27.1 C
Jakarta
Array

Belajar Mencintai Bangsa dari Yudi Latif

Artikel Trending

Belajar Mencintai Bangsa dari Yudi Latif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menemukan fakta mengejutkan mengenai persepsi masyarakat terhadap Pancasila. Bahwa selama 13 tahun terakhir, publik yang pro Pancasila menurun hingga 10 persen. Pada 2005, publik pro Pancasila mencapai 85,2 persen, sementara tahun 2018 hanya 75,3 persen.

Lebih mengejutkan lagi ketika survei tersebut merilis persepsi umat Islam terhadap Pancasila. Pada 2005, warga negara beragama Islam pro Pancasila mencapai 85,6 persen, namun tahun 2018 mengalami penurunan sebanyak 11,6 persen, yakni menjadi 74 persen. Sekalipun masih mayoritas, namun hal ini perlu mendapat perhatian serius. Kecenderungan sebagian umat Islam yang menolak Pancasila dan menggantungkan asa diterapkannya syariat Islam sebagai hukum positif, lambat laun akan merusak tatanan kebhinekaan Indonesia.

Maka dari itu, upaya untuk menyadarkan publik bahwa Indonesia milik bersama dan setiap warganya berkewajiban untuk menjaga kedaulatan negara, mendesak untuk dilakukan. Adalah Yudi Latif, cendekiawan yang memiliki fokus kajian terhadap isu-isu keislaman dan kebangsaan, telah melakukan upaya penyelamatan bangsa dari rongrongan ideologi maupun gerakan yang merusak. Sementara jalur yang ia tempuh adalah dengan menulis.

Di samping ia menulis ‘buku akademik’ semacam Negara Paripurna –untuk segmen kelas menengah akademisi-, juga tak melupakan segmen ‘masyarakat awam’ yang juga membutuhkan bahan bacaan berkualitas. Maka, ia pun pada akhirnya menulis dengan bahasa populer dan motivatif, yang bisa diakses oleh masyarakat secara luas. Tulisan tersebut sebenarnya berawal dari percikan permenungan kaki hari, dengan tajuk Makrifat Pagi, yang penulis (Yudi Latif) tebar di media sosial hingga dimuat portal online. Karena banyak pihak mendesak supaya tulisan yang berserak tersebut dibukukan –agar ‘lebih abadi’-, maka lahirlah buku Makrifat Pagi ini.

Secara umum, tulisan yang berserak tersebut diplotkan ke dalam lima tema besar, yakni ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan-kepemimpinan, dan keadilan keadaban. Coba perhatikan! Pembagian tema dalam buku mengacu kepada sila-sila Pancasila, dan tentu  hal ini bisa dimaknai sebagai upaya Yudi Latif untuk membumikan nilai-nilai Pancasila –menjadikan dasar negara berlambang Garuda ini sebagai laku hidup.

Buku Makrifat Pagi coba mengajak pembaca untuk merenung dan berpikir ulang jika terbesit dalam benak untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Bahwa bukan karena Pancasila, krisis multidimensi yang melanda Indonesia kian menjerat leher setiap warganya. Melainkan, internalisasi nilai-nilainya yang minim atau bahkan sama sekali tidak ada, sehingga jiwa nasionalisme tidak terpatri kuat dalam diri warga negara.

Rumus dasar untuk mencintai sesuatu, termasuk bangsa, adalah dengan mengenali sejarahnya. Bukankah mustahil cinta tumbuh tanpa proses pengenalan terlebih dahulu? Dari sinilah, Yudi Latif mengajak kepada pembaca supaya jangan menjadi pribadi yang ahistoris. Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki sejarahnya yang panjang, dan selalu ada perjuangan heroik di setiap lipatan sejarah tersebut. Indonesia adalah negara-bangsa yang diperjuangkan individu dan kelompok dari berbagai latar belakang, sehingga kemerdekaan yang diraih bukan monopoli satu golongan saja.

Kekecewaan yang kerapkali terbit dalam diri sebagian warga negara Indonesia, adalah buntut dari persoalan kompleks yang menjerat bangsa ini, seperti korupsi, yang secara sistematik telah berhasil memiskinkan rakyat kecil. Berawal dari kekecewaan ini pula, rasa cinta tanah air luntur dan bahkan tidak tersisa sama sekali. Lalu, muncullah riak-riak kecil pemberontakan dan bahkan aksi teror. Terorisme yang meledak di tengah-tengah kita, kata Yudi Latif, adalah gejala permulaan dari kelalaian bangsa ini dalam mengaktualisasikan Pancasila (hal. 301)

Lebih lanjut, Yudi Latif mengatakan, seluruh teori sosial tentang terorisme bisa diringkas premis-premisnya ke dalam lima prinsip Pancasila. Pertama, terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Ajaran agama yang dipahami dan dilakukan secara ritualistik, nir spiritualitas. Sehingga, jiwa-jiwa penganutnya menjadi gersang. Kedua¸ terorisme mencerminkan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan hak-hak asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban.

Ketiga, terorisme mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewarganeragaan untuk menjalin persatuan dalam keragaman. Studi-studi sosiologi agama menemukan wakta bahwa fundamentalisme sebagai akar terorisme mudah menjangkiri pribadi dengan pergaulan tertutup –tidak terbiasa dan membiasakan diri bersosial dengan karakteristik manusia yang beragam.

Keempat, terorisme mencerminkan penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang dianut negara-bangsa Indonesia mestinya berakar pada prinsip musyawarah mufakat, tapi justru mengadopsi nilai-nilai demokrasi liberal. Kelima¸terorisme mencerminkan persoalan pemenuhan kesejahteraan dan keadilan. Merebaknya ketidakadilan menjadi lahan subur pengembangbiakan terorisme-radikalisme.

Pancasila telah merangkum nilai-nilai luhur yang jika diresapi, akan memunculkan rasa cinta tanah air dalam diri warga negara. Pun, teori-teori ekonomi, sosial, politik, dapat digali dari Pancasila, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai, adil dan makmur.

Judul Buku    : Makrifat Pagi

Penulis            : Yudi Latif

Penerbit          : Mizan, Bandung

Cetakan          : I, 2018

Tebal              : 360 halaman

ISBN               : 978-602-441-047-6

Peresensi        : Imron Mustofa, Alumni UIN Sunan Kalijaga.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru