31.8 C
Jakarta

Benarkah Cinta Tanah Air Bertentangan dengan Ajaran Islam?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBenarkah Cinta Tanah Air Bertentangan dengan Ajaran Islam?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebagian orang bilang, bahwa cinta tanah air itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Mereka begitu mudah memberikan kesimpulan yang kontroversial dan sensitif, sementara mereka belum membaca teks Al-Qur’an dan hadis Nabi. Kendati membaca, itu pun membacanya sepotong-sepotong. Sehingga, kesimpulan yang mereka hasilkan masih perlu dipertanyakan.

Sebelum melangkah lebih jauh menghadirkan bagaimana komentar Al-Qur’an dan hadis tentang status cinta tanah air, penting kita mengetahui pemahaman apa itu “cinta tanah air”? Secara sederhana, cinta adalah kekosongan jiwa melihat yang dicintainya. Jiwa hanya melihat kebaikan yang dicintainya. Sementara, Tanah Air dipahami dengan wilayah di mana kita berada, hidup, berkembang, dan dilahirkan. Jadi, Cinta Tanah Air adalah kekosongan jiwa memandang wilayah di mana kita dilahirkan, hidup, dan berkembang.

Lebih jauh, Tanah Air merupakan kata majmuk yang dibangun dari dua kata, yaitu Tanah dan Air. Menurut Quraish Shihab, dua kata ini mengisyaratkan makna filosofis yang dapat dipahami bahwa kita berasal dari Tanah ini dan kita hidup dari Air-nya yang kita minum. Air adalah kebutuhan makhluk. Kita punya keterikatan dengan tanah ini dan kita punya kepentingan untuk meraih airnya supaya kita hidup.

Tanah Air, tambah Quraish Shihab, punya kaitan yang erat dengan sebuah istilah yang disebut Tumpah Darah. Disebut Tumpah Darah, karena di sinilah kita lahir. Ibu kita menumpahkan darah. Sehingga, berarti kalau cinta Tanah Air kita bersedia untuk menumpahkan darah demi membela negeri yang kita cintai.

Tanah Air, masih dalam pandangan Quraish Shihab, juga punya kaitan yang erat dengan istilah Ibu Pertiwi yang dipahami dengan Tanah Air kita. Makna filosofisnya, Ibu tidak pernah bosan memberi kepada Anaknya. Ibu punya keterkaitan yang erat dengan Anaknya, sedangkan Anak juga punya keterkaitan yang erat dengan Ibunya. Kalau ibu bersedia memberikan segala sesuatu untuk anaknya, maka anak semestinya juga mengabdi kepada ibunya.

Dalam Al-Qur’an cinta tanah air disebutkan dalam dua ayat. Pertama, surah al-Baqarah ayat 126 yang berbunyi: “Nabi Ibrahim berdoa: Rabbi ij’al hadza baladan aminan warzuq ahlahu min ats-tsamarati man amana billahi wa al-yaum al-akhir, Ya Allah ya Tuhan jadikan negeri ini negeri yang aman dan berilah rezeki kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berupa buah-buahan yang beraneka ragam”.

Para mufasir memahami surah al-Baqarah ayat 126, bahwa baladan aminan itu kota Mekkah. Mekkah didoakan oleh Nabi Ibrahim, karena Mekkah adalah tanah air di mana beliau tinggal beserta keluarganya. Selain itu, Mekkah menjadi Tanah Haram karena ini berkat doa Nabi Ibrahim, sedangkan Madinah menjadi Tanah Haram yang kedua, karena itu adalah buah dari doa Nabi Muhammad Saw.

Kedua, surah al-Qashash ayat 85 yang menyebutkan: Inna al-ladzi faradha alaika al-Qur’an la radduka ila ma’ad, Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu akan mengembalikan kamu ke tempat kamu semula. Maksudnya, Nabi Muhammad Saw. ketika hijrah sedih, karena meninggalkan kota Mekkah sebagai tempat kelahirannya. Lalu, turunlah janji Tuhan akan mengembalikan beliau ke tanah airnya.

Sebagian mufasir memberikan catatan mengenai surah al-Qashash ayat 85, bahwa ayat ini turun di kawasan bernama Juhfah, yang posisinya berada di antara Mekkah dan Madinah. Diturunkan di sini, karena ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw. melewati sebuah jalan (atau bisa disebut jalan tikus) yang tidak umum diketahui orang, sehingga membuat beliau aman dari musuh. Ketika masuk di Juhfah itu, Nabi Saw. kembali ke jalan umum dan kemudian beliau melihat jalan ke arah Mekkah. Hati beliau begitu berat meninggalkan Mekkah untuk memenuhi perintah Allah hijrah ke Madinah. Sedangkan, Ibnu Abbas menjelaskan, bahwa Ma’ad yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Mekkah.

Selain Al-Qur’an, hadis Nabi juga membenarkan cinta tanah air. Perhatikan doa Nabi Saw. yang bukan hanya dibaca sendiri, melainkan pula dibaca di hadapan para sahabat: Allahumma habbib ilaina al-Madinata kama habbabta ilaina Makkata aw asyadd, Ya Allah, jadikan kota Madinah ini juga kami cintai sebagaimana Kamu jadikan kecintaan kami kepada kota Mekkah atau lebih dari itu. (HR. Bukhari).

BACA JUGA  Membangun Jakarta ala Anies Baswedan

Lebih jauh, kecintaan kepada tanah air juga diekspresikan oleh para sahabat dengan penggunaan identitas kedaerahan di belakang namanya. Seperti, nama sahabat Salman Al-Farisy (yang dinisbatkan kepada Farsi); sahabat Shuhaib Ar-Rumy (yang dinisbatkan kepada Romawi); bahkan, istri Rasul sendiri, Mariyah Al-Qibthiyyah (yang dinisbatkan kepada daerah Jibthi, Mesir). Rasul Saw. tidak melarang kedua sahabat dan istri beliau sendiri menggunakan identitas kedaerahan sebagai bentuk cinta mereka terhadap tanah air mereka sendiri.

Sampai di sini, telah jelas bahwa cinta tanah air itu dibenarkan dalam ajaran Islam. Al-Qur’an, hadis Nabi, bahkan kebiasaan para sahabat membenarkannya. Sungguh sangat keliru orang yang tidak membenarkan cinta kepada tanah airnya. Menurut Quraish Shihab, hanya orang yang sakit yang tidak mencintai tanah airnya sendiri. Terus, bagaimana cara untuk menumbuhkan dan membuktikan kecintaan kita kepada tanah air sendiri? Cinta kepada tanah air dapat dibangun dan diekspresikan dengan beberapa cara: Pertama, menumbuhkan kesadaran. Kesadaran terkait pentingnya cinta tanah air dapat dibiasakan dengan menyebut-nyebut tanah kelahirannya sendiri. Quraish Shihab berpesan: Orang yang cinta selalu menyebut-nyebut yang dicintainya. Orang yang cinta selalu menyingkirkan segala yang buruk dari sisinya.

Kedua, mendukung kalau benar, meluruskan kalau salah. Pencinta selalu ingin melihat yang dicintai tidak terjatuh dalam jurang kekeliruan. Tidak benar sebuah kalimat “Right or wrong is my country, benar atau salah adalah negeriku”. Jika negeri kita benar, dukung sehingga semakin berkembang. Sebaliknya, jika negeri kita keliru, perbaiki, sehingga tidak terjatuh dalam kesalahan yang sama. Pencinta selalu berupaya melihat keindahan yang dicintainya, bukan bersikap acuh tak acuh terhadap keburukannya.

Ketiga, menghormati perbedaan yang terbentang luas di negerinya. Perbedaan ini meliputi perbedaan bahasa, suku, ras, agama, dan pemikiran. Tidak perlu mempersoalkan perbedaan. Agama membenarkan perbedaan, karena disebutkan dalam sebuah adagium “Al-Ikhtilafu rahmah, perbedaan itu rahmat”. Ingat, perbedaan itu bukan petaka. Pentingnya menghormati perbedaan terekam jelas juga dalam Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya: Berbeda-beda tetapi tetap satu. Jadi, perbedaan itu bukan dalang timbulnya perpecahan, tetapi benih tumbuhnya persatuan.

Keempat, menghindari paham radikal dan membumikan paham moderat. Paham radikal dilarang dalam Islam, karena paham ini dapat menghilangkan tumbuhnya rasa cinta terhadap tanah air. Buktinya, paham ini mengantarkan seseorang berpikir tertutup terhadap perbedaan, mendorong mereka mengkafirkan dan menyesatkan negaranya sendiri karena tidak menggunakan sistem khilafah, bahkan membutakan mata hati mereka menjaga keutuhan negeri ini dan mereka malah memilih melakukan tindakan picik berupa aksi-aksi terorisme.

Kelima, menjaga tali persaudaraan. Persaudaraan itu tidak memandang perbedaan, termasuk perbedaan agama. Ali Ibnu Abi Thalib berpesan: Jika mereka bukan saudaramu dalam seagama, maka mereka saudaramu dalam sekemanusiaan. Persaudaraan itu meliputi persaudaraan antar sesama agama (ukhwah islamiyyah), persaudaraan antar sesama manusia (ukhwah basyariyyah), dan persaudaraan antar sesama tanah air (ukhwah wathaniyyah).

Melalui uraian tersebut, jelas bahwa cinta tanah air itu merupakan suatu hal yang dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Mencintai tanah air secara tidak langsung mencintai diri sendiri. Karena dalam diri kita terdapat anugerah iman. Sehingga, tidak keliru sebuah adagium—sekalipun disalahpahami sebagai hadis oleh sebagian orang—yang berbunyi: Hubbu al-wathan min al-iman. Maksudnya, cinta tanah air sebagian dari iman. Bina imanmu dengan mencintai tanah airmu sendiri.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disampaikan pada acara Pena Kami (Penataran Kader Mufassir) yang dikhususkan untuk mahasiswa baru IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru