30.1 C
Jakarta

Benarkah Kita Bisa Menebang Pohon Radikalisme Hingga ke Akarnya?

Artikel Trending

Milenial IslamBenarkah Kita Bisa Menebang Pohon Radikalisme Hingga ke Akarnya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikalisme menjadi topik yang kerap kali kita bahas. Dalam diskusi, dalam esai-esai, atau tulisan lepas dari para intelektual tanah air. Narasi kontra-radikalisme memang cukup kuat, bahkan menjadi program prioritas pemerintah. Namun, hari-hari ini, terminologi “radikalisme” kembali dipersoalkan, bahkan di kalangan pemerintah itu sendiri. Ada isu bahwa upaya menebang pohon radikalisme ternyata terhambat di DPR. Sangat ironis.

Apa sebenarnya pohon radikalisme dan mengapa ia harus ditebang? Perlu dikatakan di awal, istilah tersebut hanyalah metafora. Ibarat sebuah pohon, radikalisme adalah batang, sementara buahnya adalah terorisme. Akarnya adalah pemahaman keagamaan yang ekstrem. Penanamannya adalah indoktrinasi oleh para ideolog. Kita mungkin mustahil mencabut akarnya, karena ideologi adalah keniscayaan. Tapi, kita bisa menebang batang, sehingga pohon itu tak berbuah.

Lalu siapa saja kelompok radikal, aktor radikalis, dan penganu radikalisme, yang harus ditebang?

Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, Siapa Kelompok Radikal Itu?, mengidentifikasi bahwa kelompok radikal ada tiga. Pertama, kaum takfiri. Mereka radikal dalam keyakinan. Kedua, kelompok jihadis. Mereka radikal dalam tindakan. Ketiga, kelompok yang hendak mengganti ideologi Pancasila jadi khilafah. Mereka radikal dalam politik. Varian kelompok radikal tersebut, kata Nadirsyah, harus dipahami betul, sehingga penebangan pohon radikal tak ditempuh dengan asal hantam.

Dalam Radikalisme, Makhluk Apakah Itu?, Mun‘im Sirry juga mengkritik upaya menebang pohon radikalisme akibat kesalahan memahami radikalisme itu sendiri. Mengaitkan radikalisme dengan hal-hal problematis ia anggap sebagai kesalahan premis. Radikalisme dan terorisme, kata Mun’im, adalah dua hal yang tidak selalu sama. Tidak semua teroris mengetahui ideologi radikal, dan tak sedikit orang bersimpati dengan ideologi jihadis, meski tak terlibat dalam aksi kekerasan.

Tesis Mun’im sama dengan Diego Muro, Universitas St Andrews, UK, bahwa tidak semua radikalis adalah teroris, tapi semua teroris adalah radikalis. Istilah radikalisasi sering digunakan oleh para pakar ketika membahas Salafi, islamis ultra-konservatif yang dikenal karena dakwah agresif dan simpati mereka untuk ISIS dan Al-Qaeda. Namun proses radikalisasi sendiri hadir dalam semua jenis terorisme, baik sayap kiri, sayap kanan, anarkis, etno-nasionalis atau agama.

Birokrasi Kita

Di Indonesia, radikalisme dianut oleh sejumlah kelompok yang berbeda. Ada PKS, sayap internasional Ikhwanul Muslim, dan ada Wahhabi yang menyamar sebagai pengikut salaf ash-shalih hanya untuk mengafirkan sesama. Ada juga HTI, cabang Hizbut Tahrir. Dan yang terkenal dari semuanya adalah FPI. Dua yang terakhir ini secara hukum sudah ilegal. Artinya, birokrasi nasional benar-benar serius menebang pohon radikalisme.

Wacana pemerintah untuk menebang pohon radikalisme sebenarnya tidak asal hantam. Upaya itu ditempuh melalui respons reaktif: wacana tandingan, mengingat radikalisasi bergerak kian masif. Terhadap sesuatu yang sukar dibendung, tindakan represif seringkali menjadi keniscayaan. Sekalipun benar bahwa diskursus radikalisme, seperti diucap Mun‘im Sirry, di Indonesia belum tertuang dalam literatur yang memadai, penebangan pohon radikalisme sudah on the track.

Ada, setidaknya, beberapa hal yang dijadikan langkah pemerintah dalam menghadapi paham radikal. Pertama, penguatan moderasi beragama di sekolah dan perguruan tinggi keagamaan Islam. Kedua, memastikan tidak ada peserta didik atau mahasiswa terpapar paham keagamaan ekstrem dan radikalisme. Ketiga, paham radikal tidak hanya dikonotasikan untuk agama Islam, melainkan mencakup semua agama. Keempat, mengajak tokoh untuk bersama menciptakan Indonesia damai.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Optimalisasi pemahaman keagamaan moderat dalam dunia pendidikan, oleh pemerintah, ditempuh dengan cara perombakan kurikulum. Setiap instansi pendidikan agama dimonitor untuk tidak mengajarkan paham eksklusif, yang bertendensi kafir-mengafirkan. Terutama di madrasah dan PTKIN. Namun kebijakan ini dinilai kontra-produktif. Sebab, yang rentan terjerumus radikalisme bukan mahasiswa IAIN/UIN, tapi mahasiswa PTUN seperti UGM, UI, dan lainnya.

Artinya, birokrasi kita selama ini memang kebanyakan di ranah eksekutif. Upaya menebang pohon radikalisme hanya menjadi perhatian presiden dan jajaran kementerian. Sementara, di DPR yang lintas partai, ideologi, dan kepentingan, upaya tersebut sering kali berkendala. Boleh jadi, birokrasi kita dari awal memang kurang memadai untuk menebang pohon radikalisme, apalagi hingga ke akarnya.

Ikhtiar Kita

Betapapun pohon radikalisme sukar ditebang, itu tidak lantas menegasikan kita untuk tetap berikhtiar. Bahwa pemberantasan mesti bertolak dari akar, dari sebab sikap radikal tersebut, memang benar. Tetapi mengatakan bahwa istilah radikalisme harus ditinjau ulang, adalah sikap yang kontraproduktif. Segala upaya harus ditempuh, meski tak berlangsung secara instan, namun gradual. Birokrasi harus diperbaiki, dan kontra-radikalisme harus tetap dilakukan.

Ikhtiar panjang ini mencerminkan kompleksitas radikalisme. Narasi tandingan akan terus berdatangan sebagai bagian inheren dari radikalisasi tersebut. Salah satu yang bisa ditempuh ialah, pendidikan akan keberagaman. Indoktrinasi dalam pendidikan seringkali langsung mengena mindset dasar seseorang, sehingga berjalan sendiri, seakan itu bukanlah radikalisme. Atau seakan mereka tak sedang jadi korban radikalisasi.

Yang terpenting pula untuk dicatat, yaitu tentang potensi self-deradicalization yang dijelaskan oleh Mun‘im Sirry. Bagaimanapun, terutama para milenial, sebagai kalangan newbie keberagamaan tak akan bertahan lama. Mereka menyebut itu sebagai dinamika zaman, yang harus beriringan dengan tren tertentu. Musim hijrah, misalnya, akan menjadikan mereka terjerumus indoktrinasi. Belum juga yang ada di masjid-masjid, dakwah yang suka membid’ahkan dan mengafirkan.

Ikhtiar panjang menebang pohon radikalisme pasti mengalami ragam kendala, tetapi mengonter tetaplah keharusan. Yang namanya ikhtiar, semua langkah dicoba oleh pemerintah. Sikap kita adalah mendukung dan mengapresiasi. Jadi apakah mungkin kita menebang pohon radikalisme hingga ke akarnya? Sangat mungkin, jika birokrasi memadai.

Tetapi jika istilah radikalisme itu sendiri masih dipersoalkan di tataran birokratis, jangankan mencabut akarnya, pohonnya pun tidak akan bisa ditebang.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru