, perbuatan yang tujuannya bukan untuk qurbah, tetapi sebaiknya diikuti (sunah), seperti meletakkan jari-jari tangan kanan saat tasyahhud.

Memaknai Jenggot dalam Kehidupan Nabi

Jadi, memelihara atau memanjangkan jenggot, memakai gamis, memakai sorban, dan makan menggunakan tiga jari, merupakan sunah yang tidak termasuk syariat dan tidak wajib diikuti, melainkan boleh diikuti juga boleh tidak diikuti. Oleh karena itu, orang yang tidak mengikuti sunah dalam kategori ini tidak berarti mengingkari atau mengabaikan sunah.

Kesimpulannya, penjelasan diatas sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunah (perbuatan atau tradisi) Nabi dan contoh sunah Nabi yang masuk kategori hukum. Artinya, tidak semua hal yang dianggap sunah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan.

Muhammad Hakim Mahdhum, Mahasantri Ma’had Aly Situbondo

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru