26.8 C
Jakarta

Benarkah Saya Menuduh A. Hassan Mengkafirkan Pancasila?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBenarkah Saya Menuduh A. Hassan Mengkafirkan Pancasila?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sekitar dua bulan yang lalu, saya menulis sebuah tulisan berjudul Tokoh Besar Indonesia A. Hassan Mengkafirkan Pancasila, Kok Bisa?! Tulisan ini kemudian mendapat respons dari orang-orang Persatuan Islam (Persis) yang tidak setuju dengan gagasan yang saya bangun dalam tulisan pendek tersebut. Satu hal yang saya kagumi dan sukai dari orang-orang Persis; di tengah ketidaksetujuan mereka atas gagasan saya, mereka meresponnya dengan kata-kata yang santun, dan lebih dari itu ada yang menanggapinya dalam tulisan pula dengan judul Stigma Radikal Sebagai Sentimentalitas Politik terhadap Kelompok Tertentu; Komentar Singkat atas Tuduhan Radikal kepada A. Hassan.

Sebelum saya menjawab beberapa poin dalam tulisan tersebut, perlu saya jelaskan alasan saya menghadirkan tulisan tentang A. Hassan. Saya menulis seputar A. Hassan, meski tulisan saya masih jauh dari kata “sempurna”, karena saya mengagumi pemikiran beliau. Kekaguman saya ini bermula sejak saya menjumpai karya monumental A. Hassan, Tafsir Al-Furqan, pada saat saya belajar di program strata satu (S1) dalam jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Karya tafsir yang beliau tulis itu, bagi saya, cukup unik, karena di dalamnya menghidangkan penafsiran dengan corak yang beragam: ada corak sains (nau’ ilmy) dengan pembahasan seputar astronomi fisika, geologi, dan lain-lain. Bahkan, yang paling dominan adalah corak kebahasannya (nau’ lughawy) dengan menghadirkan pemaknaan yang simpel dan lugas.

Kealiman A. Hassan memang tiada duanya bagi saya. Sebagai pelajar saya mencoba menelusuri tulisan A. Hassan yang lain, sehingga bertemu dengan sebuah buku yang menjadi sebab hadirnya tulisan saya itu. Bukunya berjudul Islam dan Kebangsaan. Ketika membaca tulisan A. Hassan seputar sistem pemerintahan berbasis Islam, saya kurang sependapat (bukan menyesatkan) dengan gagasannya yang menyatakan bahwa sistem suatu negara harus berlandaskan hukum Allah. Sebagai pelajar yang ilmunya masih jauh dibandingkan tokoh besar Persis ini, saya awalnya mundur maju untuk menulis komentar. Tapi, setelah saya renungkan ulang, memberikan komentar itu bukanlah sesuatu yang buruk selama komentar itu disampaikan dengan narasi yang santun, apalagi saling memberikan komentar dalam bentuk tulisan menjadi kebiasaan ulama terdahulu, semisal komentar tulisan al-Ghazali berjudul Tahafuzh al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) yang ditanggapi oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan pula berjudul Tahafuzh at-Tahafuzh (Kerancuan di Atas Kerancuan).

Kemudian, tulisan saya sebagai komentar atas tulisan A. Hassan itu mendapat reaksi yang kurang menyenangkan dari orang-orang Persis, baik dalam bentuk diskusi di media sosial maupun lewat tulisan, karena beberapa hal: Pertama, tulisan saya cenderung bersifat “tuduhan”. Sebagai orang yang mengagumi A. Hassan, saya sangat tidak sopan jika menghadirkan tuduhan untuk ulama sealim beliau. Saya hanya menyisipkan komentar sejauh yang saya tahu dan komentar saya ini “belum tentu benar”, maka saya sangat berterima kasih jika beberapa orang Persis memberikan tanggapan sebagai bentuk evaluasi atas tulisan saya itu. Oleh sebab itu, tidak ada niat dalam hati untuk menghadirkan “tuduhan negatif” terhadap mahaguru sekaliber A. Hassan dan jika tulisan itu terkesan menuduh, maka atas kekhilafan al-faqir izinkan saya menyampaikan kata maaf yang tiada batas.

Kedua, tulisan saya menggiring menyamakan gagasan A. Hassan dengan pemikiran kelompok Khawarij. Saya melihat titik kesamaannya hanya dari ayat-ayat yang dijadikan landasan oleh A. Hassan ketika menulis tentang sistem pemerintahan, sehingga memberikan kesimpulan kafir bagi penegak hukum selain hukum Allah. Itu saja, tidak lebih dari itu. Sungguh tidak benar jika saya menyamakan A. Hassan dengan kelompok Khawarij dalam hal “pembenaran membunuh orang yang tidak menggunakan hukum Allah sebagai sistem suatu negara.” Saya tegaskan lagi, Saya hanya melihat kesamaan antara keduanya dari ayat-ayat yang dikutip untuk menyebut kafir orang yang tidak menggunakan hukum Allah. Menyebut kafir itu tidak selamanya negatif jika dibarengi dengan cara pandang yang arif. A. Hassan menyebut “kafir”, sejauh yang saya pahami, hanya untuk membedakan mana sistem negara berbasis Islam dan mana negara berbasis sistem di luar Islam.

BACA JUGA  Hal-Hal yang Hanya Dapat Anda Lihat Menjelang Lebaran, Apa Itu?

Hanya saja saya memberikan catatan, bahwa orang yang tidak memahami gagasan A. Hassan dengan komprehensif akan sangat mungkin mengambil kesimpulan yang keliru, sehingga orang itu gampang menyalahkan sistem negara yang berlaku di luar sistem Islam. Ini hanya sebuah kekhawatiran saya saja. Kekhawatiran ini bukanlah bentuk labelisasi sesat terhadap A. Hassan. Tidak mungkin Presiden Soekarno berguru kepada A. Hassan jika beliau sesat. Persoalan dalam beberapa hal presiden pertama ini berbeda dengan gurunya itu merupakan suatu yang dibenarkan sebagaimana Imam Syafii berbeda pendapat dengan gurunya Imam Malik, filsuf Plato berbeda pemikiran dengan gurunya filsuf Sokrates, dan seterusnya.

Ketiga, tulisan saya yang menyebutkan bahwa gagasan A. Hassan dapat menghilangkan nilai-nilai kebhinekaan sebagai dasar bernegara. Saya mengakui gagasan saya ini terkesan timpang dan saya menyadari setelah saya membaca tanggapan dari beberapa orang Persis, karena pada tulisan itu saya langsung memberikan kesimpulan tanpa membandingkan dengan gagasan beliau yang lain. Sekali lagi saya mengakui itu. Makanya, saya sangat berterima kasih mendapat koreksi dari orang-orang Persis terkait ketimpangan gagasan saya ini. Statemen ini saya akui muncul karena saya memaksakan gagasan A. Hassan tunduk di bawah kendali pluralisme yang dibangun oleh Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur. Pluralisme Cak Nur membenarkan semua agama, sehingga dengan cara itulah pluralisme tidak sepakat jika negara menggunakan hukum Allah (Islam), karena hukum Islam ini hanya berpihak kepada satu agama saja. Sampai di sini, saya hanya berusaha menelaah gagasan A. Hassan ini menggunakan pendekatan pluralisme Cak Nur. Tidak lebih dari itu, apalagi sampai saya menuduh A. Hassan menghancurkan Indonesia. Sekali lagi tidak seperti itu. A. Hassan, bagi saya, tokoh yang membenarkan nilai-nilai nasionalisme.

Keempat, tulisan saya, kalau membaca judulnya, jelas itu tendensius. Saya menyadari itu. Tetapi, di penutup tulisan saya menegaskan “bisa jadi”, bahkan sampai diulang dua kali frase ini sebagai bentuk penguatan bahwa argumen yang saya bangun tidak selamanya benar, bisa jadi keliru. Karena, saya mengomentari tulisan A. Hassan hanya pada tulisan seputar sistem pemerintahan berbasis Islam di buku Islam dan Kebangsaan dan saya belum melihat tulisan-tulisan A. Hassan yang lain yang sangat mungkin dapat membantah argumen yang saya bangun dalam tulisan tersebut. Maka, saya sampaikan banyak terima kasih atas masukan dan komentar orang-orang Persis atas tulisan saya yang masih jauh dari kata sempurna. Saya sekali lagi menyampaikan maaf jika argumen yang saya bangun keliru, karena saya manusia yang harus banyak belajar.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru