27.1 C
Jakarta

Belajar Menjadi Indonesia dari Soekarno

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBelajar Menjadi Indonesia dari Soekarno
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno, Penulis: Hendra Sugiantoro, Tebal: 212 Halaman, Penerbit: Matapadi Pressindo, Tahun Terbit : 2021, Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Harakatuna.com – “Bhineka Tunggal Ika,” tutur Bung Karno di sela waktu istirahat sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kalimat itu dilontarkan kepada dua tokoh penting, Muhammad Yamin dan I Gusti Bagus Sugriwa. Ketiganya berada dalam satu perspektif yang sama, yaitu definisi masyarakat Indonesia yang plural. Tidak disangka, gagasan tersebut menjadi gambaran gemilang, yang hingga sekarang dijadikan kekuatan dari nilai nasionalisme.

Berlanjut ketika lambang Garuda Pancasila dibuat oleh Sultan Hamid ke-2, Soekarno menginginkan 3 kata tersebut tersemat dalam pita yang dicengkram Garuda. Melalui penggambaran lambang negara, Soekarno ingin menjelaskan bahwa Indonesia adalah negeri plural yang dihuni oleh beragam orang, budaya, suku, dan agama (hal. 34). Dibalik banyaknya perbedaan tersebut, terdapat satu persamaan yang dapat dijadikan alasan untuk memajukan Indonesia secara bersamaan.

Soekarno juga menyadari bahwa bentuk pluralitas yang ada di Indonesia, bisa menjadi ancaman jika tidak disikapi secara bijaksana. Oleh karena itu, dibutuhkan satu kalimat sakti yang dapat meredam semua egoisme golongan, menjadi bentuk nasionalisme yang utuh. Bhineka Tunggal Ika menyimpan makna toleran, terbuka, dan mengutamakan persatuan. Maka patut kiranya jika 3 kata sakti tersebut, tersemat dalam lambang Garuda.

Mengeja Bhineka Tunggal Ika

Bhineka Tunggal Ika yang diucapkan oleh Soekarno sebenarnya diambil dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (hal.42). Dalam kakawin tersebut dijelaskan bahwa semua bentuk perbedaan dapat melebur dalam cinta kasih. Soekarno yang merupakan hasil didikan orang tua beda agama, mengalami secara langsung gejolak-gejolak perbedaan. Ibu Soekarno merupakan pemeluk agama Hindu, sedangkan ayahnya seorang muslim.

Sedangkan dalam refleksi hidupnya, Mpu Tantular menemukan Bhineka Tunggal Ika dari corak kehidupannya di Majapahit. Mpu Tantular merupakan sosok religius yang memeluk agama Budha, akan tetapi dirinya merasakan kedamaian dan ketentraman ketika hidup di Majapahit yang mayoritas memeluk agama Hindu (hal. 44). Prinsip saling menghormati itulah yang membuat Mpu Tantular dapat menelurkan gagasan Bhineka Tunggal Ika.

Latar belakang yang sama, antara Mpu Tantular dan Soekarno layaknya menjadi satu garis besar, bahwa bangsa Indonesia harus dijadikan wilayah yang aman dan tentram bagi siapa saja. Tidak peduli perbedaan agama, ras, budaya, ataupun suku, kesemuanya harus merasakan ketentaman yang sama dengan prinsip saling menghormati.

Hendra Sugiantoro sebagai pengarang buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno menjelaskan secara detail, tentang bagaimana lika liku kehidupan Soekarno hingga dapat membentuk pemikiran demikian. Dalam intisari pemikiran Soekarno, berencana untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Suatu bangsa yang dimajukan oleh totalitas nasionalisme rakyatnya.

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Nasionalisme Soekarno

Halaman 98, menceritakan banyaknya penolakan yang datang dari kalangan agamis tentang gagasan nasionalisme Soekarno. Mereka takut tentang gagasan nasionalisme yang dijalankan seperti negara Eropa, yang secara khusus berkarakter sekuler. Konsep nasionalisme Eropa disebut sebagai religio-nasionalisme Katolik. Hal ini membuat negara berhak untuk menghukum orang-orang yang tidak sesuai dengan praktik agama di Gereja.

Namun begitu agama lebih jauh dipakai sebagai alat untuk menumbangkan lawan politik. Orang-orang yang dianggap mengancam kekuasaan pemerintah, diseret dalam pasal agama, sehingga dapat diadili dan dihukum seberat-beratnya. Bentuk-bentuk penyelewengan tersebut, memunculkan satu kelompok reformis, yang memimpikan pembaruan sudut pandang dalam pelaksanaan hukum. Mereka menganggap, bahwa hukum yang dijalankan demikian, hanya akan tumpul ke bawah dan akan melanggengkan kekuasaan semata (hal. 102).

Berbeda dengan gagasan nasionalisme Eropa, Soekarno menggagas konsep nasionalisme sebagai satu kekuatan yang menyatukan berbagai bentuk perbedaan yang ada di Indonesia. Diperlukan satu keyakinan untuk sama-sama berjuang dalam satu barisan. Dan nasionalisme adalah nilai dasar yang menjadi landasan dalam membentuk persatuan. Semua orang akan rela berkorban demi bangsa Indonesia.

Begitu dinamismenya nasionalisme Soekarno, dirinya membebaskan semua orang untuk memeluk agama apapun. Bahkan dalam sila pertama, dijamin untuk memeluk agama apapun, dan tidak akan mendapat hukuman. Prinsip demikian membuat semua orang merasa dihormati dan mendapat tempat dalam Indonesia (hal. 108). Pun landasan yang menyusun Indonesia, sebagian diambil dari nilai luhur agama. Sehingga apabila mereka menjalankan nilai-nilai bangsa, sama saja menjalankan perintah dari agama.

Menyandang Indonesia Bhineka

Buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno sebenarnya ingin mengulik ingatan anak bangsa akan letak nasionalisme yang telah digariskan oleh pendahulu. Soekarno sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh, menyimpan gagasan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Dengan mengingat historitas bangsa Indonesia, diharapkan penerus bangsa mempunyai semangat yang sama untuk memajukan Indonesia.

Bagaimanapun keadaannya, kebhinekaan adalah hal mutlak yang harus terus dijalankan untuk mengoyak ego perbedaan yang ada. Indonesia sebagai negara Bhineka, adalah sebuah takdir yang dapat menjadi keistimewaan dengan gagasan-gagasan yang gemilang. Maka Bhineka Tunggal Ika adalah mantra istimewa yang dapat menyulut nasionalisme dari semua masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, membaca buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno sama saja menghidupkan kembali aroma nasionalisme yang dulu digagas oleh Soekarno. Dan rasa nasionalisme tersebut perlu dikobarkan, dalam bentuk-bentuk kemajuan di tingkat nasional maupun global, yang pada akhirnya Indonesia sebagai negara plural mampu bersinar di tingkat global.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru