34 C
Jakarta

Benarkah Kebebasan Menjadi Penyebab Suburnya Radikalisme?

Artikel Trending

KhazanahOpiniBenarkah Kebebasan Menjadi Penyebab Suburnya Radikalisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Orde Baru menjadi babak baru bagi hidupnya kebebasan di segala bidang. Baik politik, komunikasi, ataupun hak lain menjelma dalam kebebasan tanpa batas. Satu sisi, kebebasan ini menjadi tanda kemerdekaan bagi rakyat Indonesia yang sebelumnya dipaksa oleh peraturan yang dibuat sepihak. Namun di sisi lain, kebebasan ini menjadi awal meledaknya bencana besar yang bernama radikalisme. Radikalisme tumbuh subur dan berlindung dalam sudut kebebasan.

Historitas Radikalisme

Virus wahabisme mulai bermekaran melalui kampus-kampus yang diinisiasi dari pusat kajian dalam masjid. Gerakan tersebut semakin terstruktur dan masif, hingga menghasilkan gerakan yang melenceng jauh dari konsensus nasionalisme. Gerakan yang dahulu dicita-citakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo kembali tumbuh dengan tatanan yang lebih segar. Negara Islam kembali dimunculkan sebagai gagasan pada ideologi Indonesia.

Rupanya NII yang dahulu mati pada orde lama, tidak benar-benar mati. Bibit-bibit unggul dari organisasi ini bersembunyi di negara tetangga, dan kembali lagi ke tanah air saat tak lagi banyak larangan. Sebut saja; Abdullah Sungkar, Ajengan Masduki, dan Abu Bakar Ba’asyir adalah kader unggul yang bersinar setelah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo wafat. Mereka membentuk kelompok sendiri yang cukup kuat dengan visi yang sama, yaitu membentuk negara Islam di Indonesia.

Bom bunuh diri, menghimpun masa, ataupun infiltrasi paham radikal ke masjid-masjid, kampus, dan tempat umum lain menjadi beberapa agenda yang mereka lakukan. Pada puncak agenda, mereka melakukan serangan langsung dengan meledakkan bom ke tempat-tempat yang dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan kelompok mereka. Sebut saja; gereja, markas petugas keamanan, dan tempat berkumpulnya umat non-muslim menjadi target utama atas peledakan bom yang dilakukan.

Berkembangnya Radikalisme

Walaupun terlihat kejam dan tidak berperikemanusiaan, gerakan radikalisme ini banyak menarik perhatian sejumlah kalangan. Misalnya survei yang dilakukan oleh Wahid Institute tahun 2020 yang menyatakan bahwa terdapat 0,4% warga Indonesia atau setara dengan 600.000 orang pernah melakukan tindakan radikal. Data ini seolah membuka mata kita akan semakin marak dan nyatanya ancaman radikalisme di sekitar kita. Bahkan tidak jarang, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok radikal sangat halus dan masuk perlahan ke struktur sosial masyarakat.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Hampir semua sisi berusaha dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Baik dari segi politik, dengan menempatkan seorang tokoh, kemudian dijadikan pemimpin pada suatu wilayah. Ataupun menguasai jamaah-jamaah organisasi keislaman terbesar di Indonesia. Jammaah Muhammadiyah dan NU selalu menjadi incaran kelompok radikal dengan menduduki masjid-masjid yang biasa digunakan untuk melakukan ritual keagamaan.

Maka tidak heran, jika gerakan mereka bisa meledak bagai cendawan di musim hujan. Tahun politik pada 2014 dan Pilkada DKI Jakarta menjadi contoh nyata akan adanya eksistensi kelompok radikal. Klaim kafir, saling hasut, saling sesat-menyesatkan, dan justifikasi Islam dalam ranah politik kian kental. Dan dalam ranah digital, semua bentuk kejahatan tersebut diadaptasikan dan semakin masif dilakukan karena tidak adanya batasan.

Menghapus Radikalisme

Semua bentuk terorisme itu ada karena kebebasan yang dimanfaatkan sebagai peluang. Oleh karena itu, diperlukan adanya pembatasan atas segala kebebasan yang kini ada. Diperlukan peraturan yang mengikat dan memaksa kelompok radikal gulung tikar menyuarakan gerakannya. Selain itu, diperlukan juga kebijakan nyata dan cepat dalam merespon isu-isu radikal. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk menidurkan mereka, akan tetapi juga membunuh akar dari radikalisme itu sendiri.

Apalagi di zaman digital dengan informasi yang sangat banyak dan cepat, pembatasan dan pengawasan menjadi hal yang mutlak dilakukan. Segala upaya harus dilakukan untuk membendung gelombang radikalisme yang terus menerus berkembang. Bentuk kecil dari radikalisme, semisal bersikap hasut, fitnah, menyebarkan hoaks, uajaran kebencian, atau hal lain yang dapat menimbulkan kegaduhan harus ditemukan solusi agar tidak terus menerus terjadi.

Langkah pertama yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghapus radikalisme adalah mematikan benih-benih radikalisme itu sendiri. Menyebarkan perdamaian dan mengatasi segala kebiasaan yang menyebabkan pertengkaran menjadi satu kunci dalam terwujudnya Indonesia damai.

Dan salah satu cara untuk melenyapkan hal itu adalah dengan memberikan batasan dan edukasi yang tepat kepada masyarakat. Indonesia adalah negara hukum, yang mengikat semua penduduknya agar sama-sama bergerak ke arah perdamaian dan kesejahteraan.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru