26.7 C
Jakarta
Array

Benarkah NU dan HTI “Saudara Kembara?”

Artikel Trending

Benarkah NU dan HTI "Saudara Kembara?"
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Benarkah NU dan HTI “Saudara Kembara?”

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid*

Dalam sebuah situs dan sosial media, tanpa malu-malu seorang syabab HTI menulis sebuah tulisan yang mengklaim bahwa NU dan HTI merupakan “saudara kembar”. Tulisan itu salah satunya di posting di situs al-Khilafah yang dimiliki aktivis Hizbut Tahrir. Penulis bernama Choirul Anam, seorang syabab HTI, doktor bidang Fisika di ITB. Ia mengaku mulai mengenal HT di UNDIP.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi salah satu target kelompok Hizbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia secara historis mulai buming dan diperhitungkan kelompok-kelompok lain terhitung sejak 1980-an. Di Indonesia, tidak saja dipenuhi oleh partai-partai tetapi organisasi lokal dan transnasional tumbuh subur, bersaing dan saling memasang strategi jitu mencari dukungan dan memasarkan ideologinya.

Penulis tergelitik dengan sebuah istilah “saudara kembar” yang dialamatkan kepada Nahdlatul Ulama. Istilah tersebut secara tidak langsung akan mengatakan bahwasanya NU dan HTI tumbuh dalam satu rahim dan hasil dari ‘ruh’ sosok Syaikh Yusuf al-Nabhani. Mengapa? Nahdlatul Ulama melalui sosok Syaikh Hasyim Asy’ari pernah belajar kepada tokoh sunni terpandang yakni Syaikh Yusuf al-Nabhani, begitu pula dengan Hizbut Tahrir Indonesia yang didirikan oleh sosok Taqiyuddin al-Nabhani merupakan cucu dari Syaikh Yusuf al-Nabhani.

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang tumbuh dari rahim Indonesia, sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia––dalam konteks keindonesiaan––merupakan organisasi transnasional yang dapat mengancam eksistensi NKRI. Tampaknya, sosok Syaikh Yusuf al-Nabhani menjadi jembatan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia untuk menarik simpati masyarakat, hal ini berbeda dengan kelompok Wahabi, dimana penulis pernah berkecimpung dalam gerakan Wahabiah di Makassar sebelum akhirnya penulis memutuskan untuk ke organisasi Nahdlatul Ulama.

Di dalam teori Faucault jika ada diskursus resmi maka akan ada diskursus alternatif.Kedua bentuk tersebut yaitu: within the dominan discourse dan outside the dominan discourse. Dari keduanya akan tampak, bahwasanya NU menerapkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dengan menyesuaikan wilayah dan kondisi Indonesia, sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia ingin menerapkan negara Islam dengan solusi alternatifnya khilafah Islamiyah.

Dalam perspektif asbabun nuzul dan teori sosio-historis Fazlur Rahman, Posisi kedua organisasi di atas tentunya dalam menyikapi ayat-ayat al-Qur’an dengan sikap yang berbeda. Kecenderungan NU di dalam menerapkan ayat-ayat al-Qur’anmengkontekstualisasikan dengan keadaan Indonesia, artinya cara kerja teks-konteks-kontekstualisasi menjadi pertimbangan serius dalam NU.Sedangkan bagi Hizbut Tahrir memiliki kecenderungan lepas dari konteks sebuah ayat atau jumping to conclution. Alternatif khilafah Islamiyah yang menjadi wacana penting bagi Hizbut Tahrir tidak bisa ditawar lagi, karena bagi mereka hal itu sebuah ketetapan dan janji Tuhan.

Penerapan syari’ah secara totalitas dan legal formal sudah harga mati, hal ini bisa kita baca melalui tulisan juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto yang berjudul Penerapan Syari’ah Islam di Indonesia: Tantangan dan Agenda. Menurut Ismail Yusanto bahwasanya persoalan Indonesia ada pada desain awal negara ini yang memang fokus pada ideologi sekulerisme, bahkan asumsinya syariat Islam telah terjadi sebuah pendistorsian atau reduksi otoritas yang sedemikian parah.

Dengan pemikiran tersebut, disadari atau tidak, sepertinya Ismail Yusanto tidak memahami dengan benar historisitas dan religiusitas yang terjadi di Indonesia. Secara tegas penulis mengatakan, jika ditinjau dari konsepsi Hukum Islam maka Indonesia ditinjau dari perspektif Islam mengikuti aliran simbiotik.

Multikulturalisme yang ada di Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan yang harus kita pahami dan yakini. Ternyata, hal tersebut menjadi kendala tersendiri buat pengembangan dakwah HTI. Berbeda dengan NU, jika kita lihat pola berdakwahnya NU bersifat inklusif. Misalnya, pola dialog, adaptasi serta asimilasi budaya terus menjadi ciri khas organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan lainnya. Dan keniscayaan diatas tidak menjadi kendala, namun kendalanya adalah kelompok-kelompok transnasional yang radikal dan menganggu eksistensi NKRI.

Sebuah persamaan dalam sebuah organisasi, antara NU dan HTI tidak bisa kita nafikan, dan logika tersebut selalu bisa kita terapkan ke semua organisasi di Indonesia. Tetapi dalam konteks historisnya, apa yang selalu ditulis oleh kelompok HTI untuk menisbatkan pendapatnya atau menyamakan organisasinya dengan HTI, merupakan strategi jitu untuk meraup suara dan dukungan masyarakat.

Masyarakat awam yang tidak tahu menahu, akan berpikiran dan berasumsi bahwa kedua organisasi sama, padahal kalau kita jeli membaca kitab-kitab primer HTI akan terdapat perbedaan jauh dalam menerapkan dan merealisasikan syariah Islam. Hal ini terbukti dengan suara lantang kelompok HTI menyatakan bahwa KH Wahab Hasbullah sebagai inspirator khilafah, logika ini dengan mudah bisa kita patahkan. Tetapi bagi orang awam akan mengatakan bahwa NU menyetujui gerakan khilafahisme ala HTI, padahal sejatinya tidak.

Baca: Bahaya Hizbut Tahrir (Indonesia) 

Menarik untuk mencermati kalimat “yaquulu min khairi qauli al-Bariyyah (mereka berkata dengan sebaik-baik firman Allah). Indikasi logis dari kalimat tersebut adalah mereka-mereka yang memiliki kecenderungan mengkafirkan atau mengatakan negeri kufur dan tidak menerapkan syariat Islam masuk ke dalam kategori kalimat tersebut. Kefasihan dalam berargumen untuk meligitmasi dalil-dalilnya sudah tidak bisa dihindarkan saat ini.

Maraknya fenomena ini bisa kita lihat dari asumsi yang dinyatakan oleh Khalil Abdul Karim di dalam kitabnya Li Tathbiq Al-Syari’ah la li Al-Hukm yang menyoroti teori hakimiyah Sayyid Qutub. Ada dua asumsi yang dibuat olehnya, pertama: teori hakimiyah yang dibumingkan oleh Sayyid Quthb. dimana teori tersebut diadopsi dari pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi dan kedua: rekaman sejarah atas hukuman mati Sayyid Quthb.

Dengan melihat asumsi diatas, kalau kita kontekstualisasikan ke dalam kelompok Hizbut Tahrir Indonesia,

maka logika “saudara kembar” yang dialamatkan kepada NU merupakan kesimpulan gegabah. Mengapa? karena HTI sebagaimana di dalam kitab-kitabnya secara tidak langsung mengatakan negara Indonesia termasuk negara yang menganut sistem demokrasi, demokrasi adalah sistem kufur. Dengan begitu pula, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mengatakan bahwa negara Indonesia negara ‘kufur’.

Menarik untuk mengutip pendapat Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, dimana ia mengatakan bahwa kajian tentang imamah––dalam hal ini masuk term khilafiah, karena bagi HTI khilafah dan imamah sama––bukan termasuk hal yang penting. Hal itu juga bukanlah bagian kajian ilmu logika (rasionalitas), tetapi ia termasuk bagian dari Ilmu Fikih. Lebih lanjut, bahwa masalah imamah dapat berpotensi melahirkan sikap fanatisme. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang mencoba menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan kaidah yang benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya. Wallahu a’lam bi Al-Shawab 

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana IIQ Jakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru