31.3 C
Jakarta

Benarkah Ade Armando Provokator yang Berbahaya Bagi NKRI?

Artikel Trending

Milenial IslamBenarkah Ade Armando Provokator yang Berbahaya Bagi NKRI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, kembali menjadi perbincangan. Tetapi seperti yang sudah-sudah, keviralannya selalu negatif. Alih-alih menunjukkan integritas, ia justru semakin dicap sebagai akademisi yang merusak nama baik UI. Dicap buzzer dan provokator adalah gelar harian Ade Armando, selain gelar akademiknya sebagai doktor. Kali ini, bukan hanya dianggap merusak nama baik kampus, melainkan NKRI.

Sebelumnya, Ade membuat kehebohan dengan menyepelekan para korban Covid-19 yang ia anggap tidak seberapa dibading Inggris. Dengan melihat narasi yang selalu ia sebar melalui Twitter, pantaskah Ade Armando dianggap berbahaya bagi NKRI? Pertanyaan ini mesti menjadi refleksi, baik bagi kalangan yang pro maupun mereka yang kontra terhadap Ade Armando. Topik ini juga krusial dibahas karena, sekalipun Ade adalah manusia tanpa manfaat sekalipun, refleksi ini sepenuhnya demi NKRI.

Bagaimanapun, Ade Armando sudah bersumbangsih menghalau hoaks yang berusaha merusak integritas negara dan pemerintahan. Juga ia memiliki andil besar dalam menciptakan perpecahan, atau setidaknya tertuduh demikian. Sebagai influencer yang cuitannya akan di-retweet ribuan kali dengan narasi umpatan sejenis atau bahkan lebih buruk, Ade menjadi fenomena baru. Ia beserta sekawanannya yang dianggap buzzer menjadi fenomena di “ruang kebangsaan”.

Agama dan negara tidak boleh dipertentangkan sebab dalam konteks NKRI, keduanya menciptakan prinsip toleransi kembar/twin toleration (As’ad Said Ali, 2019: 129). Pada konteks yang sama, bisa juga dikatakan bahwa persoalan keagamaan jangan sampai mencederai kebangsaan dan sebaliknya. Candaan yang sarkastis boleh saja selama tidak mengancam persatuan. Tetapi jika melahirkan keresahan di masyarakat, sepertinya memang ada yang bermasalah dari narasi tersebut.

Misalnya begini. Kata Ade Armando, kadrun dan kampret adalah sumber masalah. Maka setiap hari ia selalu menghujat mereka, bahkan lebih dari itu, menggeneralisasi setiap kritik sebagai kadrun dan kampret. Pada saat yang sama, kelompok yang ia tuduh kadrun juga menuduh Ade lah sumber provokasi yang sebenarnya dengan menjadi buzzer. Jika sama-sama tidak mau dianggap kadrun maupun buzzer, kenapa masih saling cekcok dan saling tuduh?

Fungsi Ade Armando

Seperti yang diklaimnya sendiri, Ade adalah pengamat civil society dan NGO. Artinya, ia yang mengamati masyarakat, tetapi ia tidak mau diamati masyarakat. Ia mencap seseorang secara stigmatis, tetapi ia sendiri menyangkal jika dianggap berbahaya bagi NKRI. Apakah Ade Armando adalah penyelemat demokrasi atau malah sampah bagi demokrasi, boleh jadi jawabannya subjektif. Yang mutlak adalah persatuan, tanpa pandang ras atau agama sama sekali.

Ia mencuit di Twitter, “Eh Ginting itu Islam atau Kristen?” “Ya Kristenlaaaah…” “Oooo….”

Lalu setelah viral, ia kembali mencuit, “Jadi jangan persoalkan identitas agama olahragawan sebagaimana jangan persoalkan identitas pejabat dan pemimpin ya”.

Jika diamati, tujuan Ade pada cuitan pertama sengaja memancing reaksi netizen karena ia tahu bahwa kelompok eksklusif seperti FPI, HTI, dan sejenisnya, yang Ade menyebut mereka semua “kadrun”, suka mengulik identitas agama seseorang. Ini berkenaan dengan kasus lama, Al-Maidah [5]: 51, pada 2016 lalu, yang berujung mendekamnya eks-Gubernur DKI Jakarta, Ahok di penjara. Ade adalah pengamat yang kepada Anies Baswedan dan pendukungnya, memiliki dendam kesumat.

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Masalahnya bukan itu. Netizen yang berusaha menengahi kontroversi cuitan pertama tersebut justru juga dianggap Ade sebagai kadrun, sekalipun ia bukan HTI, FPI, dan sejenisnya. Ia kemudian berdalih, pengkritiknya sudah terseret kadrun yang emosian. Dan seperti yang telah dibahas sebelumnya, perang kadrun vs buzzer pun tidak terhindarkan. Bahkan untuk mengajarkan inklusivisme beragama, Ade Armando harus mengungkit-ungkit masa lalu?

Bahwa dalam negara plural seperti Indonesia agama seseorang tidak perlu diributkan itu adalah sesuatu yang benar. Kasus Ahok adalah preseden buruk eksklusivisme, tetapi ia wajib dikubur agar tidak memancing perpecahan lagi—sebatas diambil pelajarannya bahwa umat Islam tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Islam tidak menyetujui fanatisme primordial (Dhiyauddin al-Rays, 2001: 245), dan pembangunan masyarakat mesti menjadi landasan utama.

Di sini seharusnya Ade tidak mencuit narasi yang berpotensi menciptakan kegaduhan. Apalagi, di kolom komentar, semua jemaahnya ikut menghujat kadrun, kadrun, kadrun, kampret, dan segala macam. Tradisi buruk yang sangat tidak pantas diajarkan oleh seorang doktor dan dosen kampus terbesar di Indonesia. Jika fungsi Ade adalah pengamat civil society, harusnya ia tidak bertindak yang mempertengkarkan antarmasyarakat. Fungsinya, agar ia tidak dianggap provokator.

Meruwat Persatuan

Sebab, sebagaimana berulang kali disampaikan, yang urgen hari ini adalah memberantas polarisasi antarkelompok yang terlanjur bermusuhan karena politik di waktu yang sudah lalu. Setelah HTI dan FPI sirna, dibubarkan, dan terlarang, maka tugas berikutnya adalah meruwat persatuan yang sudah hancur. Pemerintah sudah menggalakkan deradikalisasi untuk para teroris, maka para radikalis seperti kaum HTI dan laskar FPI juga mesti mendapat terapi yang sama.

Artinya, kepada mereka, umpatan dan sindiran tidak lagi perlu diarahkan. Harus dibedakan antara mengonter narasi radikal dengan menghujat mereka. Kontra-narasi akan melahirkan kesadaran bagi mereka, tetapi pelintiran kebencian hanya akan menyulut permusuhan yang tidak ada habisnya. Apakah di sini hendak membela HTI-FPI cs daripada Ade Armando? Sama sekali tidak. Keduanya sama-sama bermasalah, maka sama-sama perlu diluruskan.

NKRI adalah tolok ukur. Siapa pun yang memancing kegaduhan nasional, ia harus dilawan. Ancaman negeri bukanlah ragam ideologi saja, karena provokasi juga sangat mampu memecah-belah persatuan. Ade Armando bertanggung jawab terhadap semua kondisi yang ada, karena cuitannya tentang kadrun dan kampret tidak pernah ia sudahi. Oleh karena ia menjadi representasi pemerintah, atau setidaknya mengklaim bela negara, maka persatuan antarwarga negara juga berada dalam tanggungannya.

Ade Armando hanya perlu lebih bijak dan tidak melulu memancing polemik, agar masyarakat tidak menganggapnya provokator. Selebihnya terserah ia mau jadi apa. Bukan urusan. NKRI adalah yang utama daripada narasi-narasi kadrun, kampret, cebong, buzzer, dan semua olokan tak bermutu lainnya. Jadi, apakah Ade Armando memang layak digelari provokator yang berbahaya bagi NKRI? Jawabannya subjektif. Yang jelas, ia sudah bergelar doktor.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru