29 C
Jakarta

Benarkah Gabung NU Bisa Membuat Kita Selamat dari Ekstremisme?

Artikel Trending

KhazanahOpiniBenarkah Gabung NU Bisa Membuat Kita Selamat dari Ekstremisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari lalu, teman saya yang seorang NU kultural dan berasal dari kampung sebelah, dalam suatu obrolan bersama saya, tiba-tiba saja menceritakan atau mengakui kalau ia membenci salah satu kelompok ekstremisme: Wahabi. Saya kaget. Lalu saya tanya “Lho kenapa?”. Katanya, adiknya pernah terpapar paham Wahabi. Saya tanya kembali “Nah, sejak kapan?”. Katanya sudah agak lama sekitar tahun 2019 atau tiga tahun lalu.

Sang adik, menurut penuturan cerita teman saya itu, menolak ajakan untuk ikut tahlilan, sebuah tradisi keagamaan yang memang melekat pada NU. Adiknya itu juga terkadang menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sejalan dengan pemikiran keagamaannya. Bahkan, adiknya ini juga enggan menerima uang hasil dari pekerjaan kakaknya yang dianggap sebagai pekerjaan ‘haram’.

Kata teman saya, perilaku adiknya ini disebabkan sering menonton video ceramah ustadz-ustadz Wahabi di YouTube. Kebiasaan melihat dan mendengarkan ceramah ustaz Wahabi itulah yang membuat pikiran adik teman saya terkontaminasi oleh ajaran Wahabi. Beruntungnya, adik teman saya itu kini sudah mulai sadar akan paham yang menyimpang. Ia kini tidak lagi membid’ahkan tahlilan karena sudah memiliki seorang guru atau ulama yang tepat.

Mendengar cerita teman saya ini, saya jelas terkejut. Apalagi teman saya ini sebelum-sebelumnya tidak pernah bercerita soal masalah keagamaan. Ternyata saya baru tahu kalau adiknya sudah didoktrin ekstremisme.

Melihat kasus ini, saya bisa menilai bahwa ternyata hidup dan besar di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya menganut ajaran NU tidak menjamin kita bisa terbebas dari aliran-aliran keras. Oleh sebab itu, inilah pentingnya kemudian kita harus berada di circle atau wadah yang tepat.

Lantas apa yang dimaksud dengan wadah yang tepat?

Wadah yang saya maksud adalah kita sebagai pemuda nahdliyin perlu untuk terjun di organisasi keagamaan NU. Sebab, di NU kita diajarkan tentang toleransi antarumat beragama. Eks-Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj pernah mengatakan bahwa NU menentang kekerasan, radikalisme, ekstremisme bahkan terorisme. Terorisme, menurutnya, harus dijadikan musuh bersama.

Saya merasa sangat beruntung karena sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah dikenalkan oleh IPNU, adik kandung dari GP Ansor yang termasuk badan otonom NU. Ketika itu saya yang berusia 17 tahun diajak oleh teman saya untuk mengikuti kegiatan IPNU: Rutinan. Saya memang terlambat masuk IPNU selama 4 tahun. Tapi itu tidak mengapa. Lebih baik terlambat daripada tidak ikut sama sekali.

Ketika pertama kali ikut kegiatan IPNU, saya menilai ini adalah keputusan yang tepat. Selain untuk mengembangkan potensi diri juga sebagai wadah saya mengenal NU lebih dalam. Karena mau dimana lagi kalau bukan di IPNU? Masak iya saya harus ikut organisasinya Wahabi atau HTI? Kan nggak mungkin.

Rasa penasaran saya yang tinggi terhadap NU membuat saya kemudian mengikuti kegiatan pengkaderan pertama di IPNU yakni Makesta (Masa Kesetiaan Anggota) di tahun 2015. Kala itu usia saya sudah 19 tahun. Nah, setahun berselang saya terlibat dalam kegiatan Lakmud, dan berlanjut mengikuti kaderisasi tertinggi di IPNU yaitu Latihan Kader Utama (Lakut) di tahun 2017. Di kegiatan-kegiatan inilah saya bisa mengenal lebih jauh apa itu IPNU dan NU.

Saya bertemu narasumber-narasumber yang menyuarakan pentingnya toleransi, pentingnya merawat kebangsaan, pentingnya menjaga persaudaraan, dan lain-lain. Dengan ber-IPNU, saya jadi sedikit tahu apa itu ‘Aswaja’, apa itu ‘Islam rahmatan lilalamin’, dan wawasan2 lainnya yang itu menambah rasa bangga saya menjadi nahdliyin.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Menangkal Paham Ekstrem dengan Ikut NU

Saya tidak merasa rugi sama sekali dengan bergabung ke IPNU, ditambah ketika di kampus bergabung ke PMII. Dengan berada di dua organisasi ini, saya merasa telah berada di circle yang pas. Kemungkinan, saya bisa saja terjerumus ke aliran-aliran ekstrim andai saya tidak pernah kenal apa itu IPNU, apa itu PMII. Bisa saja kan?

Barangkali adik teman saya itu tidak pernah mengikuti organisasi yang ramah toleransi seperti IPNU ini, sehingga dirinya mudah ditembus oleh doktrin-doktrin ajaran Islam garis keras.

Di organisasi NU, selain kita didoktrin untuk mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan juga dididik untuk senantiasa mengamalkan ajaran Aswaja an-Nahdliyah, kita juga dibekali strategi-strategi untuk menangkal ajaran-ajaran menyimpang. Salah satunya adalah menangkal gerakan paham ekstrem di media sosial. Kita diberitahu website-website mana saja yang beraliran Islam keras, ustaz-ustaz mana yang berseberangan dengan NU, dan upaya apa yang harus kita lakukan untuk melawannya.

Pembahasan itu semua terjadi pada kegiatan kaderisasi di organisasi NU. Maka dari itu, penting untuk kita dapat terlibat di organisasi NU seperti IPNU, IPPNU, GP Ansor, Fatayat, dan  Muslimat. Jika pun tidak ikut serta secara struktural organisasi, minimal kita dekat dengan Kiai-Kiai NU, yang mengajarkan tentang Islam Rahmatan Lilalamin, sehingga apa yang terjadi pada adik teman saya itu, tidak terjadi pada diri Anda sekalian.

Memang sebaiknya, kita sebagai generasi penerus bangsa, yang hidup di negara pluralis, perlu untuk membentengi diri dari ekstremisme. Kajian-kajian yang tidak mengandung unsur edukatif yang membangun spirit berislam ramah, penuh cinta-kasih, moderat, inklusif, toleran dan pluralis, sebaiknya tidak dikaji lebih lanjut atau dijadikan sumber rujukan keilmuan. Dikhawatirkan memunculkan pemahaman yang dangkal tentang agama.

Perlunya Circle yang Baik

Tak berselang lama usai saya mendengarkan cerita teman saya itu, saya lalu mendengar kabar di media sosiak ada segerombolan pelajar yang melempari sejumlah sekolah dengan batu, serta berbagai bentuk kejahatan lainnya yang dilakukan anak muda. Genk motor, misalnya. Entah apa motifnya. Yang jelas saya sempat bertanya-tanya “apa yang sebenarnya mereka cari?” “apa yang mereka inginkan?”

Sebenarnya, kenakalan remaja seperti ini sudah banyak kita jumpai. Tentunya ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Bisa saja karena pengaruh teman? Yang jelas, saya menduga perilaku remaja seperti ini dikarenakan mereka tidak berada di circle yang baik. Mereka justru berada dalam pusaran arus yang tidak membuat mereka berkembang ke arah yang positif, tapi justru sebaliknya.

Oleh karena itu, mari kita, mumpung masih muda, pilih lah organisasi yang tepat, pilih lah ulama atau guru yang bisa membimbing kita ke jalan yang baik, pilih teman yang menginspirasi serta perbanyak lah berdoa kepada Allah swt agar kita dijauhkan dari hal-hal negatif yang dapat membawa dampak buruk, tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang lain.

Akhir kata, saya mengucapkan beribu-ribu terimaksih kepada teman yang dulu mengajak saya berangkat IPNU-an, berorganisasi di PMII, lalu kepada orang yang mengajak saya ikut Ansor-an. Meskipun mereka tidak berjasa memberikan saya uang yang banyak, tapi mereka berjasa menjadikan saya pribadi yang lebih baik lagi.

Jadi, apa jawaban dari judul di atas? Jelas, iya. Inilah opini saya.

Khairul Anwar
Khairul Anwar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Gus Dur Pekalongan, Minat pada kajian literasi digital, sepakbola, dan ekonomi Islam. Tinggal di Kota Santri Pekalongan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru